Catatan Anazkia

Karena hanya tulisan yang bisa saya tinggalkan

  • beranda
  • Kisah
    • Serial
    • Cerpen
    • Celoteh
    • Reportase
    • Perjalanan
      • Gaya Travel
      • Trip Gratisan
      • Piknik Buku
  • Pojok Anaz
  • Murai
  • Sosok
  • komunitas
    • Volunteer
    • KBO
    • Semestarian
    • Blogger Hibah Buku


"Bumi ini bukan warisan. Tapi adalah amanah Allah dan kita diwajibkan untuk menjaga amanah ini dengan baik. Itu yang pertama. Terus yang kedua, bahwa bumi ini sementara. Kita hidup di dunia ini sementara, tidak akan selamanya. Dan kemudian harus ingat, bahwa setelah kita ini ada generasi manusia yang lain. Oleh karena itu, bumi yang diamanahkan oleh Allah ini bukan untuk kita. Tetapi, harus kita wariskan kembali kepada generasi selanjutnya. Jangan sampai, kita meninggalkan kerusakan. Meninggalkan bumi yang tidak layak huni lagi oleh umat manusia bahkan makhluk-makhluk yang lain. Yang ketiga, Islam sangat menganjurkan, bagaimana kita hidup ramah dengan lingkungan."

Baris-baris kalimat di atas, disampaikan oleh Pak Marzuki Wahid. Rektor Studi Islam Fahmina (ISIF) dan pengurus Lembaga Perguruan Tinggi Nahdatul Ulama). Dalam podcast Ramadan Vibes Season 2 KBR didukung oleh Greenpeace Indonesia.

Menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan, saya langung melihat ke dalam diri, sudah sejauh mana saya sebagai umat manusia, beragama Islam pula menjaga bumi dengan baik? Beliaupun menambahkan, menurutnya ada sebuah hadis Nabi di mana manusia itu bersekutu dengan tiga hal; "Pertama dengan rumput, yang kedua dengan air, dan yang ketiga dengan api." Tiga hal tersebut, merupakan kebutuhan primer dari umat manusia yang tidak bisa dilepaskan.

Sederhananya, dalam kehidupan sehari-hari ada hal-hal kecil dan sederhana yang bisa kita buat. Misalnya, menggunakan public transport ketika pergi ke mana-mana, berjalan kaki (jika memungkinkan)  ketika menuju public transport dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Dalam podcast tersebut, ada tiga narasumber. Dua di antaranya selain Pak Marzuki Wahid adalah Mbak Rizkiana Sidqiyatul Hamdani (Peneliti Urban Greenpeace Indonesia) dan Mas Fahmi Saimima (Ketua Umum Bike to Work)

Ketiganya, berbicara dari latar belakang yang berbeda. Kenapa saya membidik Pak Marzuki Wahid sebagai pembuka? Karena ternyata dalam agama Islam sendiri, Allah sudah mewanti-wanti bahwa bumi dans egala isi ini titipan. Bukan warisan yang dengan mudah kita keruk habis-habisan. Pun ada dalam Alquran, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar." QS Ar-Rum ayat 41.

Dalam world inequality report 2021, kualitas udara di Indonesia ada di peringkat ke 17. Negara dengan kualitas udara khususnya partikel PM2.5 terburuk di dunia. Menurut Mbak Rizkiana, menanggapi pencemaran udara terburuk di Indonesia ini ada banyak faktor. Indonesia ini negara yang luas, pencemarannya pun beragam. Setiap wilayah, memiliki pencemarannya sendiri. Yang didominasi hutan, isunya ialah pembakaran hutan dan segala macam. Sedangkan pada podcast tersebut, Mbak Rizkiana berbicara dalam konteks urban, yang pencemaran udaranya di kota. 

Kenapa kita harus aware dengan perbedaan ini? Karena menurut beliau kalau kita nggak aware, nanti obrolannya jadi jaka sembung, alias nggak nyambung. Hehehehe. Sebab nanti dampaknya akan tidak nyambung ke penanganan, juga ke bentuk aksinya. 

Apa itu PM25? PM25 ialah singkatan dari Particulate Meter, atau bagian dari pencemar udara. 25 adalah ukurannya. Jadi, 25 itu 2,5 micrometer. Kecil banget, kan? Milimeter saja sudah keceil, ini micro. Jadi, kalau mau bayangin itu, satu helai rambut dan PM25 itu adalah 3% persen dari kecilnya satu helai rambut. Aduh! Ini pas nonton dan dengerin podcast otak awak tak sampai ngebayanginnya :(

Menurut Mbak Rizkiana, dari hasil inventarisasi emisi udara di perkotaan itu 47-52% berasal dari kanlpot kendaraan. Itu kenapa dalam podcastnya, ia menekankan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, beralih ke public transport dan perbanyak jalan kaki. Tapi, bukan berarti harus menambah infrastruktur secara terus menerus. Meski memerlukan faktor lain untuk bisa menikmati kemudahan jalan kaki. Paling tidak, aman menurut beliau. Dan Ramadan ini menurut Mbak Rizkiana menjadi momen refleksi, sejauh mana kita bisa terlibat dalam Pengurangan emisi ini.

