Catatan Anazkia

Karena hanya tulisan yang bisa saya tinggalkan

  • beranda
  • Kisah
    • Serial
    • Cerpen
    • Celoteh
    • Reportase
    • Perjalanan
      • Gaya Travel
      • Trip Gratisan
      • Piknik Buku
  • Pojok Anaz
  • Murai
  • Sosok
  • komunitas
    • Volunteer
    • KBO
    • Semestarian
    • Blogger Hibah Buku
Dua tahun lalu, ketika aku pulang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta ada terbersit kekecewaan. Kecewa pulang dengan menyandang status "pahlawan Devisa" yang seolah tiada maknanya. Kalimat itu, hanya terdengar indah tapi, tidak pada kenyataan penyambutannya. Sejak pulang itu juga, aku membuat sebuah tulisan dan puisi dengan judul, "Wajah Sebuah Negeri." Kini, dua tahun berlalu. Dan aku masih memiliki azam, selagi aku masih menyandang gelar tenaga kerja, aku tak akan lagi-lagi singgah di bandara Soekarno-Hatta. Dan, ketika beberapa waktu lalu aku pulang ke Indonesia tidak melalui Bandara Soekarno-Hatta, aku mengais-ngais tulisan dulu. Ingin meralatnya, ingin sekali mengubahnya. Sederhana saja, harapanku, melihat pelabuhan di Dumai terbersit kalimat baru. Sebuah harapan bahwa, yang aku lihat adalah bukan "Semurni-murni Wajah Negeri." Aku yakin, masih banyak kebaikan yang tersebar.
Sabtu, 19 Desember. Aku memulai perjalanan itu. Tentunya, kali ini lain dari biasanya Aku kembali ke tanah Indonesia tapi, tidak untuk ke kampung halaman. Tujuanku kali ini, ke tanah Sumatra. Pukul 7 lebih, aku dan Etek Yurti diantarkan oleh Ibu menuju pelabuhan Port Klang. Hari cerah ketika masih pagi. Sayangnya, belum satu jam duduk disitu, hujan sudah mengguyur pelabuhan dengan lebatnya. Ada riak kecemasan di wajah Ibu. Melihat begitu banyak barang yang kami bawa dan, mengkhawatirkan siapa yang akan membawanya sampai ke dek kapal. Jarak dari imigrasi ke kapal cukup jauh. Setelah lepas semua urusan di Imigrasi Malaysia, akhirnya, kami beratur menuju kapal fery. Hujan yang mengguyur, tak juga reda saat dinanti. Akhirnya, aku dan Etek Yurti membeli sebuah jaket plastik murahan. Untuk sekedar melindungi badan dari kebasahan. Sedang empat tas besar, kita mengupah orang untuk membayarnya. Ajaib sekali ku rasa, aku kira hanya dengan mengupah orang tersebut saja membayarnya. Rupanya, meletakan barang di dikapal fery itu harus bayar per tas. Aku tidak mempermasalahkan toh, aku jadi diringankan dengan tidak membawa apa-apa kedalam badan kapal fery. Sampai di dalam kapal, rupanya ada seorang bapak-bapak tua yang kelihatannya marah sekali tentang peraturan tersebut. Mengumpat segala macam, tak rela kalau setiap tas yang diletakan ditempat barang harus dibayar. Tak sekali dua kali lelaki tua itu berhujah panjang lebar. Akhirnya, Indonesia jugalah yang tersebut, negara gak jelas, penuh tetek bengek yang tidak jelas juga. Aku menggerutu sendiri pikirku, "kalau enggak mau bayar, yah sudah. Tidak usah cerewet." Tapi, diam-diam Etek Yurti mengamini perkataan lelaki tua itu. Menyudahi kekusutan, aku diam saja tak menambahkan. Kapal beranjak dari pelabuhan sekitar pukul 10 waktu Malaysia. perjalanan untuk sampai ke Dumai lebih kurang 4jam. Meskipun hujan lebat, Alhamdulilah ombak tak begitu besar. Hanya sesekali ketika berada di laut lepas, ombak besar begitu terasa. Untuk menghindari mabuk laut, aku melenakan mata dalam lelap. Hasilnya, Alhamdulilah tidak mengalami mabuk laut. Akhirnya, perjalan itu sampai juga. Kapal merapat di pelabuhan Dumai... Hampir tak bercaya, kalau