Dua tahun lalu, ketika aku pulang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta ada terbersit kekecewaan. Kecewa pulang dengan menyandang status "pahlawan Devisa" yang seolah tiada maknanya. Kalimat itu, hanya terdengar indah tapi, tidak pada kenyataan penyambutannya. Sejak pulang itu juga, aku membuat sebuah tulisan dan puisi dengan judul, "Wajah Sebuah Negeri." Kini, dua tahun berlalu. Dan aku masih memiliki azam, selagi aku masih menyandang gelar tenaga kerja, aku tak akan lagi-lagi singgah di bandara Soekarno-Hatta. Dan, ketika beberapa waktu lalu aku pulang ke Indonesia tidak melalui Bandara Soekarno-Hatta, aku mengais-ngais tulisan dulu. Ingin meralatnya, ingin sekali mengubahnya. Sederhana saja, harapanku, melihat pelabuhan di Dumai terbersit kalimat baru. Sebuah harapan bahwa, yang aku lihat adalah bukan "Semurni-murni Wajah Negeri." Aku yakin, masih banyak kebaikan yang tersebar.
Sabtu, 19 Desember. Aku memulai perjalanan itu. Tentunya, kali ini lain dari biasanya Aku kembali ke tanah Indonesia tapi, tidak untuk ke kampung halaman. Tujuanku kali ini, ke tanah Sumatra. Pukul 7 lebih, aku dan Etek Yurti diantarkan oleh Ibu menuju pelabuhan Port Klang. Hari cerah ketika masih pagi. Sayangnya, belum satu jam duduk disitu, hujan sudah mengguyur pelabuhan dengan lebatnya. Ada riak kecemasan di wajah Ibu. Melihat begitu banyak barang yang kami bawa dan, mengkhawatirkan siapa yang akan membawanya sampai ke dek kapal. Jarak dari imigrasi ke kapal cukup jauh.
Setelah lepas semua urusan di Imigrasi Malaysia, akhirnya, kami beratur menuju kapal fery. Hujan yang mengguyur, tak juga reda saat dinanti. Akhirnya, aku dan Etek Yurti membeli sebuah jaket plastik murahan. Untuk sekedar melindungi badan dari kebasahan. Sedang empat tas besar, kita mengupah orang untuk membayarnya. Ajaib sekali ku rasa, aku kira hanya dengan mengupah orang tersebut saja membayarnya. Rupanya, meletakan barang di dikapal fery itu harus bayar per tas. Aku tidak mempermasalahkan toh, aku jadi diringankan dengan tidak membawa apa-apa kedalam badan kapal fery.
Sampai di dalam kapal, rupanya ada seorang bapak-bapak tua yang kelihatannya marah sekali tentang peraturan tersebut. Mengumpat segala macam, tak rela kalau setiap tas yang diletakan ditempat barang harus dibayar. Tak sekali dua kali lelaki tua itu berhujah panjang lebar. Akhirnya, Indonesia jugalah yang tersebut, negara gak jelas, penuh tetek bengek yang tidak jelas juga. Aku menggerutu sendiri pikirku, "kalau enggak mau bayar, yah sudah. Tidak usah cerewet." Tapi, diam-diam Etek Yurti mengamini perkataan lelaki tua itu. Menyudahi kekusutan, aku diam saja tak menambahkan.
Kapal beranjak dari pelabuhan sekitar pukul 10 waktu Malaysia. perjalanan untuk sampai ke Dumai lebih kurang 4jam. Meskipun hujan lebat, Alhamdulilah ombak tak begitu besar. Hanya sesekali ketika berada di laut lepas, ombak besar begitu terasa. Untuk menghindari mabuk laut, aku melenakan mata dalam lelap. Hasilnya, Alhamdulilah tidak mengalami mabuk laut.
Akhirnya, perjalan itu sampai juga. Kapal merapat di pelabuhan Dumai... Hampir tak bercaya, kalau aku sudah berada di tanah Indonesia. Etek Yurti buru-buru maju kedepan, menghalangku untuk mengambil barang, ujarnya, aku tidak mengetahui bahasa mereka. Setelah aku perhatikan, ada betulnya juga. Sepertinya, mereka berucap dalam bahasa minag tapi, yang aku betul-betul tak tahu maknanya. Dan, disini juga tergambar wajah lain. Wajah tentang sebuah kebiasaan, kebiasaan tentang mengambil uang orang tanpa batasan yang cenderung kepada penganiayaan materi. Ah, etntahlah, atau aku menyebutnya bibit-bibit korupsi dari tukang kuli, sampai orang berdasi.
Rupanya, kebiasaan mengambil hak orang itu sudah menjadi lumrah. Aku kembali mengingat-ingat peristiwa dua tahun dahulu saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Kronologisnya, di pelabuhan Dumai, setiap barang yang turun dari kapal dan hendak di bawa melalui pintu imigrasi itu harus bayar. Tak tanggung-tanggung, kepada setiap penumpang tentunya. Etek Yurti bertekak lidah, berkeras tidak mau memberi uang sebesar Rp.30.000 untuk memudahkan keluar dari pelabuhan menuju imigrasi. Aku ingat, ada uang Rp 80.000 dalam dompet. Akhirnya, aku keluarkan juga uang Rp 30.000. AKu hulur kepada lelaki yang sedikit buncit perutnya.
Rupanya, Etek Yurti menghubungi kenalannya. Seorang security pelabuhan dan, tak berapa lama security itu datang. Ajaib, mereka senyap sesaat. Tanpa banyak komentar, langsung membawa barang tersebut menuju lintasan imigrasi. Tapi, aku masih terkedu melihat adegan terakhir seorang lelaki setengah baya di belakang aku. Lelaki setengah baya itu, membawa barang begitu banyak dan lelaki berperut buncit tersebut tetap memaksa untuk membayar Rp.100.000 sampai melewati pintu imigrasi.
Sungguh aku melihat wajah lelaki setengah baya itu begitu tertekan. Suaranya tak lagi lunak bahkan, cenderung marah-marah. Lelaki setengah baya tetap bersikeras, kalu sudah tak memiliki uang lagi. Ada sedikit keusilan aku untuk mengambil gambar adegan tersebut tapi, aku mengurungkan niat gila itu. Takutnya, malah kena bogem.
Karena security itu sudah datang, Alhamdulilah,semua urusan menjadi lancar. Meskipun kelihatannya nepotisme sekali. Bagaimana tidak, tanpa beratur di pintu imigrasi, passport aku dan Etek Yurti di bawa langsung ke meja imigrasi untuk mendapatkan stempel. Enggak pakai lama, tanpa beratur... Aku jadi berfikir, betapa menyenangkannya kalau hidup seperti itu. meskipun pada kenyataannya Etek Yurti menggunakan "orang dalam" untuk menyelesaikan urusan tersebut.
To be continue pada "Sebuah Dialog Perjalanan...."