Hari-hari selanjutnya, menjadi penantian buatku berharap untuk dapat bertemu kembali. Saat pagi beranjak sekolah, aku melihat-lihat di mana terakhir ia membelokan jalan. Melihat dari awal bertemu, ia memasuki gang sebelum gang yang menuju rumah Om Christ. Itu berarti, ia tinggal di blok B2, sedangkan aku di Blok B3. Sepertinya, belum dijodohkan untuk kembali bertemu dengannya. Hari-hari menanti, tak juga aku berhasil menemui.
Sampai suatu hari, aku kembali bertemu dengannya. Seingatku, kami sama-sama pulang sekolah. Kebetulan, dia masuk pagi.
Alhamdulilah... Penantianku untuk berkenalan dengannya tertunai sudah. Rupanya dia memang betul tinggal di blok B2 dan lebih mengejutkan ketika nomor rumahnya sama dengan rumah Om Christ. Itu berarti ia tepat tinggal di belakang rumah Om Christ, hanya ia berada di seberang jalan. Ah, sungguh tak menyangka. Akhirnya, aku punya teman juga. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 Mts, sedangkan dia kelas dua SMU. Tapi umur kita sama. Aku juga seharusnya duduk di bangku yang sama kelas 2 SMU. Tapi aku pernah menganggur dua tahun setelah lulus SD.
Semenjak mengenalinya, aku tak lagi merasa sendiri di kawasan perumahan itu. Sejak bekerja dan ikut dengan Om Christ, aku memang jarang memiliki teman selain teman-teman sekolah. Om Christ tinggal di perumahan yang masih baru dan masih jarang yang menempati perumahan tersebut.
Namanya Siti Mutmainah. Sesuai dengan namanya, ia lemah lembut, badannya lebih mungil dari aku, wajahnya bulat, bola matanya besar, putih kulitnya, ada sedikit lesung pipi dalam setiap senyumnya. Dan dia sangat pendiam. Berbeda dengan ku yang kadang cukup "ramai" dua perbedaan yang kontras. Membutuhkan waktu lama untuk menjadi dekat dengannya.
Pernah ketika suatu pagi kami melakukan
jogging aku menanyakan banyak hal tentangnya, sampai terucap tanya dariku, "Emang pernah disakiti sahabat yah?." Dia mengangguk, diam tanpa penjelasan. Sejak saat itu aku tak lagi menanyakan banyak hal tentangnya. Toh lama kelamaan keakraban terjalin dengan sendirinya. Tanpa ikrar kami telah menjadi sahabat.
Aku juga dikenalkan dengan sahabat kecilnya yang kebetulan tinggal di perumahan yang sama. Ia tinggal di Blok E agak jauh dari blok kami tinggal. Reynita namanya. Dia berwajah seperti gadis jawa, nampak lembut, tapi Reynita seorang yang menggambarkan ketegasan, juga sangat gemar dalam mempelajari agama. Sebetulnya, keduanya hampir sama. Mutmainah sendiri pernah tinggal di pondok Pesantren. Reynita, masih duduk di kelas 2 MAN 1 Serang, umur kita lagi-lagi sama. Dan latar belakang keluarga mereka,
notabene orang yang paham akan hal agama. Mengenali mereka, menjadi nilai tambah tersendiri untuk kehidupanku saat itu. Aku yang hanya seorang PRT dan alhamdulilah, atas rizki-Nya melalui om Christ sebagai perantara yang menyekolahkan aku.
Kami menjadi akrab bertiga.
Meskipun aku lebih akrab dengan Mutmainah karena jarak kedekatan rumah kami. Hingga setelah kelulusanku dari Mts, Om Christ menyarankan aku memasuki SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) Padahal aku memimpikan sekolah di MAN 2 Serang, yang ketika itu menjadi
role model di Kabupaten Serang. Untuk menjaga hatinya, mau tidak mau aku mendaftar juga di salah satu SMEA favorit di kota Serang. Alhamdulilah, aku tidak diterima. Maka menjadi kesempatan emas untuk aku mendaftar di MAN 2 Serang dan akhirnya aku diterima... alhamdulilah.