aku sudah berada di tanah Indonesia. Etek Yurti buru-buru maju kedepan, menghalangku untuk mengambil barang, ujarnya, aku tidak mengetahui bahasa mereka. Setelah aku perhatikan, ada betulnya juga. Sepertinya, mereka berucap dalam bahasa minag tapi, yang aku betul-betul tak tahu maknanya. Dan, disini juga tergambar wajah lain. Wajah tentang sebuah kebiasaan, kebiasaan tentang mengambil uang orang tanpa batasan yang cenderung kepada penganiayaan materi. Ah, etntahlah, atau aku menyebutnya bibit-bibit korupsi dari tukang kuli, sampai orang berdasi. Rupanya, kebiasaan mengambil hak orang itu sudah menjadi lumrah. Aku kembali mengingat-ingat peristiwa dua tahun dahulu saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Kronologisnya, di pelabuhan Dumai, setiap barang yang turun dari kapal dan hendak di bawa melalui pintu imigrasi itu harus bayar. Tak tanggung-tanggung, kepada setiap penumpang tentunya. Etek Yurti bertekak lidah, berkeras tidak mau memberi uang sebesar Rp.30.000 untuk memudahkan keluar dari pelabuhan menuju imigrasi. Aku ingat, ada uang Rp 80.000 dalam dompet. Akhirnya, aku keluarkan juga uang Rp 30.000. AKu hulur kepada lelaki yang sedikit buncit perutnya. Rupanya, Etek Yurti menghubungi kenalannya. Seorang security pelabuhan dan, tak berapa lama security itu datang. Ajaib, mereka senyap sesaat. Tanpa banyak komentar, langsung membawa barang tersebut menuju lintasan imigrasi. Tapi, aku masih terkedu melihat adegan terakhir seorang lelaki setengah baya di belakang aku. Lelaki setengah baya itu, membawa barang begitu banyak dan lelaki berperut buncit tersebut tetap memaksa untuk membayar Rp.100.000 sampai melewati pintu imigrasi. Sungguh aku melihat wajah lelaki setengah baya itu begitu tertekan. Suaranya tak lagi lunak bahkan, cenderung marah-marah. Lelaki setengah baya tetap bersikeras, kalu sudah tak memiliki uang lagi. Ada sedikit keusilan aku untuk mengambil gambar adegan tersebut tapi, aku mengurungkan niat gila itu. Takutnya, malah kena bogem. Karena security itu sudah datang, Alhamdulilah,semua urusan menjadi lancar. Meskipun kelihatannya nepotisme sekali. Bagaimana tidak, tanpa beratur di pintu imigrasi, passport aku dan Etek Yurti di bawa langsung ke meja imigrasi untuk mendapatkan stempel. Enggak pakai lama, tanpa beratur... Aku jadi berfikir, betapa menyenangkannya kalau hidup seperti itu. meskipun pada kenyataannya Etek Yurti menggunakan "orang dalam" untuk menyelesaikan urusan tersebut. To be continue pada "Sebuah Dialog Perjalanan...."
Tidak terasa, sudah memasuki posting yang ke 300. Fiuh... sangat jauh dari target. Padahal, aku ngeblog sudah lama sekali. Bahkan, cukup lama. Dua tahun. Yah, dua tahun aku memiliki blog ini. Kelihatan banget kalau aku jarang nulis. Semoga setelah posting yang ke 300 ini aku tambah rajin nulis. Dan, aku tak lupa selalu berterimakasih kepada yang tekah menghadiahkan blog ini. Seru yah, kalau dikasih hadiah tapi, sebuah blog. Diblog, kita bisa bebas berekspresi, mengungkapkan segala unek-unek. Meskipun, harus berhati-hati juga ketika menulis. Gak mau banget khan, kalau gara-gara ngeblog masuk penjara..??? (naudzubilah deh..)