Mas Fahmi, sebagai ketua umum Bike to Work Indonesia bilang kalau beliau tidak anti kendaraan. Menurutnya, ini adalah proses bijak dalam menggunakan transportasi. Karena mereka tetap berprinsip, dalam visi mereka ingin memberikan kualitas hidup yang layak bagi bangsa Indonesia. Menurutnya, tak semestinya kita harus senantiasa bersepeda atau berjalan kaki. Menurut Mas Fahmi, ada hal yang lebih besar lagi, misalnya, menggunakan transportasi umum. Dan dari tempat transportasi umum itu bisa terintegrasi sepeda atau akses jalan kaki dengan baik itu pun sangat bermanfaat. Sampai sekarang, Mas Fahmi masih menggunakan kendaraan pribadi untuk ke tempat kerja, karena mobilitas di kerjaannya tinggi.

Prinsip bike to work menurut Mas Fahmi, ingin berupaya membuat kualitas hidup yang lebih baik dengan sepeda.

Dari tiga percakapan narasumber di atas yang disampaikan melalui podcast KBR, saling kait mengait. Pak Marzuki dari sisi agama, Mbak Rizkiana dan Mas Fahmi dari perilaku hidup sehari-hari. Cocok. Lengkap. Hanya kitanya mau berubah atau enggak, minimal dari hal kecil dulu. Ke warung yang tak begitu jauh, nggak usah naik motor. Kalau masih bisa dijangkau jalan kaki, ya jalan. Eiya, sekarang saya sudah selalu jalan kalau mau ke stasiun. Jarak, 1, 8KM. Sejak pandemi, semua terasa dekat saat jalan kaki. Itu, kalau niat tentu saja. Meski mirisnya, jalanan kita itu tak ramah untuk pejalan kaki. Di mana-mana... Di Jakarta, di puast-pusat kota mendingan. Tapi, coba kalau ke pinggiran :(



 

"Saya itu besar dengan Raskin, Teman-teman. Mudah-mudahan ada yang relate dengan ini, ya menonton di sini. Karena saya biasa kalau ngomong begini, ada banyak yang tak mengaku miskin. Begitu. Tidak pernah tahu raskin."

Dengan wajah sedikit senyum Bang Abdur Arsyad membawakan materi stand up comedy di salah satu YTube markeplace Indonesia. Saya menontonnya tertawa terbahak. Padahal, saya pribadi sangat emosi ketika membicarakan raskin beberapa tahun lalu. 

"Teman-teman, raskin itu beras miskin. Biasanya diperuntukkan untuk keluarga miskin, dan saya besar dengan itu. dari kecil, dari saya bisa makan nasi sampai saya tamat SMA, selalu makan raskin. Tubuh saya kalau dibelah, isinya semua kebijakan pemerintah."

Saya lagi-lagi tertawa. Bisa-bisanya dia becanda seperti itu.

"Karena menyedihkan sekali itu teman-teman. Teman-teman, kalau pernah makan raskin itu menyedihkan. Harganya memang murah, tapi kondisinya pun mengerikan."

Pernah lihat raskin? Kalau belum, yah berarti nggak relate sama Bang Abdur. Saya pribadi, sangat relate kalau ngomongin raskin. Saya dulu mikir, raskin ini bentuk penghinaan kepada rakyat miskin. Itu kenapa saya emosi kenapa harus ada raskin. Tapi, di tangan Bang Abdur, ngomongin raskin bisa jadi bahan tawa, tanpa menghilangkan esensi bahwa dia sedang mengkritik pemerintah.

Atau, dalam potongan-potongan tayangan bang Abdur Rasyad di acara stand up comedy Kompas TV, saya menemukan dialog-dialog ini.

"Di Indonesia itu, jasa pendidikan itu, tidak masuk dalam PPN, tidak kena PPN. Tapi barang pendidikan, sepatu, seragam, buku, tas, itu kena PPN. Ini sama seperti kalau tidur gratis, tapi kalau tutup mata bayar."

Satu studio, tertawa terbahak diiringi tepuk tangan. Atau, masih dalam potongan-potongan ketika ia tampil di Kompas TV di mana ia debut sebagau runner up,

"Teman-teman, Indonesia itu emmang terlalu terpusat di Jakarta. Terlalu terpusat di Jakarta. Makanya, kejahatan itu juga datang ke sini, begitu. Pencuri itu, teman-teman, di Timur itu dapat tangkap itu pasti dapat pukul sampai busuk. Sampai busuk," audiens di studio tertawa. Dengan mengenakan baju adat Betawi, bang Arsyad jelas-jelas sedang menyindir kota nomor satu di Indonesia. "pencuri di sini, itu dapat foto, dapat syuting, wawancara, masuk TV, masuk penjara fasilitas mewah."

Tepuk gemuruh kembali ia dapatkan. Dan terang-terang, ia sedang menyindir koruptor.

