Catatan Anazkia

Karena hanya tulisan yang bisa saya tinggalkan

  • beranda
  • Kisah
    • Serial
    • Cerpen
    • Celoteh
    • Reportase
    • Perjalanan
      • Gaya Travel
      • Trip Gratisan
      • Piknik Buku
  • Pojok Anaz
  • Murai
  • Sosok
  • komunitas
    • Volunteer
    • KBO
    • Semestarian
    • Blogger Hibah Buku
Pagi itu, ia berada di atas pohon kopi. Pohon kopi di belakang rumah, buahnya sudah mulai meranum dan siap dipetik. Lagi-lagi, karena badannya kecil ia selalu mendapat jatah bagian mengambil paling atas. Kadang, ia menggunakan sarung, dengan melilitkannya di leher dan mengikatnya, lantas bagian lain, ia ikat di bagian pinggang. Jadilah sarung sebagai kantong ajaibnya, untuk meletakan biji-biji kopi yang telah dpetiknya. Tapi memetik kopi dengan cara seperti itu, ada kalanya membawa dampak buruk. Semut-semut yang menyelinap di balik grombolan biji-biji kopi siap melahap dan menggigitnya. Tak jarang, sebelum habis ia menyelesaikan tugasnya, ia harus buru-buru turun dari pohon.
Maka ia merubah cara dengan membawa ember ke atas pohon. Mengaitkannya di dahan terdekat, dengan kayu yang sudah dibuat sebagai pengait, ia akan mengait tangkai-tangkai kopi yang tak terjangkau oleh tangan kecilnya.
Foto ini nyuri dari google
Dan hari itu seperti biasanya, ketika musim panen kopi tiba. Dari atas pohon kopi, terkadang, ia tak hanya memetik buahnya, tapi juga melihat ke sekeliling di bawahnya. Ia dapat melihat lalu lintas jalan yang tak berapa ramai juga lalu lalang orang. Dan ketika ada sebuah mobil panther berhenti di jalan besar berdekatan dengan rumahnya, ia mengintai-intai dan bertanya dalam hati, "Mobil siapa gerangan...???"
"Nenekkkk, ada mobil berhenti di depan." Ia berteriak dan buru-buru turun ke bawah. Segera melihat siapa agaknya yang membawa mobil. Tak dihiraukannya ember yang masih bergayut di atas dahan pohon kopi. Tak juga diturunkannya pengait kayu yang dibawannya.
Tak dinyana, orang-orang yang turun dari mobil ada yang dikenalinya. Dia adalah budenya sendiri, kakak dari ibunya. Ia tersengih, dan segera memberi salam. Ternyata, udenya baru pulang dari kota dan diantar oleh majikannya.
Akhirnya, tahulah ia bahwa kepulangan sang bude ke kampung beserta majikannya adalah untuk menjemputnya. Yah, menjemputnya untuk bekerja di kota, sebagai pembantu rumah tangga. Ia tak takut sedikitpun. Padahal, bapaknya menyuruh ia untuk melanjutkan sekolah. Tapi ia terlanjur menikmati kebebasannya setelah lulus SD. Dan ia enggan untuk kembali melanjutkan sekolahnya.
Beberapa hari setelah budenya pulang, akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengikuti budenya bekerja di kota, sebagai pembantu rumah tangga. Ia sempat berpisah dengan kawan dekatnya dan merasa bersedih. Tapi ia tetap gembira. Harapannya terwujud untuk mengunjungi sebuah tempat bernama kota. Dengan budenya, ia menuju ke kota terdekat dari kampunya, karena di sanalah majikan budenya menginap.
Sampai di sana, tengah hari dan harus menginap satu malam di kota kecil tersebut. Baru esoknya, ia, budenya dan kedua majikannya menuju ke kota besar. Itulah untuk pertama kalinya ia menaiki kendaraan pribadi. Begitu ndesitnya ia, sampai-sampai ia selalu melihat apa saja yang dilaluinya. Sebelum berangkat, teman dekatnya protes kalau kota yang dituju bukanlah kota besar Jakarta. Tapi ia tak peduli, yang penting ia akan ke kota dan dekat dengan Jakarta.
Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah. Ia begitu takjub, rumahnya sangat besar, berlantai keramik, kursinya berjejer dan berukir terbuat dari kayu jati. Ada juga kursi dan mejak makan yang bundar. Ia juga dapat melihat kulkas juga TV berwarna, dua puluh satu inci. Ia benar-benar terkejut. Berbeda sekali dengan keadaan di kampungnya. Di rumah neneknya, lantainya tanah, tak ada kulkas, apalagi TV karena listrik pun belum ada di kampungnya. Dan ia, tak menemui tungku seperti di rumah neneknya, karena sudah ada kompor gas seperti yang pernah ia lihat di rumah seorang teman di kampung tetangga.
Masih sama, nyuri dari google juga :) di perumahan inilah, ia pertama kali menjejakan kaki di sebuah tempat bernama, kota
Dia, mengalami keterkejutan budaya...
Itulah untuk kali pertama ia menjejakan kaki di kota. Debutnya, sebagai PRT dimulai sejak usia tiga belas tahun. Ia, masih mengingat jelas alamat juga nomor telpon rumah majikan pertamanya.
*****
Saat aku pulang ke kampung halaman, aku sering diusik oleh anggota keluargaku.
"Eh, An, kamu inget nggak? Dulu, kan sewaktu budemu datang, kamu pas ada di atas pohon kopi. Terus, embernya kan nggak diturunin. Nah, Nenek tuh, kalau kangen sama kamu, pasti akan ke belakang rumah dan mendongak ke atas melihat ember yang kamu tinggalkan. Ember itu, sengaja nggak diturun-turunin."
"Mosok nggak diturun-turunin. Lama?"
"Lumayan lama juga, akhirnya ember itu diturunin juga."
Sayangnya, pohon kopi itu sudah tiada, seperti pohon cengkih yang pernah menghasilkan Rp.250 pun kini sudah ditebas oleh keluarganya. Meskipun kedua pohon itu telah tiada, tapi kenangan menaiki pohon tersebut selalu ada. Waktu, tak akan mampu menghapus kenangan masa lalu...
Sesekali, aku merasakan rasa itu. Rindu, pada "rumah" lamaku, "rumah" pertamaku, anazkia.blogspot. Kerap, kupendam saja rasa itu, meyimpannya rapat-rapat. Tapi kadang terlambat, karena terkadang, tanpa diminta perasaan itu kembali menyentak-nyentak. Lantas kususun satu demi satu menyusun remah-remah itu, menjadi kalimat pelepas rindu. Aku kembali ke sini, rumah lamaku...