Aku mengurutkan sebuah keinginan dinomor pertama pada sebuah diari. Pun pada harapan-harapan tertentu, aku menulisnya di daftar paling atas. Keinginan akan sebuah mimpi, mimpi pergi ketanah suci. Muharram tahun lalu, dengan percaya dirinya aku menuliskan kalau awal muharram ini, aku ke tanah suci, menunaikan umrah. Tapi, sayang sekali, keinginan itu belum terlaksana. Awalnya, memang ada rencana, bulan desember ini, pergi kesana. Bersama keluarga majikanku tentunya. Tapi, sayang sekali selain sibuk setelah hajatan, visa pun susah didapatkan. Mungkin, belum rizki aku kesana. Semoga, masih ada jalan lain aku menuju rumah-Nya. Dan, didiari lamaku, juga tersimpan keinginan-keinginan untuk mengunjungi beberapa kota di Indonesia. ketika menuliskannya, aku tak pernah terpikir, betul-betul kelak akan kesana. Saat itu, punya uang pun tidak. Hanya keberanian menulis saja didiari tersebut. Aku tidak peduli, mau pergi atau enggak. Dan, beberapa waktu lalu, ibu mengizinkan aku untuk peri berlibur. Berlibur ke ranah minang... Subhanallah, Alhamdulilah... Sungguh tak menyangka. Ketika SMU dulu, aku sangat menyukai pelajaran Antropologi karena, banyak mempelajai suku-suku daerah tertentu. Dan aku, sangat tertarik dengan beberapa suku di Indonesia (bukan berarti pilih kasih) termasuk yang aku sukai adalah suku Minangkabau. Enggak nyangka banget, kalau aku hendak menginjakan kaki kesana. Pokoknya, seneng deh... Meskipun malam ini, ko rasanya nervous juga yah mo jalan jauh...??? Tadinya, aku hendak berangkat hari kamis lalu. Tapi, kebetulan Etek Yurti sakit. Jadi, keberangkatannya diundur. Pagi esok, Insya Allah baru berangkat. Mohon doanya yah sahabat semua.. :) Dan, paling menyenangkan, ketika aku pergi ke Bukittinggi menaiki ferry dari pelabuhan Port Klang. Dari situ, Insya Allah kita (aku dan Etek Yurti) akan menuju Dumai kemudian, langsung ke Bukittinggi. Sepertinya, perjalanan yang sangat panjang. Awalnya, aku meminta ke Ibu, kalau balik ke Malaysia, menaiki ferry saja. Tapi, ibu bersikeras tidak mengizinkan. Pulang ke Malaysia aku sendiri jadi, mending naik pesawat, kata ibu. Aku akur dengan keputusan Ibu :). Maka berlayarlah esok, aku menuju tanah Sumatra. Semoga tak ada aral melintang... Sebelumnya, aku mempunyai keinginan untuk sekalian pulang ke Jawa. Tapi, karena waktunya sangat mepet dan jauh sekali akhirnya aku mengurungkan niat ke pulau jawa. Mungkin agak nekat, saat aku mengutarakan niatku estafet dari daerah, ke daerah. Bermula di Dumai, kemudian Pekanbaru, Bukittinggi, Padang, Palembang dan menyebrang ke Selat sunda. Melihat ibu keberatan dan setelah telphone Mamaku juga keberatan akhirnya, aku mengurungkan niat tersebut. Dan, kepergian kali ini, hanya akan sampai ke Bukittinggi, Padang dan pekanbaru. Dan ke Palembang, untuk bertemu mbak Elly, aku masih ragu untuk mengambil keputusan. Sepertinya, waktunya mepet banget. Ngomong-ngomong, ngapain si Naz kamu kesana? Ibu majikanku asli orang minang. dan masih banyak sanak saudaranya disana. Ada juga yang bolak-balik ke Malaysia. jadi, kali ini aku akan mengikuti sodara majikanku. Transport, Insya Allah semua ibu yang tanggung. kecuali, untuk beli tetek bengek yang tidak perlu :). Dan, aku juga mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya, kepada dua orang yang telah sudi menawarkan membelikan tiket aku ke pulau jawa juga, dari pulau jawa ke Sumatra. Maaf, terpaksa sekali aku menolak. Tepatnya bukan menolak tapi, melihat situasi yang tidak memungkinkan. Waktu yang tak banyak juga, aku yang tak memiliki KTP. (kalau pake passport, dibandara Soekarno-Hatta males ah, soale masih identitas TKW, cukup memiriskan) Bismillahirrohmanirrohim.... Sekalian majang award, biar gak basi saat kembali ke Malaysia..