Kamis, 21 April 2022 saya mengikuti IG Live Bincang Mimdan #6 dengan tema, Bicara Budaya dan Kritik Sosial Lewat Komedi di Instagram @merajut_indonesia. Dengan Teh Evi sebagai hostnya, IG live ini dimulai pada pukul delapan malam. IG live bincang Mimdan malam itu diadakan oleh PANDI, pengelola nama domain Internet Indonesia. Bincang Mimdan, merupakan acara dari pandi lewat program Merajut Indonesia, Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN)

Tema yang diangkat malam itu bertujuan  sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan budaya, agar budaya Indonesia dapat bergaung di tingkat lokal, nasional maupun global. Begitupun kritik sosial, menurut teh Evi kritik sosial sebagai salah satu upaya penyaluran gagasan kebudayaan yang lebih baik.

Satu jam, sarat dengan ilmu pengetahuan. Terima kasih, teh Evi ^_^


Budaya, merupakan hasil akal dan budi manusia, yang berkembang pada sebuah masyarakat. Oleh sebab itu, budaya sangat dinamis, mengingat banyak faktor yang memengaruhinya serta dinamika yang dialami dalam perjalanan waktu. Budaya, ialah objek yang sangat dekat dengan manusia. Tetapi, berbicara soal budaya ada kalanya dianggap kuno, kompleks, berat dan membosankan. Sedangkan kritik sosial, ialah sarana mengkomunikasikan gagasan baru disamping menilai gagasan lama untuk sebuah perubahan sosial. Kritik sosial berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial, yang berarti memengaruhi budaya. Namun sayang, kritik acap kali dianggap sebagai kecaman. Padahal, bersifat membangun.

Prolog yang disampaikan teh Evi ketika live IG baru dimulai sangat panjang. Bagaimana dnegan gamblang ia menjelaskan fungsi dan kedudukan budaya pada kritik sosial. Lantas, bagaimana pandangan bang Arsyad mengenai Budaya dan Kritik Sosial melalui komedi yang kerap ia lontarkan di panggung-panggung stand up sebagais eorang komedian?

Berbeda ketika di panggung, live malam itu Bang Abdur terlihat canggung. Bukan karena ia tak memahami arah yang dibicarakan, tapi ia terlihat hati-hati ketika berbicara. Ketika di panggung sebelum tampil, Bang Abdur sudah terbiasa menyiapkan konten apa yang akan disampaikan. Sementara, live IG malam itu ia terlihat ngobrol santai.

Bagi Bang Abdur, salah satu bekal kritik sosial dalam komedinya ialah banyak membaca buku. Karena kritik sosial berhubungan langsung dengan masyarakat. Bang Abdur juga percaya, jika komedi bisa mengubah tingkah laku. Masuk akal dengan apa yang disampaikan. Saya pribadi, ketika menonton stand upnya pun acap berkerut kening dan mengamini yang disampaikan, meski dibalut gelak ketawa.

Selain rajin membaca buku, Bang Abdur menghindari topik yang ia tidak ketahui. Itu kenapa dia lebih sering membawakan materi stand up yang palingd ekat dengan dirinya. Meski, balik lagi saya hampir nggak percaya kalau keluarganya dia adalah penerima raskin. Etapi, saya nggak boleh gitu. Hiks.

Dalam percakapan menjelang akhir, Bang Abdur bilang bahwa setiap karya akan menemukan penikmatnya sendiri. Komedi, menurut dia kalau kita rasa lucu kita maunya pengen cepat-cepat cerita ke teman. Kririk sosial, ketika kita merasakan sesuatu kita ingin membicarakan dengan orang lain.



 


"Jadi, aku muterin uang yang aku pinjam. Kalau nggak gitu, gimana aku ngadepin hidup? Aku kan sejak pandemi nggak kerja. Jadi ini yang aku buat untuk bertahan hidup. Gali lobang tutup lobanglah." 

Seorang teman bercerita demikian. Dia salah satu teman yang terdampak pandemi. Sempat menganggur beberapa bulan. Tapi, semangatnya luar biasa banget. Dia banting stir, jualan. Apa saja dijualnya. Pertama, ia sempat jualan gorengan ketika Ramadan tiba di tahun 2020. Tapi karena pasarnya kurang, ia mengubah haluan menjadi reseller. Menjual apa saja. "Palugada boleh dibilang. Apa yang lu mau, gua ada." 

2020 sampai sekarang, bagi sebagian orang banyak yang jatuh bangun bertahan menyiasati hidup disebabkan pandemi. Baik diPHK, usaha jatuh dan sebagainya. Salah satunya, teman saya di atas. Ia acap bercerita kepada saya bahwa setiap bulan kerap meminjam uang dari sebuah aplikasi. Bagi dia, selagi dia membayar tepat waktu dan uangnya digunakan secara tepat itu dapat membantunya.

Kamis lalu, di salah satu rumah makan di Sarinah, saya bersama dengan teman-teman bloger dari BloggerCrony menghadiri bincang petang. Tajuk obrolan sore itu, Pengelolaan Kredit Pintar Bersama Kredit Pintar. Ini merupakan rangkaian kelas dari Kredit Pintar untuk merangkul dan mengedukasi komunitas supaya lebih meningkatkan lagi kecakapan dalam literasi keuangan.

