Bandara Soekarno-Hatta, 6 Januari 2006
Matahari mulai menggeliat, sebelum jam 8 pagi aku sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta setelah melewati kesesakan kota Jakarta . Inilah untuk pertama kalinya aku menjejakan kaki di sana. Hiruk pikuk sekeliling menarik perhatianku untuk melihat lebih dekat keadaan bandara. Banyak sekali orang berlalu lalang. Pak Ulung hilir mudik ke sana kemari, dialah yang paling sibuk mengurus kelengkapan kepergianku. Aku sesekali disuruhnya duduk. Aku juga bertemu dengan rombongan para TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang hendak berangkat keluar negeri. Mereka datang berombongan tak seperti aku yang hanya seorang diri. Tidak lama setelah itu, pak Ulung datang menghampiri katanya, aku sudah boleh
chek in.
Aku terburu-buru mengikuti langkah kaki Pak Ulung. Aku diselubungi ketakutan. Ketakutan akan menaiki pesawat dan ketakutan akan segera sampai ke Malaysia. Inilah untuk pertama kalinya aku menaiki pesawat. Sebelum masuk ke ruang
chek-in, Pak Ulung mewanti-wanti kepadaku kalau pihak imigrsai menanyakan kemana arah tujuan negaraku, bilang saja hendak ke Malaysia. Dalam hati, "emang aku mau ke sana"
Selesai urusan
chek-in dan mengurus
viskal Pak Ulung mengantarku sampai ke bagian keberangkatan imigrasi. Sebelum memasuki ruang antrian, Pak Ulung menanyakan uang kepadaku.
"Kamu ada uang nggak?."
"Ada Pak." refleks, aku menjawab cepat. Dan segera mengeluarkan uang Rp. 20.000 yang ada di dalam tas. "Untuk apa Pak...?" Aku segera mengulurkan uang tersebut kepada Pak Ulung. Dan itu adalah uang satu-satunya yang aku punya.
"Ah, ini untuk kemudahan kamu." Pak Ulung menjawab sekilas saja dan langsung memasukannya ke dalam passportku. Sementara, di benakku berjuta tanya bergelayut. Dan, terjawablah soalan itu saat Pak Ulung mengulurkan passportku kepada pihak imigrasi.
"Mau kemana ni?." Tanya petugas kepada Pak Ulung
"Ke Malaysia pak." Pak Ulung menjawab
"Bener nih ke Malasysia?." Petugas kembali menanyakan. Aku melihat saja adegan drama dunia tanpa penulis skenario. Dan, ajaib sekali. Petugas tersebut memasukan uang Rp.20.000 tadi ke dalam saku bajunya. Aku diam saja dengan memasang muka sebodoh-bodohnya.
"Iya Pak, benar. Masak bohong." Pak Ulung mejawab seperti tidak yakin dan takut-takut. Sesekali matanya menekuri ubin, tidak memandang petugas tersebut.
Tanpa menunggu lama, akhirnya petugas selesai melihat dan mengesahkan segala dokumen perjalananku. Mengulurkan passport dan menyilakan aku melewati pintu antrian. Aku pamit kepada Pak Ulung, dengan sedikit nasihat Pak Ulung berpesan untuk aku berhati-hati. Aku mengangguk mengiyakan. Dan tak lupa, sebaris kalimat terimakasih aku lafadzkan. Akhirnya, aku berlalu mencari ruang tunggu menanti pesawatku yang akan membawa ke Malaysia.
Bandara Soekarno-Hatta, 22 November 2007
Jam satu siang, aku selamat mendarat di bandara tersebut. Inilah untuk kedua kalinya aku ke sana. Lagi-lagi, setiap kali menginjakan kaki di sana aku diliputi beribu ketakuan. Tapi aku berusaha serileks mungkin. Alhamdulilah, semuanya berjalan lancar. Aku berjalan dengan beberapa rekan yang sama-sama baru pulang dari Malaysia. Rupanya, pintu laluan tenaga kerja dipisahkan. Ketika itu, melewati terminal 3 (sekarang katanya diganti terminal 4) yang di sana tertulis besar-besar sebuah kalimat, "
Selamat Datang Pahlawan Devisa" Aku tersenyum miris membacanya.
