“Ibu, tunggu. Jangan tutup pintu. Ana mau keluar lagi.” Aku tergesa-gesa menuju pintu. Sempat juga aku menyembunyikan ayam yang baru saja aku mandikan. Tapi, terlambat… Ibu majikanku keburu melihat.
“Apalah awak ni, macam tak ade kerja lain.” Spontan suara ibu meninggi. Tapi, aku yakin ia menyimpan tawa dalam nada suara dan mimik mukanya. Aku pun tersenyum-senyum sendiri, mentertawakan apa yang aku lakukan. Lucu juga, mosok mandiin kok ya ayam. Ini bukan pertama kali aku kepergok mandiin ayam. Malu juga kadang, kayak anak kecil!
Nggak tahu kenapa, sejak di Malaysia aku jadi akrab dengan beberapa binatang, diantaranya Kucing dan Ayam. Kalau lagi ngasih makan mereka, aku jadi ingat ama sebuah cepen di Majalah Annida. Cerpen yang menceritakan seorang Ibu, yang lebih akrab dengan Ayam berbanding dengan anak-anaknya. Sampai-sampai, ketika ayam-ayam itu mati karena terbakar kandangnya, Ibu itu schok dan masuk rumah sakit.
Kok bisa yah gara-gara ayam mati ko masuk rumah sakit…??? Yah ceritanya mah, Ibu itu kesepian, semua anak-anaknya sibuk dengan keluarga mereka jarang pulang ke rumah. Ibu itu hanya tinggal dengan pembantunya, sedangkan anak bungsunya masih kuliah. Kalo gak salah, anaknya ada lima orang (eh, bener gak yah…??? Abis aku dah lama baca cerita ini) Terus, ayam yang di pelihara pun ada lima juga. Jadi, ketika ayam-ayam itu mati, Ibu itu menyangka kalo semua anak-anaknya pun dah mati.
Cerpen itu cukup menarik. Bahkan, sempat di bahas di Galeri. Waktu itu, Pemrednya masih mbak Helvy dan mbak Helvy sendiri yang bahas. Cerpen yang awalnya berjudul Ayam diganti dengan judul Pelangi di Mata Ibu. Ini juga bisa dijadikan pelajaran ketika aku buat cerpen nanti, judul harus menarik, selain penentuan tema dan karakter tokoh.
Setiap kali aku berinteraksi dengan ayam-ayam di belakang rumah, aku merasa terhibur. Aku merasa, dia adalah sahabatku. Apalagi, awal-awal aku di kerja di Malaysia majikan tidak mengizinkan aku untuk keluar rumah sendiri. Mulailah aku bersahabat dengan mereka, memberi makan setiap pagi (meskipun hanya sisa-sisa makanan yang tidak habis) rutin kadang beberapa kali dalam sehari. Kalo tidak ada sisa-sisa makanan kadang, aku ambil juga beras ataupun nasi. Yang lebih lucu, ayam itu bukan ayam majikanku tapi, ayam tetanggaku.
Karena terbiasa dikasih makan, setiap kali aku atau majikanku buka pintu pasti ayam-ayam itu akan berlarian mengejar. Ibupun protes, “Ana, kenapa tiap kali ibu buka pintu ayam-ayam ni datang?.” Aku pun biasa, senyum aja…
Dari sekian banyak ayam yang ada, aku sangat dekat dengan seekor ayam betina berwarna hitam. Aku akrab dengannya sejak ia kecil. Awalnya, aku kasihan lihat dia, agak jelek, bulunya dikit jadi kayak gundul-gundul githu…(trondol) Aku sering menangkapnya, dia pun jinak. Gak takut ama aku. Aku ulurkan tangan aja, dia mau datang. Anak majikanku ama temen ku yang kerja sama anak majikan protes. Dia bilang, kenapa dari sekian banyak ayam-ayam yang ada aku pilih dia. Aku bilang aja, kesian. Aku sering mandiin dia, awalnya sih aku sembunyi-sembunyi biar gak ketahuan lama-lama ketahuan juga.
Setiap kali Ibu kebelakang rumah, Ibu pasti akan teriak manggil aku. “Ana…, kawan-kawan awak cari…” Nah, itu pasti ada maksud. Maksudnya, aku suruh kasih makan ayam-ayam itu. Beruntung, ketika aku mendapatkan majikan yang baik. Terimakasih ya Allah…
Yang lebih seru, ketika anak menantu majikan aku datang. Dia nih garing abis. Tahu aku akrab dengan ayam di belakang. Di suruhnya aku nangkepin ayam. Buat main anaknya. Dia pun tanya, mana ayam yang sering aku mandikan. Setelah lihat ayamnya, dia mo kasih nama. Awalnya, dia mo kasih nama Jambrong. Tapi aku gak setuju, soalnya dia khan ayam betina mosok di kasih nama Jambrong. Lama-lama mikir akhirnya dia kasih nama Supinawati. Aku tertawa terbahak-bahak tapi, setuju juga.
