Paradoks Amir Hamzah
Ia dilahirkan di
Tanjung Pura, Langkat, pada 28 Februari 1911. Muasal darah biru pada dirinya
bermula dari Langkat, salah satu kesultanan tertua di pesisir timur laut
Sumatera. Ia merupakan garis ketiga keturunan Sultan Musa.
Agustus
1925 Amir Hamzah masuk sekolah MULO di Medan. Setahun kemudian, ia pindah ke
Christelijke MULO di Batavia (Jakarta). Dari sinilah bermulanya Amir Hamzah
mengenal tokoh pergerakan juga para tokoh-tokoh sastra. Tahun
1927-1929 Amir Hamzah kembali melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbare
School (AMS) Solo (Surakarta). Di kota ini juga, Amir Hamzah mengenal Ilik
Sundari, kekasih hati yang banyak mengilhaminya menulis puisi.
Sejak
kecil, Amir Hamzah sudah mencintai dunia sastra. Sejak tahun 1920-an, ia sudah
berupaya meninggalkan bahasa Belanda. Di mana ketika ia menulis prosa, puisi
dan prosa liris dalam bahasa melayu, cikal bakal bahasa Indonesia.
Dikenal
sebagai raja penyair pelopor gerakan bahasa baru, Amir Hamzah dan dua orang
tokoh sastrawan Amrijn Pane serta Sutan Takdir Alisjahbana mendirikan majalah
Poedjangga Baroe pada 1933. Di tahun ini juga, Amir Hamzah mengenali masa-masa
sulit dirinya.
Tahun
1931, Tengku Mahjiwa, ibu Amir Hamzah meninggal. Menyusul kemudian ayahnya,
Tengku Muhammad Adil meninggal pada tahun 1933. Sejak ayahnya tiada, Amir
Hamzah mengalami kesulitan ekonomi. Kesibukannya mengajar di berbagai tempat
tak dapat menutupi kebutuhan hidupnya di Batavia.
Selanjutnya,
biaya hidup Amir Hamzah ditanggung oleh pamannya, Sultan Mahmud. Ironisnya,
bantuan pendidikan dari pamannya itu tidak gratis semata-mata. Dengan syarat
tidak boleh berpacaran dan aktif di pergerakan, setiap gerak-gerik Amir Hamzah
selalu diikuti oleh orang suruhan pamannya.
Amir
Hamzah, tetaplah manusia yang di dalam dirinya sepenuhnya berisi perjuangan
untuk republik Indonesia. Ia tetap bergaul dengan Muhammad Hatta, Soebardjo dan
Muhammad Yamin. Ia tetap menulis di majalah Poedjangga Baroe. Ia juga menjadi
guru untuk orang-orang pribumi, di Perguruan Rakyat, Taman Siswa juga Sekolah
Muhammdiyah. Bersama dengan Ilik Sundari, mereka acap turun ke kampung-kampung
untuk mengajar. Bagi mereka, mencerdaskan rakyat adalah bagian dari proses
menju kemerdekaan.
Tahun
1938, Amir Hamzah dipanggil pulang ke Langkat oleh pamannya. Ia juga dinikahkan
dengan Tengku Kamaliah, putri tunggal Sultan Langkat.
Tahun
1946, terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur. 7 Maret 1946, para pemuda
menangkap Amir di rumahnya. Amir dituduh pro-Belanda oleh para pemuda sosialis.
Tuduhan pro-Belanda ini karena Amir merupakan kerabat dekat Sultan. Bahkan,
menantunya. Selama dua pekan, Amir tiga kali berpindah kurungan, dari rumah
tahanan Binjai, Kebun Lada, sampai perkebunan Kwala Begumit, sepuluh kilometer
di luar Binjai. Penyair pujangga baru itu dieksekusi pada 20 Maret 1946 setelah
disiksa di tempat terakhir bersama 26 tahanan lain.
Ironisnya,
Amir Hamzah dieksekusi oleh guru silat kesultanan, pengurus kebun yang amat ia
sayangi, Ijang Widjaja. Amir
Hamzah, meski tumbuh dalam kemewahan keluarga Kesultanan Langkat, ia dikenali
sebagai figur sederhana. Bagaimana mungkin, seorang pahlawan yang betul-betul mencintai republik Indonesia, tapi dibunuh semena-mena oleh rakyatnya sendiri? Lantas bagaimana dengan kisah cintanya bersama Ilik Sundari, kekasih hati yang banyak meninspirasinya membuat puisi....
Judul Buku: Paradoks Amir Hamzah
Jumlah Halaman: 127
Harga Rp. 50.000
2 komentar
Ada keasikan tersendiri ya mba kalau baca buku tokoh sejarah. Nice share.
BalasHapusPribadi yang menarik. Referensi bacaan yang bagus.
BalasHapusPersonal blog, kadang anti sama spammer yang hanya menyebar link. Lebih mengutamakan pertemanan antarpersonal. Komentar kembali dimoderasi masih banyak obat-obatan yang nyepam :D :P