Setelah aku sekolah di Serang, kita jadi semakin akrab aku, Mutmainah dan Reynita. Meskipun tak satu sekolah, tapi kita satu arah. Mutmainah, di SMU 1 Kramatwatu Serang, Reynita MAN 1 Serang dan aku MAN 2 Serang, lebih jauh dari keduanya. Menjadi hal yang menyenangkan ketika terkadang kami pergi jalan-jalan bersama mengelilingi kota Serang ke Royal Ciceri dan banyak lagi. Juga menjadi hal yang mengasyikan saat kami juga bersama-sama menonton konser nasyid di GOR (Gelanggang Olah Raga) Serang, atau ketika menghadiri acara-acara tertentu di
Islamic Center Serang. Dan yang paling berkesan adalah tatkala kami bertiga bersama-sama menuju kota Bogor demi sebuah pengalaman mencari perguruan (dalam episode ini, harus tertawa, apa bersedih yah...?? :D).
Ah, Indahnya persahabatan. Allah telah banyak menolongku, dalam berbagai segi majikan yang baik, juga sahabat-sahabat yang baik.
Aku juga mengenali keluarga mereka. Sering berkunjung ke tempat mereka tidur di rumah mereka. Diam-diam, dalam persahabatan kami mungkin ada yang mereka tidak ketahui dariku. Ketika ke rumah Mutmainah, mengenali keluarga mereka, dan bercengkrama dengan keluarga mereka ketika pulang aku sering dihimpit kedukaan. Duka merindukan kehangatan keluarga sendiri dimana ada aku, ayah ibuku juga saudara-saudaraku.
Pernah sekali itu sehari setelah lebaran ketika aku pulang dari rumah Mutmainah, aku pulang dengan kesedihan yang dalam. Sepanjang jalan Pengoreng-Merak aku banyak menitikan air mata. Ah, terlalu cengeng aku tak menghiraukan teguran orang-orang "jahil" di dalam angkot. Bahkan ada yang mengusik "sepertinya, dia lagi sedih." aku tetap memandang, ke luar jendela angkot. Dengan Reynitapun, kadang aku memiliki perasaan yang sama.
Tak hanya itu aku juga kadang cukup cemburu kepada mereka. Sewaktu lebaran, ketika mereka menunjukkan baju-baju mereka, kadang aku dibuai sayu, ingin seperti mereka yang setiap kali lebaran hampir selalu membeli bahan baju, menjahitnya dan membeli juga kerudung dan lainnya.
Tak sampai di situ rasa cemburuku. Mutmainah, sering membeli dan bertukar hape, Reynita, mudah sekali dan sering membeli buku dalam jumlah yang banyak. Sedangkan aku, kadang harus lebih cermat mengatur gaji dari Om Christ untuk biaya sekolah, main dan lainnya. Aku sering tertatih dalam finansial ketika itu. bahkan, untuk uang ujianpun, aku harus meminjam pada Mutmainah setengahnya (aku lupa, dah lunas apa belum :D, tolong ingetin Sis). Tentunya, cemburu itu kusimpan rapat-rapat. Aku jarang menyuarakannya. Aku masih bisa tertawa dan tersenyum bersama mereka, itu juga kebahagiaan yang tak terkira.
Itu cerita beberapa tahun dulu. Kini kami jarang berkomunikasi. Maklum, mereka sudah dengan kesibukan keluarganya. Kadang, sering smsku tak berbalas. Kalau tidak menelpon, aku tidak akan mendapat khabar. Dan sekarang mereka telah mempunyai acount facebook memudahkan aku untuk berkomunikasi. Sesekali, aku dengan Mutmainah chating. Bercerita banyak hal tentang masa lalu, kini dan kemudian.
Ada yang membuatku terkejut, ketika beberapa waktu lalu chat dengan Mutmainah. Setelah dia membaca postingan,
"Bukan Kisah, Laila Majnun" dia memberikan komentar
"Eli sekarang pinter nulis."
"Ah, bukankah dulu, teh Mut lebih pinter?."
"Iya, itu dulu. Tapi sekarang gak pernah nulis lagi, jadinya tumpul. Aku iri sama Eli."
"Iri? untuk apa? mosok githu aja iri...???"
"Iri untuk kebaikan khan gak apa-apa Li..??"
Deg, aku cukup terkejut. Iri untuk kebaikan...??? Masya Allah.. betapa dhoifnya aku. Dulu, dulu sekali, aku juga sering iri kepadamu sobat, tapi, aku iri dalam bentuk materi. Innalillahi... Bukankah, iri dalam hal kebaikan itu diperbolehkan? yaitu kepada ahli ibadah, juga iri kepada orang kaya yang mendermakan hartanya di jalan Allah. Innalillahi, betapa iriku sangat tak berarti dulu.