Aku beku oleh perasaanku. Sayu semakin memenjara ruang hati dan jiwaku. Dingin dan lapar semakin membuatku lemas tak bergerak. Entah sudah berapa jam aku dikurungnya. Aku terduduk lesu. Airmata tanpa permisi mengalir, menjadi teman setiaku saat aku berduka. Aku memegang kepala, begitu kuat dia menarik rambutku, juga mendorong keras kepalaku. “Ya Allah, kenapa Aku diberi cobaan yang sangat berat?. Apa salahku Ya Allah…???.” Mengusik nasib yang sedang ku lalui, kadang aku tak mampu berpikir normal, selalu menanyakan keadilan Tuhan. Padahal, aku pun sering tidak adil dengan Sang Pemilik alam.
Ibu, adakah engkau sedang mendoakanku sekarang...???
***
“Nak, tidak mudah kerja dengan orang. Apa kamu sanggup…?.”
“Marni kan selalu bantu Ibu. Nanti lebih mudah kerja di sana.”
“Kerja dengan orang itu lain, Nak. Kamu ada peraturan. Apa Marni bisa?.”
“Insya Allah sanggup, Bu… Ini untuk kebaikan kita juga Bu. Ibu jangan lupa doakan Marni, biar selamat di Malaysia.”
“Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk Marni. Tapi, Ibu keberatan jika Marni harus ke Malaysia.”
“Ibu, percayalah pada Marni. Marni sudah besar.”
“Ibu tahu Nak, Marni sudah besar. Besar saja tidak cukup untuk bekerja dengan orang. Kita juga harus berjiwa besar. Bolehkah marni tunda keinginan Marni?.”
***
Air mataku kembali menderas. Berjiwa besar. Yah Aku harus berjiwa besar, seperti nasihat ibu. Teringat lagi kata-kata ibu, semakin membuat jiwaku diruntun lara. Kalaulah dulu aku tidak memaksa ibu, tentunya, ibu tak akan memberikan izin aku kerja di Malaysia.
Aku menggeser tempat duduk. Merapatkan kedua tangan dan kakiku yang terasa semakin membeku, aku menggigil lapar semakin memanggil. Sudah kuminum air mentah sejak tadi, tapi ia tak sekalipun mengenyangkanku. "Bu, aku merindukanmu." mendadak aku meracau tak jelas. Perasaanku semakin membias.
***
“Ibu, apakah awan itu jauh?”
“Jauh, Nak. Kenapa?.”
“Saya ingin memegang awan, Bu?.”
“Awan tak bisa di sentuh, Nak.”
“Kenapa, Bu?.”
“Karena ia hanya uap air yang menguap menjadi titik-titik air maka terbentuklah awan.”
“Betulkah, Ibu?.”
“Betul, Nak.”
“Kalau gitu, Marni mau melihat awan lebih dekat.”
“Gimana caranya Nak, awan kan tinggi?.”
“Marni ingin naik pesawat, Bu…”
Dialog ketika aku kecil, ketika aku ingin sekali memegang dan melihat awan. “Ibu, impianku telah tercapai. Aku telah berhasil melihat awan lebih dekat. Aku naik pesawat, Bu." Aku semakin tak tentu, meracau memanggil ibuku, juga mengingati masa laluku. Kenangan itu semakin jauh dan menjauh...
***
Ratri duduk di lobi hotel, menunggu seorang teman yang berjanji akan bertemu di lobi pagi itu. Sudah tiga hari, ia berada di Malaysia karena ada urusan kerja. Iseng, ia meraih surat kabar yang tergeletak di atas meja. Agak susah memahami bahasa Malaysia. Tapi ia masih paham. Dan terpaku pada sebuah berita
"Seorang pembantu rumah ditemukan meninggal di dalam bilik air. Diduga didera oleh majikannya."
Ratri tercekat, ia teringat Mak Ijah, seorang buruh cuci baju di dekat rumahnya yang mempunyai anak gadis semata wayang yang bekerja di Malaysia, Marni namanya.