Hari ini, kita acap mendengar dampak buruk pinjaman online melalui aplikasi. Padahal, beberapa aplikasi yang ada dan dalam pengawasan OJK (Otoritas Jasa keuangan) sejatinya hadir untuk memberikan bantuan dalam bentuk uang berupa pinjaman produktif. Apa itu pinjaman produktif? Pinjaman yang digunakan bukan untuk sekadar konsumtif semata-mata. Tapi, digunakan lagi untuk usaha. Seperti teman saya di atas, karena kondisi keuangannya sedang tidak baik-baik saja dia mengambil pinjaman uang melalui aplikasi, kemudian dia gunakan lagi untuk usahanya.

Mengutip kata Mas Puji (Brand Supervisor Kredit Pintar), kesadaran masyarakat kita masih rendah akan adanya dana darurat. Dikarenakan ini juga berdampak pada maraknya pinjaman uang melalui aplikasi. Jadi, karena mudahnya meminjam uang melalui aplikasi ini banyak orang yang kemudian tak sadar dengan batas kemampuannya untuk membayar. Akhirnya, banyaklah berlaku hal-hal negatif disebabkan pinjaman uang melalui aplikasi. Apalagi, dengan aplikasi yang tidak berada dalam pengawasan OJK.

Mas Puji (Brand Supervisor Kredit Pintar)

Kredit Pintar, adalah salah satu platform penyedia layanan pinjaman uang berbasis teknologi informasi terkemuka di Indonesia. Ini terdaftar dan diawasi oleh OJK. Di playstore, Kredit Pintar sudah diunduh lebih dari 10 juta unduhan dan peringkat kepuasan konsumen sebesar 4,4 bintang di Google Play. Visi Kredit Pintar ialah, meningkatkan kehidupan masyarakat Indonesia melalui penyediaan akses yang mudah untuk mendapatkan pinjaman dalam jangka pendek. Dengan tekhnologi AI (Artificial Intelligence).

Total peminjam yang sudah mengajukan dana pinjaman ke aplikasi Kredit pintar sampai hari ini ialah 7 juta. Dan peminjam aktif sampai hari ini sebanyak 800 ribu orang. Dari sekian banyak peminjam, kata Mas Puji masih ada kredit macet di mana nasabah masih belum membuat pembayaran.

Berbeda lagi menurut Mas Gandan (Senior Business Development Manager Kredit Pintar), menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kita memilih aplikasi pinjaman uang dengan aman. Pertama, tentunya harus memahami bahwa aplikasi pinjaman uang ini akan menagihkan pelunasan pinjaman sama dengan umumnya. Jadi, alangkah lebih baiknya kalau membuat perhitungan dengan baik, dengan menyesuaikan kondisi keuangan sebelum menentukan nominal pinjaman.

Mas Gandan (Senior Business development Manager Kredit Pintar)


Yang kedua, baca dengan saksama kontrak perjanjian ketika pinjaman disetujui dan berkomitmen untuk melunasinya tepat waktu supaya tak kena denda. Jangan lupa juga untuk menghitung dan menyesuaikan besaran angsuran dengan penghasilan bulanan.

Ketiga, yang cukup penting ialah, memilih layanan aplikasi peminjaman legal, yang telah terdaftar dan diawasi OJK. Jangan mudah terbuai dengan beragam pesan atau tawaran, apabila berasal dari aplikasi peminjaman ilegal, yang justru akan membebankan bunga dan denda tinggi, perhitungan tidak transparan, sampailah tak segan melakukan ancaman dengan menyebarkan data pribadi saat penagihan.

Masih menurut Mas Gandan, kalu kita mengajukan pinjaman uang, kemudian uangnya untuk modal usaha, jangan lupa untuk membuat pencatatan. Ingat, bahwa uang usaha itu bukan sepenuhnya uang kita. Tapi uang yang digunakan untuk kembali memutar modal. Sebagai pemilik uasaha kecil-kecilan macam saya, kalimatnya menohok banget, sih. Saya jualan "gitu aja", nggak pernah buat pencatatan. Hiks.

Hal di atas, adalah yang disampaikan oleh Mas Puji dan Mas Gandan dari pihak Kredit Pintar. Jangan sampai, sebagai nasabah jadi besar pasak daripada tiang. Biar nggak kewalahan dan nggak sampai kejadian, minjem uang di satu aplikasi, kemudian ketika tak berbayar akan cari aplikasi peminjaman lain untuk membayar di pinjaman di aplikasi sebelumnya. Ribet? Tapi itu banyak kejadian.

Pinjaman Aman, hati pun Nyaman

Pada 17 November 2021, OJK sudah merilis 104 penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech landing yang telah terdaftar dan diawasi OJK, satu di antaranya ialah Kredit Pintar.