Hari berlalu, tanpa terasa Supinawati semakin besar. Dan dia tumbuh menjadi ayam yang cantik. Bulunya berkilau tak lagi seperti ayam trondol yang tak berbulu. Padahal, aku kadang amndiinya disabun ama sunlight. Semua tidak percaya, kalau itu adalah Supinawati yang aku selalu mandikan. Bahkan, aku sampai eyel-eyelan sama mereka. Di suruhnya aku mengingat lagi, sapa tahu aku lupa katanya. Wong aku yang ngadepin hari-hari yah nggak lupalah…
Sebenernya, bukan hanya ayam betina yang hitam saja yang jinak ama aku. Hampir semua ayam-ayam itu jinak dan selalu mengikuti aku kalo aku lagi jemur kain. Atau kalo aku mau ke warung lewat belakang rumah tak jarang mereka mengikuti aku dari belakang. Kayaknya, mereka berharap aku akan memberinya makan. Kalau inget ini, suer lucu abis. Coba bayangin, aku jalan terus diikutin ama kira-kira 30an ekor ayam. Lucu, lucu banget. Yang selalu di garda terdepan, tentunya Supinawati. Meskipun dah jauh aku berjalan dan teman-temannya sudah tidak mengikutiku, dia tetap setia mengekori aku. Kadang, sampai aku halau dia baru dia berbalik arah tidak mengikutiku.
Setiap kali aku memberinya makan, tak jarang aku memperhatikan mereka. Ah, nyatanya mereka seperti manusia biasa juga. Ada yang tak sempurna fisiknya. Allah menciptakan segala sesuatunya itu berlainan. Ada diantara ayam-ayam itu yang tak boleh melihat sebelah matanya, kurang jari kakinya. Itu semua membuat aku merenung dan berfikir. Betapa besar karuni Allah…
Sewaktu isu penyakit flu burung, aku jarang berinteraksi dengan ayam-ayam di belakang rumah. Aku juga jarang memberinya makan. Kadang, aku kasih makan ke meraka tapi, aku lemaprin aja terus aku lansung tutup pintu. Aku rasa, ayam-ayam itu pun peka juga. Mereka tidak memakanpun nasi-nasi yang aku lemparkan. Terkadang sampai kering dan berjamur. Supinawatipun semakin jauh dengan aku.
Isu flu burung berlalu, aku pun kembali mengakrabi mereka. Sayangnya, aku merasa ayam-ayam itu semakin hari semakin berkurang. Aku tak melihat lagi Supinawati. Aku teliti mereka satu persatu, dia tiada di antara mereka. Ada juga ayam yang serupa, mungkin itu induknya kadang aku berharap itu adalah dia. Nyatanya bukan. Supinawati menghilang…
Lama kelamaan, aku terbiasa dengan ketiadaannya. Hingga pada suatu hari di bulan Ramadhan, anak majikanku memberi tahu, katanya tetangga belakang rumah ngasih ayam karena kita selalu memberinya makan. Aku yang lagi beres-beres terdiam. Akupun langsung bilang,
“Jangan-jangan, itu ayam Ana.” Aneh juga kan mengkalim ayam aku :D padahal, ayam orang. dah gitu, bang Hasif nyahut,
“Iya kali, ayam hitam . Dah di potong, ada tuh dalam kulkas besar.” Seluruh keluarga majikanku tahu, kalau aku suka mandiin ayam.
Aku tidak bisa menahan sesak di dada, asli! Pengen nangis. Aku buru-buru kebelakang. Aku membuka kulkas besar, aku melihat bungkusan ayam dalam plastik. Perlahan-lahan aku buka, terlihat bulu ayam berwarna hitam. Aku sudah tidak bisa menahan kesedihan, air mata itu jatuh juga. Aku angkat dan ku keluarkan ayam dari dalam kulkas. Aku teliti lebih jelas, rupanya itu bukan Supinawati. Itu seekor ayam jantan aku juga mengenalinya dan dia bukan Supinawati.
Hari-hari berlalu, dan Supinawati tidak lagi terlihat. Aku sedih, kalo nggak malu pengen sebenernya aku nanya sama tetangga belakang rumah. Di kemanain ayam-ayam yang lain…??? Tapi, aku nggak berani. Aku tidak lagi semangat memberi makan pada ayam-ayam di belakang rumah. Pernah suatu ketika, aku mimpi ketemu dengan Supinawati aku lupa mimpinya kayak gimana. Tapi, yang aku ingat setelah bangun dari mimpi itu aku menangis terisak-isak.
Supinawati dah pergi. Kini, aku kembali akrab dengan ayam-ayam di belakang rumah. Karena ada yang baru. Sama seperti Supinawati tapi, ia berbulu coklat. Di manapun kamu Supinawati, ada pengalaman yang sangat berarti ketika aku bersahabat dengan kamu. Betapa indahnya ketika aku bisa bersahabat dengan binatang.