Sering, ada rasa segan kepada teman-teman yang berkunjung dan berkomentar, tanpa aku kembali mengunjunginya..., rasa salah itu, mendarah... menutup saja rumah ini, rasanya tak begitu bersahabat. Kali ini kembali, Insya Allah, betul-betul kembali... Aku merindukan, sahabat-sahabat mayaku, di sini, di rumah maya ini... Eh, kenapa kalimat-kalimaku lebay begini yah? Fiuhhh... Gegara kebanyakan baca nopel, selama seminggu lapi sakit, inilah padahnya. Saatnya blogwalking... Serial tersusun rapi, dalam draft imajinasi :)
"Nak, tolong pinjam jagung ke rumah Mbok Tua Sayu. Beras kita sudah habis."
Suatu sore, neneknya menyuruh ia meminjam jagung. bersama dengan sang Kakak, ia berjalan beriringan, menuju rumah Mbok Tua Sayu. Sesampainya di rumah Mbok Tua Sayu, sang Kakak menuyuruhnya membuka kalimat, untuk meminjam jagung. Ia manut, karena ia tahu, Kakaknya lebih pendiam.
Mereka pulang dengan segembolan jagung di gendongan. Bergantian, mereka membawanya ke rumah. Jarak rumah Mbok Tua Sayu dengan rumah neneknya lumayan jauh. Sore itu, ia menunggu makan malam dengan menu utama, nasi jagung. Ia menanti, budenya menumbuk jagung, sampai menjadi tepung, kemudian menanaknya.
Harga beras saat itu, seliternya sekitar Rp.300. Ia tak selalu makan nasi beras. Terkadang, ketika bosan dengan nasi jagung, memakan nasi beras adalah sebuah makanan yang sangat istimewa. Atau sesekali, ketika hanya ada beras sedikit, budenya akan mencampur beras dengan jagung, maka jadilah ia menyantap sega bronjol (Nasi beras dengan campuran jagung).
Sesekali, ia juga disuruh untuk membawa seliter jagung ke penjual gorengan. Dengan menggunakan sistem barter, ia menukar seliter jagung dengan beberapa keping gorengan tempe yang masih mengepul dibungkus daun pisang. Uapnya, kadang membuat ia tak tahan untuk mencicipinya, dan mencuil sedikit demi sedikit pecahan tepungnya. Ia sangat gembira, ketika penjual gorengan sering menghadiahkan sekeping gorengan untuk tambahan.
Ia mempunyai teman, rumahnya berdekatan. Sang teman, kebetulan belajar di sebuah pesantren. Kadang ia diminta mengantarkan teman tersebut ke pesantren, yang tempatnya agak jauh dari kampungnya. Dengan menaiki angkutan umum sekali, dari situ ia harus berjalan kaki. Selama berjalan, ia harus melewati sebuah taman pariwisata, pemandian.
Ia sering mendengar, di dalam situ ada sebuah kolam renang. Pikirannya berkelana. Ia tak pernah melihat sebuah kolam renang. Setiap kali melewati tempat tersebut, ia selalu membayangkan bentuk kolam renang. Selama ini, ia hanya berenang di kali, tak pernah sekalipun dirinya melihat ujud dari kolam renang itu sendiri, selain di buku-buku yang pernah ia lihat.
Setiap mengantar temannya, selalu jatuh pada hari minggu. Di hari minggu itulah, hiruk pikuk keramaian kolam renang selalu terdengar. Gelak tawa, juga kecipak air terdengar begitu indah di telinganya. Ia semakin penasaran. Mengintip di celah-celah pagar, hanya sedikit saja yang mampu ia lihat, mereka, anak-anak kecil seusianya sedang berbahagia dengan keluarganya menghabiskan akhir pekan.
Tapi dia tahu diri. Tak mungkin meminta uang Rp.300 kepada neneknya, kalau hanya untuk mandi di kolam renang tersebut. Ia tahu, kadang untuk membeli beraspun, neneknya tidak cukup uang. Ia pendam saja keinginannya, untuk masuk dan melihat kolam renang yang sering diintainya. Ia malah sering mendengar cerita, dari teman-temannya yang sudah pernah masuk ke sana.
*****
"Mbak Ana, ayo pulang bareng?"
"Gak mau ah. Pulang duluan aja."
"Udah sih, pulang bareng aja."
"Yeee... Aku nggak mau. Udah gih sono, pulang duluan."
"Bener nih? Nggak pake nyasar yah?"
Ternyata, ini kolamnya yang dulu bikin aku penasaran setengah idup
Semprul. Mentang-mentang jarang pulang ke kampung halaman, aku sering diledekin nyasar. Padahal, aku tuh yah masih inget jelas seluk beluk jalan di kampung. Setelah sepupuku beredar dengan motornya, aku berjalan menyusuri pasar Moga, terus menuju ke utara. Aku menuju tempat yang dulu sering kuintai. Yah, sejak lama aku memendam keinginan untuk masuk ke sana...
Ternyata, masuk ke sana tak lagi membayar Rp.300. Tapi, kini menjadi Rp.5000. Aku merogoh tas karung goni pemberian Mbak Reny, mengeluarkan uang selembaran lima ribu, memberikannya kepada penjaga loket. kemudian, masuk ke dalamnya. Sunyi... tak ada keriangan ataupun canda seperti yang kudengar beberapa puluhan tahun lalu. Hanya ada beberapa orang. Ini bukan hari libur, mungkin ini yang mengakibatkan tidak banyak orang yang berkunjung.
Tak banyak yang kulakukan, hanya mengambil beberapa gambar. Sadar tak sadar, aku mengeluarkan air mata, ketika mengarahkan kamera ke berbagai objek. Ada yang mengusik hati kecilku. Dulu, dulu sekali betapa inginnya aku masuk ke tempat itu, tapi setelah aku masuk ke dalamnya, ternyata ia biasa-biasa saja. Bahkan, aku sudah berkunjung ke tempat-tempat yang lebih bagus dari itu.
Ah, Allah ternyata memberikan lebih, dari apa yang aku mau. Hanya saja, aku tidak menyadarinya. Aku buru-buru keluar dari dalam kolam renang, menyusut air mata yang menggenang...
Adakalanya, kita perlu berdamai dengan masa lalu. Masa lalu, waktu yang paling jauh yang tak akan mampu kembali kutemu. Tapi, aku tak harus melupakan masa lalu, karena masa lalulah, yang telah membentukku.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Teman-teman