Kredit Pintar menawarkan aplikasi pinjaman uang yang mudah, cepat cair dan persyaratan yang mudah. Dengan mengunduh aplikasi, melengkapai data dengan identitas diri, dan uang bisa cair dengan segera. Limit yang ditawarkan mulai dari Rp600,000 sampai Rp20 juta dengan tenor pinjaman bervariasi. Jadi, peminjam bisa lebih leluasa memilih tenor pinjaman dan metode pembayaran yang sesuai dengan kemampuan membayar. 

Ingat, ya, meski mudah dan cepat tetaplah lihat batas kemampuan membayar. Jangan sampai, niat meminjam untuk  membantu cash flow, tapi malah jadi dikejar-kejar hutang karena tak mampu membayar.



Owh ya, di Instagram, akun Kredit Pintar hanya satu saja, @kreditpintar. Nggak ada akun lain. Soalnya, kemarinnya pas saya baru follow akun Kredit Pintar, langsung difollow banyak akun dengan nama serupa. Sudah gitu, didm pula. Jadi, pastikan kalau memang mau membuat pinjaman bisa langsung ke websitenya di https://www.kreditpintar.com/ atau unduh aplikasinya di playstore dengan nama Kredit Pintar. Sebelum mengajukan pinjaman, kita juga harus pintar. Biar kayak aplikasinya, Kredit Pintar ^_^

Semua foto milik panitia. Terima kasih atas jepretan bagusnya.

Kopdar sama Kak Ilham. Dan ini, Kak Ilham minta tolong orang buat fotoin. Hehehehe

 

"Kopdar, kopdar."


Komentar itu saya dapatkan kemarin pagi di Instagram story dari Kak Ilham. Bloger Makassar yang saya kenali melalui Kak Tuteh beberapa tahun lalu di Facebook. Saat itu, Kak Ilham masih bertugas di Ende. Dan sekarang, dia ditugaskan di kota kelahirannya, Makassar. Membaca komentarnya, saya sempat berpikir, bukannya sepanjang minggu lalu Kak Ilham berada di Palembang? Pun saat saya lihat story terbarunya di Instagram, Kak Ilham sedang berada di Bandung.

Selama mengenal Kak Ilham melalui media sosial, saya sering melihatnya hilir mudik ke Jakarta ketika ia sudah bertugas di Makassar. Tapi, ketika saya tanya rupanya ia sudah kembali pulang ke Makassar. Rasanya, itu tak hanya sekali. Tapi, berkali-kali. Sampai akhirnya, saya malas bertanya dengan Kak Ilham kalau lihat dia update IG story sedang berada di tanah Jawa. Itu kenapa, waktu dia komen kopdar, kopdar saya niatin mau ketemu. Meski ada deadline terjemahan jam 11 siang. Hahahaha

Meyakinkan Kak Ilham kalau mau kopdar, rupanya ia sudah punya sederet rencana. 26 Maret, ia akan pulang ke Makassar dan menginap di kawasan Sudirman. Dia pun mengirim list tempat yang ingin dia kunjungi. Inacraft, Sarinah dan IKEA. Saya menawarkan Sudirman, ada satu kedai mi ayam yang enak di dekat stasiun. Pun sedang ada kemeriahan ulang tahun MRT di situ. Kenapa di Sudirman? Sebetulnya itu biar mudah saja. Saya nggak repot pulangnya. Ahahahhaa... Maaf ya, Kak Ilham.

Menjelang siang, Citayam hujan. Menunggu hujan reda, saya sambil-sambil menyelesaikan kerjaan juga membuat bolu kukus gula merah. Ternyata, hujannya awet. Sampai menjelang ashar masih belum juga berhenti juga. Jam empat, saya baru keluar dari rumah. Jalan kaki menuju stasiun.

Kak Ilham, tentu saja sudah sampai di Sudirman lebih dulu. Dia sampai Jakarta dari Bandung sejak pukul tiga sore. Rasa nggak enak hati, tapi, mau gimana lagi? Terima kasih banyak sudah mau menunggu ya, Kak Ilham ^_^

Sampai di Sudirman, pukul lima lebih 15. Ternyata, ramai banget. Saya masih parno ke tempat ramai. Akhirnya, kami langsung menuju ke kedai mi ayam dekat stasiun. 

Ini kali pertama kami bertemu. Dulu, ini menjadi hal yang biasa. Kenal teman di blog, kopdar, kemudian menuliskannya di blog. Tapi, atmosfer itu sudah luntur dan hilang dari saya. Ya, sejak kembali ke Indonesia, kemampuan menulis saya sudah menguap entah ke mana. 

Kami memesan mi ayam. Sambil menikmati mi ayam, kami ngobrol macam-macam. Tentang perjalanan Kak Ilham selama bertugas di Flores, tentunya mendapat porsi lebih banyak. Karena Kak Ilham ditugaskan di Flores selama sepuluh tahun. Tepatnya di Ende dan Maumere. Dulu, suka iri gitu kalau lihat Kak Tuteh dan Kak Ilham jalan-jalan. Ke-irian yang tak terbayar sampai kini karena saya belum ke sana. Hahahaha.