Ini semua award dari Yunna, banyak banget yah...??? makasih yah Yun...
Ini award dari mbak Elly :)
Makasih untuk award-awardnya. Sepertinya, aku gak pernah bagiin award yah...??? bingung. kalau hendak membagikan award. Untuk, Achen, Ranggagooblog, mas Ivan , nuansa pena, Eldo Beva dan mbak Lidya. Juga, untuk sahabat2 baru semua, yang berkunjung ke blognya aku. Makasih yah... maaf lum berkunjung balik :)
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram* itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS, At-Taubah:36)
Membuka-buka diari lama. Melihat, segala coretan pada setahun yang telah terlewatkan. Ada kemirisan, miris pada catatan yang telah aku tulis. Betapa mudahnya menulis di selembar kertas tapi, betapa sulitnya mengamalkannya. Banyak sekali catatan-catatan tersebut yang tak tertunai. Merenung, batapa selama setahun ini kelalaian demi kelalaian mudah sekali dilakukan. Sedang kebaikan, jauh sekali dari ditunaikan. Innalillah... Menjadi kebiasaan, ketika awal muharram menulis segala impian dan harapan. Mimpi pada yang belum menjadi bukti juga, harapan untuk kebaikan. Waktu bergulir begitu cepat, usia pun terus merambat, menuju ketua dan kelak, akan meninggalkan dunia. Betapa sedikitnya, amal yang kupunya. Juga bekal yang aku ada. Seperti biasanya, awal tahun baru menjadi harapan dan keinginan baru. berharap dan ingin lebih baik lagi. Masih banyak sisa-sisa tulisan yang tak tertunai, semoga tahun ini aku kembali mampu untuk menebusnya. Menebus untuk menunaikan meski itu bukan hal mudah. Tahun ini, aku tak mau lagi menulis banyak-banyak lagi. Aku takut. Takut pada ingkar janji sendiri. Menulis, kemudian pergi tanpa pernah mengoreksi. Innalillahi... Dan inilah, barisan kata, dari tulisan yang aku copy paste dari sebuah group di blog. Sebuah doa, awal tahun. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَآنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ أَللّهُمَّ أَنْتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الْأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَاءِهِ وَجُنُوْدِهِ وَالْعَوْنِ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَالْإِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ اِلَيْكَ زُلْفًى يَاذَ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَآنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ آمِيْن
Artinya: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya. Ya Allah Engkaulah Yang Abadi, Dahulu, lagi Awal. Dan hanya kepada anugerah-Mu yang Agung dan Kedermawanan-Mu tempat bergantung. Dan ini tahun baru benar-benar telah datang. Kami memohon kepada-Mu perlindungan dalam tahun ini dari (godaan) setan, kekasih-kekasihnya dan bala tentaranya. Dan kami memohon pertolongan untuk mengalahkan hawa nafsu amarah yang mengajak pada kejahatan,agar kami sibuk melakukan amal yang dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu wahai Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW,beserta para keluarganya dan sahabatnya. Amin... Dibaca, setelah bakda mahgrib Selamat tahun baru Islam kepada sahabat bloger semua. Semoga, ini menjadi langkah awal untuk semakin baik lagi. Insya Allah... *(Zulkaedah, zulhijjah, muharram dan Rejab)
Nama blognya RanggaGoblog tapi, aku tidak mau memanggil nama terakhirnya. Aku juga tidak tahu, mengapa ia menggunakan nama tersebut? Kenapa yah tiba-tiba membahas dia? sederhana aja, aku cukup terusik dengan komennya. terusik bertanya sendiri, kenapa yah dia nanyain soal itu lagi...???