Sering Dibaca

  • Kontes Blog Bermula
  • Blogger Return Contest
  • Nikahilah Aku, Dengan Buku
  • Serpihan-Serpihan Kasih
  • 2 Konsonan

Harta Karun

  • ►  2020 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2019 (41)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (63)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (23)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2015 (137)
    • ►  Desember (25)
    • ►  November (20)
    • ►  Oktober (34)
    • ►  September (19)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (52)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2013 (40)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (12)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2012 (74)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (14)
  • ▼  2011 (87)
    • ►  Desember (10)
    • ►  November (8)
    • ►  Oktober (18)
    • ►  September (13)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (8)
    • ►  Maret (2)
    • ▼  Februari (3)
      • Tiga Belas Tahun
      • Menyatu, Remah-Remah Rindu
      • Rp. 300
    • ►  Januari (4)
  • ►  2010 (141)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (12)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (17)
    • ►  Februari (18)
    • ►  Januari (23)
  • ►  2009 (124)
    • ►  Desember (11)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (17)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (16)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (12)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2008 (105)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (16)
    • ►  Mei (19)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (22)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2007 (30)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (12)
    • ►  Agustus (2)

Kategori

Ads Blogger Hibah Buku Celoteh Cerpen Featured GayaTravel KBO komunitas Murai Perjalanan Piknik Buku Pojok Anaz Reportase resep reveiw Semestarian Serial Sosok Teman TKW TripGratisan Volunteer

Catatan Anazkia By OddThemes | Turatea.com