Sebetulnya, saya menyayangkan diri sendiri yang lambat pergi. Karena waktu ngobrolnya pun jadi pendek. Saya nggak tahu kalau di area situ salatnya di mana kecuali di stasiun. Sebetulnya, ada musala di kampung, tapi jalannya agak jauh. Akhirnya, saya harus menyudahi obrolan dengan Kak Ilham ketika waktu mahgrib sudah hampir habis.

Saya langsung masuk stasiun, salat dan pulang.

Selama ini, mengenal Kak Ilham hanya dari tulisan dan unggahannya dari media sosial saja. Pas sudah ketemu dan ngobrol, rupanya jungkir balik kerjaan dan kuliah dia jalani bersamaan. Dan melihatnya hari ini, saya salut. Selamat ya, kak Ilham. Semoga apa yang sudah didapat selama ini menjadi berkah dan bermanfaat. Lulusan SMK, yang kemudian banting stir kuliah manajemen dan sekarang menjadi seorang HR. SELAMAT!

Owh ya, Kak Ilham kalau pergi ke suatu tempat selalunya membuat unggahan late post. Jadi, dia memang jarang menghubungi teman-temannya. Terutama sekali, kalau dia pergi ke Jakarta. Terima kasih traktiran mi ayamnya ya, Kak. Semoga ada rezeki ketemu lagi.

Ia Meminjam Wajah Puisi. Gambar saya ambi dari laman Medium Aya



Kau datang tatkala sinar senjaku redup
dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya

Kau yang singgah tapi tak sungguh
Kau yang singgah tapi tak sungguh

Kukira kau rumah
Nyatanya kau cuma kusewa
Dari tubuh seorang perempuan
Yang memintamu untuk pulang

Penggalan lagu "Kukira Kau Rumah"

Pagi ini saya mengunjungi akun Instagramnya @Ayacanina setelah melihat kata "Amigdala" menduduki trending teratas Twitter Indonesia. Tidak, saya tidak akan membahas masalah yang sedang Aya hadapi. Tapi saya baru tahu kalau Aya, mantan vokalis Amigdala ini indah dalam menyusun kata. Selesai membaca cerita Instagramnya, saya mencari puisi-puisi lain yang dibuat oleh Aya. 

Bocah Lelaki

Telah kujumpai seorang bocah lelaki
yang meminta bintang sebagai penunjuk arah.
Bagai Nuh yang agung, ia kumpulkan
keledai-keledai muda yang kesepian.
Ia sendiri kedinginan.
Tapi seorang juru selamat mesti terus
perkasa dan berbahaya
meski harus menanggung duka
meski layang-layangnya putus
dan nyangkut di pohon mangga.

Saya membayangkan puisi di atas dideklamasikan. Di baris ke enam, tentu saya akan mendengar kalimat yang begitu panjang dibacakan tanpa jeda, sampai di akhirnya. Apalagi, kalau puisi ini dibawakan oleh Kang Peri. Aya, menyusun puisi ini dengan pembuka kalimat yang baku, tapi menutup akhirnya dengan bahasa pasar. Saya nggak pernah kebayang kalau kalimat "Nyangkut" akan indah jika dibuat puisi. Tapi, Aya, bisa melakukannya.

Saya pun sampai di laman Mediumnya Aya. Kembali membaca beberapa judul tulisannya, mencerna kalimat demi kalimat yang ditulisnya. Tetap, bagi saya tulisan Aya itu bagus. Meski itu cenderung tendensius karena gaya tulisan Aya, adalah jenis genre yang saya suka.

Tiap kali kita di kafe ini, kamu suka sekali memandangi bunga-bunga telanjang diguyur hujan dari jendela. Aku tidak memelihara bunga. Kamu juga suka mengikuti langkah pejalan kaki yang lewat di depanmu, sampai mereka hilang di ujung jalan. Aku tidak suka berjalan kaki. Scoopy-ku tidak sampai menimbulkan polusi suara dan body-nya masih bagus. Selain itu, kamu tidak suka membaca buku. Kamu bilang buku itu versi bertele-tele dari mulut orang-orang.

“Kalau aku bisa mendengarkan dengan utuh kultum lima anak muda calon sarjana di kafe ini, itu sama saja dengan kamu membaca Sapiens berhari-hari.”

Aku hanya butuh satu, kamu lima.

“Setidaknya mereka yang lebih bertanggung jawab.”

Maksudnya?

“Kalau aku salah tangkap, kesalahan ada pada penjelasan mereka. Kalau aku baca buku, kesalahannya ada pada cara membacaku.”

Bah! Konyol. Yang terakhir itu semakin membuatku tidak percaya omong kosong aku mencintaimu yang keluar dari mulut bau tembakaumu itu.



Disebabkan membaca penggalan-penggalan puisi dia yang ada di dunia maya, juga tulisannya yang ada di laman Medium, tiba-tiba saya ingin membeli buku puisinya Aya. Ia Meminjam Wajah Puisi.