Seorang lelaki berseragam hijau mendekatiku. Bertanya beberapa hal, aku menjawabnya sekilas-sekilas saja. Akhirnya, aku baru tahu bahwa tenaga kerja tidak boleh dijemput oleh pihak keluarganya. Sayangnya, kakaku sudah menunggu di luar sana. Petugas tadi memanggil rekannya dan kini ada lagi seorang lelaki yang bertanya-tanya lagi tentang kepulanganku dan menanyakan siapa yang menjemputku.
Aku kesal dengan keadaan saat itu. petugas yang tadi sudah pergi kini, digantikan oleh lelaki yang katanya bilang boleh membantuku keluar dari situ. Kebodohan bermula, rupanya aku sudah memasuki lingkaran para pungli dan kroninya. Dengan alasan ingin menyelamatkan konon mereka akan menolong aku. Aku menjawab ketus pada beberapa kalimatnya, "Mau menyelamatkan atau menghanyutkan mas?." Tanyaku mencibir. terlihat sekali kekesalan diwajah mereka. "Mbak ini cerewet amat sih? kita benar-benar mau menolong." Suara lelaki itu mulai meninggi.
Beberapa kali, aku menghubungi Kakaku dari wartel terdekat. Aku menanyakan berapa mereka meminta uang. Kakaku tak memberi tahu. Akhirnya, aku dibawa juga oleh orang tadi keluar menuju terminal 2. Sebelum beredar, seorang petugas berseragam biru menghadang dan lelaki tadi mengeluarkan dompetnya kemudian memberikan beberapa lembar uangnya kepada petugas tadi. Sepertinya, ini sudah lazim berlaku. terbukti, beberapa kali ada beberapa petugas yang ingin mencegatku tapi, dengan kode-kode tertentu lelaki tadi memberi arahan supaya aku dibiarkan saja berjalan.
Alhamdulilah, akhirnya aku bertemu juga dengan kakaku. Kemudian, kami dinaikan ke dalam mobil MPV. Masuk ke dalam mobil, kemudian berjalan. Sungguh tak disangka saat aku tahu rupanya mobil tadi hanya mengelilingi bandara saja. Kalau kami mau diantarkan ke tempat tujuan kami harus membayar lagi Rp.250.000. Aku bertanya kepada kakaku, sebanyak mana tadi ia memberikan uang kepada para pungli dan kroninya. Sungguh terkejut, sebesar Rp. 700.000 telah diberikan!!!, dan kini kalau aku hendak ke tujuan harus mengeluarkan lagi uang. Mau tak mau, aku harus tertawa dan bertepuk tangan. "Horeee... aku ditipu" Mendengar gelagatku, sopir tadi kelihatan marah sekali. Akhirnya, aku dan kakaku akur setuju memberikan Rp.250.000 menuju terminal Kalideres.
Bandara Sultan Syarif Kassim II Pekanbaru , 29 Desember 2009
Ini kali pertama, aku menginjakan kaki di tanah Sumatera. Setelah ke Bukittinggi, Padang dan kota terakhir adalah Pekanbaru. Aku kembali ke Malaysia dari pekanbaru. Sebelum pulang ke Indonesia, aku menuju Kedutaan Republik Indonesia untuk meminta surat cuti. Rupanya, aku tidak perlu membawanya. Kata petugas kedutaan aku sudah bebas
viskal jadi, kedutaan tidak usah memberikan surat cuti. Aku berkali-kali meyakinkan. Takutnya, setelah berada di Indonesia aku justeru menghadapi masalah. Petugas kedutaan mengiyakan. Akhirnya, aku pulang ke Indonesia hanya berbekal surat cuti dari majikanku.
Alhamdulilah, semuanya berjalan lancar. Ketika sampai di pintu pelepasan passport, petugas agak bertele-tele memberikan kelulusan kepada passportku.
"Mau ke mana nih?."
"Malaysia Pak." Aku mengulurkan passport
"Sendirian aja?."
"Iya Pak, sendirian."
"Kenapa sendirian?." Aku diam saja tak memberikan jawaban. "Mana surat cutinya?." Lagi-lagi, aku mengulurkan surat cutiku. "Mau ngasih berapa nih?." Tanyanya perlahan. mendengar kalimat itu, aku sungguh terkejut. Maksudnya apa nih...??? Aku tak langsung merespon pertanyaannya.
"Ini surat cuti palsu nih... bukan dari kedutaan."
