Tiba-tiba Ada Kebun Stroberi di Desa Karangsari
“Mungkin kampung ini sedang bergerak sesuai dengan hukum alamiahnya, sedangkan kami hanya terjebak pada masa lalu yang terus kami jaga di kenangan kami.”
Penggalan di atas adalah petikan
dari cerita pendek (cerpen) milik Mas Puthut EA dengan judul, “Dalam Pusaran
kampung Kenangan”. Salah satu kumpulan cerpen tersebut saya baca di buku
Kupu-Kupu Bersayap Gelap terbitan Mojok. Cerpen tersebut ada sembilan lembar
lebih. Dan semuanya dalam bentuk narasi. Terkesan membosankan, tapi saya amat
menggemarinya. Selama membaca, selesai membaca pikiran saya berkelindan. Lantas
saya bergumam, “Segala keindahan kampung halaman itu hanya ada dalam kenangan”.
Kenangan ketika saya kecil, juga kenangan-kenangan sebelum saya jauh merantau
entah ke mana-mana.
Saya, ketika pulang seperti
tergagap. Kampung halaman nampak asing di mata saya. Saya juga merasa tak ada kawan dan saya seolah tak bisa
bertahan hidup ketika berada di kampung halaman. Kampung halaman, bagi saya
seperti menjadi tempat wisata saja. Datang sekejap, lalu pergi lagi. Begitu seterusnya.
Tapi, saya bangga punya kampung halaman yang notabene masih desa. Dan saya juga
acap merindukannya. Bahkan, tak jarang saya membanggakannya.
Adalah sepupu saya, yang dulu
ketika kecil kami senantiasa bersama. Dia adalah penebar racun sejati. Dia acap
memanas-manasi. Hampir setiap hari dia mengirim foto dan video keadaan kampung.
Meskipun terkadang foto-fotonya kerap saya tertawakan, karena angle yang
berantakan. Tapi saya menikmati itu semua. Fatullah, sepupu saya seperti
menanam benih memori setiap hari ke alam bawah sadar saya.
Pertanyaan-pertanyaan kapan kamu
pulang yang kerap dilontarkan melalui chats Whatsaap terkadang amat menyebalkan
bagi saya. Tapi, tak jarang pertanyaan itu juga seperti pupuk yang menyirami
rasa kerinduan saya akan tinggal di kampung halaman. Meski saya tak yakin. Tak
yakin akan memilih tinggal di kampung halaman nantinya.
“Bro, balik, Bro. Toli siki ana
kebun strowberi karo kopi ning Karangsari.”
Kami, dalam berkomunikasi
senantiasa menggunakan bahasa Ngapak. Ini tentu saja menjadi barang mewah
karena bisa menjadi pengingat saya yang kadang ada satu dua bahasa Ngapak yang
terlupa.
Ketika Tuloh mengabarkan ada
kebun strowberi, saya dan kakak bingung. Dari mana asalnya kebun tersebut?
Selama ini, tak pernah terdengar kabarnya kalau ada petani strowberi di kampung
halaman kami.
Sampailah tanggal 16 April lalu,
Tuloh mengirimkan sebuah video berdurasi 20 detik. Betul-betul di kebun
strowberi. Dengan pengantar,
“Pan pada njaluk ora?”
“Ngene sapa kue?” Tanya saya
penasaran.
“Mene VC. Ning Karangsari
Baratlah.
Saya membuat video call. Dan
Tuloh betul-betul tengah berada di hamparan kebun strowberi dengan latar belakang gunung Kukusan. Saya
takjub. Bertanya itu di daerah mana dan meminta dia mengirim foto lebih banyak.
Meski tetap saja, foto yang Tuloh kirimkan tak sesuai dengan ekspektasi saya.
Hahahaha. Malangnya, saya tak dapat mengingat tempat yang dia sebutkan. Sampai
akhirnya kakak saya muncul dan bertanya,
“Bekas kebun jambu udhu?”
“Kidule.”
“Sebelah wangan?”
“Iya, betul!”
Siyal! Daya ingat saya memahami
peta kampung halaman rupanya sangat buruk. Sama dengan kapasitas daya ingat mengenai beberapa bahasa yang acap terlupa.