Aya, masih sangat muda. Ia perempuan cerdas, tapi dalam lingkup lingkarannya, masih juga menjadi korban kekerasan oleh pacarnya sendiri. Lebih menyedihkan lagi, pacar dan lingkarannya itu adalah orang-orang yang menyuarakan dan menolak kekerasan seksual.

Semoga Aya dikuatkan. 

 



Bapak, meninggal ketika saya masih duduk di bangku SMA. Saya anak kedua dari empat bersaudara. Saat itu, kakak belum lama menikah. Sementara saya hidup mandiri dengan bekerja sambil sekolah. Dua adik saya, tinggal bersama orang tua. Sejak bapak meninggal, hidup ibu sedikit lintang pungkang. Sebelum itu, ibu kerap bekerja membantu bapak dengan menjadi asisten rumah tangga (ART). Pekerjaan itu dilakoni ibu tanpa mengenal lelah. 

Sejak bapak meninggal, ibu kembali menggeluti pekerjaannya sebagai ART di Jakarta. Sementara kedua adik bersama dengan kakak di Cilegon. Kalau saya, sudah terbiasa hidup jauh dari orang tua. Tak lama, ibu saya kembali ke Cilegon dan berkumpul dengan adik-adik. Sementara saya, kembali merantau entah kemana-mana. Saya memang termasuk anak yang jarang berkumpul bersama keluarga. Merantau dari satu tempat ke tempat lain. Sampai terkadang lupa, cebisan-cebisan memori mengenai perjalanan ibu setelah bapak tiada.

Sepanjang menjadi orang tua tunggal, ibu tak pernah terdetik untuk kembali menikah lagi. Sebagai anak, masing-masing dari kami memberikan peluang kepada ibu jika memang masih ada jodohnya ibu dibolehkan menikah lagi. Tapi, ibu selalu menolak. Bahkan, ibu selalu bilang dengan orang yang belum begitu kenal kalau suaminya masih ada. 

Perjalanan ibu selama menjadi orang tua tunggal tentu saja tidak mudah. Dengan keterbatasan pendidikan, yang ibu saya buat untuk menopang hidup tentu saja tak jauh dari pekerjaan informal sebagai ART. Sampai suatu hari, ketika saya masih di Malaysia kakak memberi kabar kalau ibu hendak berjualan nasi uduk. 

Saya mendukung niat ibu. Dengan modal yang tak begitu banyak, ibu memulai usahanya. Mulanya, hanya menjual uduk saja. Tapi kemudian, ada banyak orang yang menitipkan dagangannya. Setelah saya pulang dan kerap melihat aktivitas ibu, saya acap dibuat terpana. Bagaimana seorang perempuan tanpa pendidikan tinggi ini memberdayakan sesama perempuan lainnya. Gimana ceritanya kalau cuma dagang uduk saja bisa memberdayakan perempuan?

Ibu saya, setiap pagi menggelar dagangannya. Jualan di kampung, tentu saja harganya murah-murah saja. Rp5000/bungkusnya. Isinya, tentu saja nasi ditambah dengan beberapa lauk seperti potongan dadar telur, oreg tempe, bihun goreng dan sambal tentu saja. Eh, kerupuk jangan lupa. Harganya iya Rp5000. Tapi, kalau ada orang beli Rp3000-Rp4000 masih dilayanin dengan lauk yang sama. Mak Ai! Murah hati betul ibu saya itu. Ibu hanya menyediakan dua jenis gorengan, bakwan dan tempe. Kata ibu, biar diisi oleh tetangga makanan lainnya.

Lah, kalau cuma jualan uduk begitu, di mana letak pemberdayaan perempuannya? Nanti dulu, sabar...

Jadi, setelah sekian lama ibu saya berjualan, mulai ada orang-orang yang menitipkan kuenya. Dari mulai risoles, donat, ketan, pisang goreng, martabak mini, bubur sumsum, buras dan macam-macam lagi. Kalau pas pulang dan ngobrol sama ibu, saya acap berbincang-bincang bagaimana para ibu di luaran sana menitipkan dagangannya.

Ada, seorang ibu yang tiap harinya menjual bubur sumsum. Jualannya tak banyak, karena memang modalnya sangat terbatas. Ibu ini, awalnya bukan orang susah. Tapi, roda ekonomi selalu berputar. Beliau pantang menyerah, dengan uang seadanya membuat bubur sumsum. Meski tak banyak, tapi dari uang berjualan itulah ia menggantungkan kehidupan sehari-harinya. Apa sampai ratusan ribu setiap harinya? Tentu saja tak sampai. Bubur yang dibuat sedikit, uang yang didapat pun tentu saja sedikit. Kadang, hanya Rp20,000 saja. Tapi, dari uang itulah ibu tersebut membeli kebutuhan hidup setiap harinya. Kadang, kalau buburnya nggak ada yang beli, sama ibu saya diborong. Trus dikirim ke kakak saya yang suka makan bubur tersebut. Tapi sekarang ibunya lagi libur, lagi di luar kota jaga cucunya.