Tentang pekerjaanku, rasanya berkali-kali aku sudah posting dan bercerita. Tiada yang ditutup-tutupi. Jadi, sepertinya Rangga tidak perlu lagi bertanya seperti ini, "Mbak maaf kalau saya lancang bertanya... emang mbak bener jadi pembantu di malaysia...??? maaf ya mbak maaf sekali lagi." Jawabannya, "Iya" Ngga. Tidak masalah dan tiada yang dipermasalahkan. Tidak usah meminta maaf. Asalkan, tidak menyuruh mbak bersumpah membawa nama Allah. Sepertinya, enggak penting banget :) Jujur, dulu sekali aku malu dengan statusku, dengan pekerjaanku. Tapi, pengalaman banyak mengajariku. Apapun asalnya dan apapun ceritanya, aku adalah aku. Yang tak akan berubah status dan asal usulku. Aku harus menghargai profesiku sendiri. Kalau bukan aku, siapa lagi? Toh, aku semenjak kecil dibiasakan dengan pekerjaan itu.

Aku berterimakasih dengan profesi ini. Karena profesi inilah, aku mampu mengenyam bangku sekolah meskipun tak menikmati bangku kuliah. Sudah seperempat abad lebih, aku berjalan disusuran dunia tanpa batas. Meskipun langkahku terbatas tapi, tidak menjadikan aku membatasi diri untuk membuka hal yang belum aku pelajari. Siapapun aku kini, tentunya ada siapa dibelakangku. Buatku, bekerja di mana itu tidak begitu penting tapi, bekerja dengan siapa itu lebih penting.