"Palsu bagaimana Pak? Itu surat cuti dari majikanku. Kedutaan tidak lagi memberikan surat cuti karena saya sudah bebas
viskal." Aku mulai dirambati cemas dan emosi. Aku tak mempedulikan kata-katanya yang bertanya "Mau ngasih berapa?" Kali ini, aku harus mempertahankan haku tanpa harus mengeluarkan uang. Dalam hati, kalau petugas masih berkeras meminta uang, aku tak segan-segan mengambil fotonya. Kamera pocket sudah siap sedia ada di kantong rok sebelah kiri. Kali-kali aja, temen-temen blogger bertuah mau ada yang memasukannya ke surat kabar (hahaha.. jahat sekali aku yah..?? :D)
Petugas tadi masih lambat-lambat memeriksa dokumenku. Sepertinya ia menungguku memberikan beberapa yang dimintanya. Karena aku tak memberi respon akhirnya diberikannya juga passportku. Alhamdulilah, akhirnya aku masuk juga ke ruang tunggu.
Aku duduk di ruang tunggu, di sebelahku tak berapa jauh dari situ, seorang perempuan yang sama-sama hendak bekerja menegurku. "Kena berapa tadi Dik?"
"Maksudnya Bu?"
"Iya. Tadi pas mau masuk dimintai uang berapa?"
"Owh, enggak bu. Saya nggak ngasih uang. Emang sih tadi petugasnya minta, mau ngasih berapa tapi, saya nggak ngeladenin."
"Tadi saya dimintain juga. Anak saya ngasih Rp. 100.000. Gitu Dik, biasa kalau pulang dikiranya kita banyak uang. Sedikit-sedikit dimintain uang. Udahlah, ibu mah niatin sedekah aja."
"Betul bu, kalau mau dipikirkan nanti cuma sakit hati. Niatkan untuk sedekah, biar hati kita lebih lega."
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu penyumbang faktor devisa negara yang cukup besar. Tapi, sudah menjadi rahasia umum tentang segala pungli (pungutan liar) yang terjadi di bandara. Khususnya, Bandara terbesar Soekarno-Hatta di Jakarta. Banyak yang mengeluhkan tentang keberadaan terminal 3 (sekarang menjadi terminal 4) Kononya, tujuan pemisahan antara tenaga kerja dan penumpang umum lainnya adalah untuk lebih melindungi para TKI yang baru pulang. Tapi, pada kenyataannya tidak demikian justeru, di situ lebih memudahkan modus operandi menipu dengan lebih terorganisir kepada para TKI yang baru pulang lebih berleluasa.
Berita menggembirakan ketika membaca sebuah media bahwa pembubaran terminal 4 segera dilaksanakan. Uji coba dilakukan pada awal bulan Februari. Sayangnya, perlakuan itu hanya dikhususkan untuk dua negara saja. Yaitu TKI yang berasal dari Taiwan dan Hongkong. Menurut, Menakertrans Muhaimin Iskandar kedua TKI yang berasal dari dua negara tersebut lebih siap mandiri untuk pulang ke daerah asal mereka. Dan, untuk kedua negara asal TKI (Malaysia dan Timur Tengah) masih dalam pengawasan.
Meskipun ia menggembirakan untuk beberapa pihak ia tetaplah merugikan beberapa pihak lain. Terutamanya para TKI yang berasal dari negara Malaysia dan Timur Tengah Dengan alasan TKI yang berasal dari kedua negara tersebut belum mempunya kemandirian untuk pulang ke negara tersebut. Kalau pemerintah memandang demikian, seharusnya harus dicari pada akar permasalahan kelemahan para TKI yang berada di kedua negara tersebut. Apakah kelemahan berasal dari SDM nya (Sumber Daya Manusia) yang dikirimkan kepada negara berkenaan. Pemerintah seharusnya lebih mengoptimalkan kualitas para TKI sebelum dikirimkan ke negara berkenaan. Bukan hanya meminta atau menjalankan pungli di seluruh instansi.
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak merubah sendiri. Dan, kelemahan para TKI di Malaysia dan Timur tengah tidak akan berubah selagi sruktur dan peraturannya tidak diperbarui dan kualitas TKI sendiri tidak ditingkatkan. Adalah menjadi PR kepada pemerintah, PJTKI juga para agen penyalur tenaga kerja. Kembalikan dan berikanlah kemerdekaan kepada para TKI yang hendak pulang ke kampunya masing-masing. Jangan sampai, ketika sampai di negara sendiri ia justeru malah menjadi "Ladang" korupsi. Wallahu'alam.
Ditulis untuk mengikuti lomba,
anti korupsi BlogPost competition