Risoles. Seorang perempuan muda, setiap harinya membuat risoles tak lebih dari 20 biji. Ditaro di tempat ibu saya. Suaminya ada, tapi yah kerjanya gitu-gitu aja. Balik lagi, uang 20 itulah yang diputar buat kebutuhan hidup sehari-hari.

Kalau ibu penjual buras beda lagi. Jualannya lebih banyak. Yang jualan sudah sepuh. Tapi beliau gigih setiap hari menitipkan jualannya. Untuk tambah-tambah biaya hidup sehari-hari, katanya. Sekarang, ibunya lagi nggak jualan. Sejak suaminya meninggal belum lama, ibunya sering sakit-sakitan. Kabarnya, setelah idul adha ini akan berjualan lagi. Semoga segera jualan lagi. Soalnya burasnya enak.

Penjual ketan, pisang goreng dan sebagainya itu semuanya perempuan. Dulu saya abai dengan aktivitas ibu selama berjualan. Tapi melihat latar belakang siapa saja yang berjualan, saya malah kagum. Roda ekonomi sederhana digerakan dari kalangan bawah. Betapa nilai uang yang nampak tak seberapa itu mampu menghidupi perempuan-perempuan hebat tersebut. Kadang saya mikir, ibu saya ini tanpa sadar juga jadi feminis. Tapi benar-benar di akar rumput. Tanpa ilmu, tanpa teori dan tanpa pahaman-pahaman apapun. Hahahaha... lebay amat ya saya.

Itu baru yang nitip jualan. Ada lagi cerita-cerita ibu yang lain. Ibu saya ini penjual yang murah hati. Ibu selalu melebihkan orang yang beli. Misal ada yang beli gorengan lima, ditambah jadi enam. Atau kalau ada anak pondok beli, selalu ditambahin macam-macam. Malah ada satu anak yang kerap dikasih uduk setiap pagi (sekarang anaknya udah pulang). Kata ibu saya, itu cara dia "menitipkan" anak-anaknya ke alam semesta. Eh, maksudnya gimana? Saya kan jarang di rumah, selalu hidup merata-rata. Jadi, ketika ibu memberi makanan ke pembeli itu ibaratnya lagi ngasih ke saya. Lebih kurangnya begitulah.

Kalau kata kakak saya, itu cara ibu berbahagia. Jadi, biarkan saja, jangan pernah dihitung dengan matematika.

Kalau pas pulang, kadang saya suka iseng merhatiin tangan ibu kalau lagi tidur. Di usianya yang sudah memasuki 59 tahun, tangan ibu nampak mulai keriput. Sering ngerasa takut dan dibuai sayu. Takut kalau tiba-tiba ibu tiada. Takut kalau selama hidup saya, saya tak pernah sekalipun berbakti kepada ibu. Pernah, terdetik di hati kecil kalau ada rezeki, saya ingin berangkatin ibu umroh. Nggak usah saya dulu, saya harus prioritaskan ibu. Meski saya tak tahu, entah dari mana uangnya. Tapi melihat orang-orang yang naik haji katanya harus punya niat dulu, maka itulah niat yang saya tanamkan di hati kecil. Kenapa bukan niat haji sekalian? Usia ibu saya menjelang 60 tahun. Kalau daftarnya sekarang, kapan akan dapat panggilan. Meski sebetulnya, perhitungan manusia terkadang tak sama dengan ketentuan-Nya.

Semoga Allah mengijabah niat saya.


Postingan Lama Beranda

Teman-teman

Sering Dibaca

  • Minyak Gamat Bukan Hanya untuk Obat Luka
  • Diary Blogger Indonesia
  • RM. 100 Dari Denaihati
  • Betapa Inginnya Mengumrohkan Ibu Saya
  • Beli Sprei Bisa Umroh?

Harta Karun

  • ▼  2022 (5)
    • ▼  April (3)
      • Mengurangi Gas Emisi Dimulai dari Diri Sendiri
      • Membaca Komedi-komedi Abdur Rasyad di Merajut Indo...
      • Gali Lubang Tutup Lubang untuk Bertahan Hidup Sela...
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2021 (8)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2020 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2019 (41)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (63)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (23)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2015 (137)
    • ►  Desember (25)
    • ►  November (20)
    • ►  Oktober (34)
    • ►  September (19)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (52)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2013 (40)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (12)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2012 (74)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (14)
  • ►  2011 (87)
    • ►  Desember (10)
    • ►  November (8)
    • ►  Oktober (18)
    • ►  September (13)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (8)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2010 (141)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (12)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (17)
    • ►  Februari (18)
    • ►  Januari (23)
  • ►  2009 (124)
    • ►  Desember (11)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (17)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (16)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (12)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2008 (105)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (16)
    • ►  Mei (19)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (22)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2007 (30)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (12)
    • ►  Agustus (2)

Kategori

Ads Blogger Hibah Buku Celoteh Cerpen Featured GayaTravel KBO komunitas Murai Perjalanan Piknik Buku Pojok Anaz Reportase resep reveiw Semestarian Serial Sosok Teman TKW TripGratisan Volunteer

Catatan Anazkia By OddThemes | Turatea.com