Pengalaman yang sangat berharga, ketika aku bekerja dengan seorang majikan selama hampir 5 tahun. Di sana aku di sekolahkan. Saat itu, usiaku remaja lagi. Tapi garis kesusahan hidup menuntunku pada sebuah pengajaran. Sebuah pengajaran kehidupan yang tak kudapat di bangku manapun pendidikan. kecuali, kudapat di bangku kehidupan. Juga beberapa orang yang menginspirasiku. Kalau dari jejak langkah PRT sendiri, aku dulu sangat terkagum-kagum dengan para buruh migrant di Hongkong. Mungkin sama seperti Rangga, aku tidak percaya, bahwa mereka para PRT bisa sehebat itu. Berawal dari sebuah majalah remaja islami, aku mengenali sosok perempuan berwajah tegas. Mbak Susan namanya. ketika itu, ia adalah ketua FLP pertama Hongkong. Bekerja pada majikan yang baik dan bisa mengakses teknologi internet, dari rumah majikannya. Bebas. Dan alhamdulilah, kini aku mendapatkan fasilitas itu. Subhanallah... sungguh kuasa Allah. Ini aja kali yah postingannya dan jawaban untuk Rangga :)

quinie said... hm... dikau ke rumah anak majikan atau ke labirin? hihihi... kok ketemunya itu2 ajah? xixixi. Itu komennya mpok Ratu. Yups, kalau aku pikir-pikir, emang seperti labirin. Jalan kesana kesini, ketemunya rumah yang itu-itu juga. Sampai penat menggelayut, sehingga semangat pun surut. Ada sedikit takut, maklum mungkin masih mending tersesat disebuah terminal. Karena, disana banyak kendaraan dan kita bisa saja sewaktu-waktu mencari jalan pulang. Nah, ini di perumahan, yang tergolong elite. Maklumlah, rumah kerajaan alias rumah pegawai negeri kalau di Indonesia
Banyak mobil berlalu lalang tapi, tidak mungkin khan aku tiba-tiba menyetopnya? Hanya ada beberapa orang-orang yang kelihatannya tukang sapu, para pengambil sampah juga pemotong rumput. Awalnya, aku sudah menanyakan kepada mereka dan petunjukpun telah kudapat. Sekali lagi, karena aku salah menulis alamat aku memang seperti memasuki labirin. Masuk gang yang sama dan keluar gang yang sama pula. Dan ujung-ujungnya, ketemu orang-orang yang itu juga. Sepertinya, mereka simpati terhadapku. Dan, berusaha mencarikan alamat tersebut. Dan meneliti betul-betul alamat yang aku tulis. Ada seorang lelaki yang berkepala botak, mengendarai sepeda motor bersama seorang rakannya. Melihat gaya bicaranya, sepertinya dia bukan lelaki melayu. Entah keturunan India atau mana. Awalnya, aku agak enggan, melihat tampangnya dan gaya bicaranya yang keras. Rakan yang duduk disampingnya, aku kira seorang perempuan, karena seluruh mukanya ditutup. Aku hanya bisa melihat matanya. Badannya kecil saja. Tapi, lagi-lagi, orang tersebut betul-betul mengikuti aku. Dan memastikan alamat yang aku cari. Di jalan berikutnya, lelaki tersebut meminta nomor hape yang akan aku tuju. Dan dia, bebicara dengan anak menantu majikanku. Dari hasil pembicaraan, terbukti nyata, bahwa jelas-jelas aku salah menuliskan alamatnya. Tanpa diminta, bapak berkepala botak tersebut mencari alamat tersebut. Dan Alhamdulilah, langsung ketemu. Subhanallah... betapa melelahkan. Teringat aku beberapa kali memasuki jalan yang sama dan keluar jalan yang sama. Panas terik yang terasa, membuat tenggorokanku kering. Tiada warung terdekat di perumahan itu. Sungguh pertolongan Allah itu dekat sekali. Teringat beberapa tahun dulu, ketika aku tersesat di kota Semarang. Ketika disebuah pinggir jalan, aku bertanya kepada beberapa orang, termasuk seorang sopir anguktan kota. Dengan ringan mulut, pak sopir memberi arah dan menyetop mobil yang harus kunaiki. Juga, memberi tahu berapa ongkos yang harus kubayar. Tak segan pula, Pak sopir mengeluarkan uang dari kantong bajunya. Aku menolaknya dengan halus karena, kebetulan aku juga masih memiliki ongkos. Subhanallah... Ah, berburuk sangka, memang tiada baiknya. tapi, bukan berarti, kita gak harus waspada khan...??? Wallahu'alam
Pernah tersesat di jalan...??? Kalau aku, kayaknya sering banget tuh. Di Serang, yang notabene masih wilayah aku tinggal, aku pernah tersesat. Pernah juga, tersesat di Pemalang, nyasar sampai ke Petarukan. Yang paling jauh, mungkin ketika ke Semarang, aku pernah tersesat juga. Maklumlah, pergi ke kota itu, bermodalkan nekat. Tapi, alhamdulilah, Allah masih melindungiku. Dan sampai tujuan, dengan selamat. Yang paling jauh...??? Yah tersesat ketika jalan di Malaysia. Maklumlah, negara orang, banyak tidak tahu seluk beluk arah jalan. Tak terhitung, entah berapa kali aku tersesat ketika mencari alamat.

Dan kemarin, mungkin ketersesatan, yang tak aku harapkan. Bermula, ketika pagi hari, sekitar jam sepuluh. Aku pergi menuju KBRI untuk memohon surat cuti, di Kuala Lumpur. Awalnya, Ibu mau mengantarku tapi, aku menolak. Alasannya, karena, aku hendak menuju Bank dulu. Maka, pergilah aku menaiki taksi ke UIAM (Universitas Antar Bangsa Malaysia). Di pintu gerbang utama, petugas memeriksa setiap mobil yang masuk, termasuk taksi yang aku naiki. Dan memintaku, menunjukan ID pelajar UAIM. Sopir taksi membuka cermin jendela, dan aku berkata, hendak singgah ke Bank sebentar saja. Alhamdulilah, dibiarkannya taksi berlalu. Masuk saja ke Bank, sudah cukup banyak antrian.

Pelajar UIAM dari berbagai bangsa, kalau melihat dari kulit dan parasnya sudah duduk rapi di kursi tunggu. Aku duduk di kursi paling depan. Menunggu giliran, aku meraih novel "Negeri 5 Menara nya, A Fuadi. Jarak seorang disebelahku , nampak seorang pelajar Indonesia yang sedang berbincang dengan temannya. Lamat-lamat aku mendengar, kalau buku tabungannya hilang. Semoga sekarang sudah ketemu. Tak begitu lama, giliranku tiba. Dan, tak sampai lima menit, transaksi selesai. Aku buru-buru keluar dari Bank, segera menunggu bis dan menuju Kedutaan Indonesia. Di depan bulatan UIAM, sebuah bis, nampak melintas. Cepat-cepat aku mengejarnya. Dan tanpa melihat arah tujuan bis, aku segera menaikinya. Di dalam bis, baru aku ngeh, kalu bis yang ku naiki bukan menuju terminal Putra. Tapi, aku diam saja. Dalm hati berujar, "Nanti, dimana tempat yang aku kenal, aku akan berhenti". Rupanya, bis menuju lebuh raya Ampang, yang aku sendiri tidak tahu dimana.

