
Tidak berlebihan bila penjara disebut sebagai hadiah untuk penulis. Sebab begitu banyak penulis yang tetap menulis meski dipenjara. Begitu banyak karya besar dan monumental lahir dari penulis-penulis yang raganya dipenjara.
Sebut saja Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) adalah karya Pram yang lahir saat ia dipenjara di Pulau Buru. Karya besar Tan Malaka, Madilog, juga lahir di penjara.
Nawal El Sadawi, penulis feminis asal Mesir, juga tak menjadikan penjara sebagai halangan untuk tetap menulis. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi yang dipenjara pada tahun 1981 oleh rezim Anwar Sadat menghasilkan memoar Dari penjara Perempuan. Live from Death Row dan All Things Cencored adalah karya Mumia Abu Jamal, seorang wartawan Afro-Amerika yang dituduh membunuh seorang polisi. Bertahun-tahun Abu Jamal dibui walaupun bukti bahwa dia tak bersalah telah ditemukan. Selama meringkuk dalam penjara Pennsylvania, Abu jamal menulis dua karya tersebut. Tulisan-tulisannya itu disetarakan dengan tulisan Martin Luther King Jr yang juga menghasilkan karya dalam penjara, Letter from Brimingham Jail.
Karya monumental yang juga lahir dari penjara adalah Tafsir Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Qutb, yang bahkan disebut sebagai the most remarkable works of prison literature ever produced. Sayyid Qutb menyelesaikan karya tersebut sebelum syahid di tiang gantungan rezim Gamal Abdul Nasser tahun 1966. Beliau ditangkap karena organisasinya, Ikhwanul Muslimin, dinyatakan terlarang oleh pemerintah Mesir. Selain Fi Zhilalil, Qutb juga menghasilkan buku Ma'alim Fi Thariq (petunjuk jalan) dan risalah kecil, Mengapa Saya Dihukum Mati?
Di Indonesia, Tafsir Al-Azhar Hamka juga lahir dari bui. Hamka menulis karya besar ini saat dipenjara Orde Lama. Begitu juga dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang tetap menulis meski dalam penjara. Bahkan Hitler, yang dipenjara pada tahun 1924, juga menulis Mein Kampf, yang menjadi panduan bagi Jerman untuk menjadi negara superpower.
Petikan dari, "Buku Sakti Menulis Fiksi" sebuah renungan untukku sendiri, kadang comfort zone, betul-betul menjadi zona nyaman sampai-sampai untuk menulis pun males. Apakah perlu dipenjara dulu untuk menulis? Ah, saatnya mengeluarkan diri dari kungkungan penjara kemalasan! Chayoo.. Semangat menulis...!!!
Gambar nyulik di sini