Kebun itu, tentu saja bukan milik
Tuloh. Bukan juga milik saudara saya. Tapi, perasaan saya begitu berbunga
melihatnya. Penasaran siapa yang punya, siapa yang menanam, kenapa terpikir
menanam strowberi dan kenapa memilih desa Karangsari? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut berkelindan ketika Tuloh
mengabarkan yang menanam adalah warga dari tetangga desa.
Tuloh mengabarkan serba sedikit
mengenai petaninya. Sampailah malam harinya, saya menelusuri Facebook, dengan
carian kunci “strowberi Karangsari” saya berhasil menemukan siapa pemiliknya.
Saya memberanikan diri untuk
menambahkannya menjadi teman. Tak ada satu mutual temanpun dalam list jumlah teman
pemilik akun bernama Hartono Sedapur. Tadinya, saya berpikir pemilik akun satu
lingkaran dengan orang-orang dari SMAN 1 Pemalang. Kenapa? Yah tiba-tiba saya
dapat lingkaran itu soalnya. Ahahahaha... Padahal nggak pernah sekolah di
Pemalang.
![]() |
Statusnya orang-orang Karangsari ^_^ |
Minggu pagi, saya memberanikan
diri mengirim inbox. Dan dengan ramah, Mas Hartono menyilakan saya untuk menghubungi
nomor Whatsappanya (WA). Mulanya, saya berpikir ingin menuliskan sedikit
mengenai kebun strowberinya. Beberapa pertanyaan sudah saya susun di kepala
(iya, baru di kepala doang eheheheehe).
Tapi, saya urung memberikan
banyak pertanyaan ketika tiga soalan yang saya berikan, salah satu jawabannya
membuat saya merenung panjang.
“Kenapa memilih desa Karangsari
sebagai kebun, sedangkan Mas Hartono sendiri kalau tidak salah orang
Jurangmangu?”
Jawabannya,
“Pertama soal kebutuhan air buat
tumbuh kembang stroberi, Karangsari soal air cukup memadai. Kedua, perihal
mendekat ke pasar, konsumen stroberi petik sendiri cenderung memilih akses
jalan yang mudah dijangkau.”
Saya terdiam cukup lama membaca
baris-baris tersebut. Semuanya bagi saya seolah menjadi tiba-tiba. Tiba-tiba,
saya jadi ingat draft tulisan di blog pribadi dengan judul, “Siapakah Gadis
dari Jurangmangu itu?” Jangan-jangan, istri Mas Hartono adalah gadis yang saya
pertanyakan di kepala sejak dua bulan terakhir ini. Lalu, tiba-tiba juga saya
seperti melihat potensi ekonomi yang begitu besar di desa saya.
![]() |
Selepas membaca novelnya Okky Madasari, saya teringat dengan sosok gadis dari Jurangmangu yang tak pernah saya kenali. |
Dan mengenai ketersediaan air di
desa Karangsari yang melimpah, saya jadi ingat salah satu akun di Twitter yang
belum lama saya ikuti. Akun tersebut adalah milik anak Gunungsari. Kata dia,
mengabarkan ke teman saya lainnya bahwa
desa saya, adalah tempat dia mengambil air ketika musim kemarau tiba.
Jangan-jangan, akun tersebut juga temannya Mas Hartono karena kalau tak salah
dia juga pernah kuliah di Semarang. Alahai, tiba-tiba!
Allahu...
Betapa kayanya kampung saya!
Kembali ke pembukaan tulisan di
atas, mengetahui ada kebun stroberi dan mengenal Mas Hartono seperti
menampar-nampar alam bawah sadar saya. Bahwa, sejatinya kampung halaman itu tak
hanya indah dalam kenangan.
Saya urung menanyakan banyak hal kepada
Mas Hartono. Mungkin, lain kali saya harus
menyusun kembali soalan-soalan yang akan diajukan. Dan
jawaban-jawabannya, tak menimbulkan melankolia kepada diri saya.
Bersambung...
Waktu Tuloh kirim foto ini, kami yakin ini bukan jepretannya. Hahahahaha!