Memasuki kota, aku selalu melirik nama dan jalan di papan penunjuk jalan. Sepertinya, semakin jauh saja aku pergi. Tak ayal, ketika bis sampai di perbatasan Chowkit, dan ada tulisan Jalan Tun Razak ke arah kiri, aku turun di halte terdekat. Dari situ, menyebrang jalan dan mencari taksi. Aku sama sekali tak mengenali tempat tersebut. Alhamdulilah, taksi mudah didapat. Tapi, sepertinya, Kedutaan Indonesia jauh dari situ. Tak sampai dua puluh menit, taksi sampai di jalan Tun Razak, Kedutaan Besar Republik Indonesia. Di sebelah kiri jalan, taksi berderet-deret menunggu penumpang. Dulu, salah seorang rakan ekspatriat pernah bercerita. Kalau Kedutaan Indonesia begitu semrawutnya.

Orang-orang Indonesia yang hendak mengurus passport dan administrasi lainnya, berjubelan di tepi jalan-jalan raya. Seperti terminal Kampung Rambutan, ujar rakan eskpatriat tersebut. Sampai suatu ketika, Dewan Bandaraya Kuala Lumpur membuat teguran. Dan, sejak saat itu, saat Pak Presiden berkunjung beberapa tahun lalu maka dirubahlah sistem di KBRI. Kini tak lagi semrwaut seperti dulu, tiada lagi antrian panjang di tepi jalan raya. Dan semua urusan, dibuat didalam bangunan KBRI. Masuk saja ke bangunan utama sebelah kanan, aku dihadapkan dengan antrian yang cukup panjang.

Kalau duluar saja sudah bertumpuk, didalam, mungkin sudah tak muat lagi orang. Aku mengeluh panjang, membatin akan lama menunggu antrian. Aku langsung menuju meja pengambilan formulir. Bertanya kepada petugas, bagaiman caranya kalau hendak mengambil surat cuti. Petugas meminta passportku dan meneliti satu-satu. Katanya, pihak KBRI tak lagi memberika surat cuti untuk pembantu rumah tangga. Hanya, majikan saja yang diwajibkan membuat surat cuti. Kemudian, petugas menambahkan, karena passportku dibuat di KBRI, maka tak lagi membutuhkan surat cuti kedutaan. Dan, secara langsung, aku sudah bebas fiskal. Aku meyakinkan jawabannya kepada petugas.

Dan petugas tersebut mengangguk pasti. (kalau di imigrasi harus bayar fiskal lagi, pingsan deh aku. sekarang khan dua koma lima juta. Gubrak.. aku bakalan nangis..) Selesai dari KBRI, aku kembali mencari taksi. Menuju stasiun Ampang Park. Sampai di Ampang Park, aku mencari telphone umum. Merogoh kantong tas, mencari sisa-sisa koin yang aku minta ke Ibu sebelum pergi. Sampai saat ini, aku belum lagi membeli hape. Agak susah memang, bepergian tanpa hape.

Aku menelpon ke rumah anak majikanku, meminta alamat rumah. Yang mengangkat pembantunya, dan aku minta nomor hape menantu majikanku. Cepat-cepat aku mencatat. Yakin semua dah beres aku langsung menuju kasir membeli tiket kereta api, berhenti di Kuala Lumpur Center. Dari situ, aku berganti menaiki ERL menuju Putrajaya. Sampai di stasiun, aku langsung menuju pemberhentian taksi. Dan langsung menuju alamat anak majikanku. Bukan mudah, ketika harus mencari alamat di Putrajaya. Karena supir taksi sudah kelihatan merungut maka, aku putuskan untuk berhenti saja. Dan mencari alamatnya sendiri. Sopir takis ragu tapi, aku meyakinkan kalau aku tahu.

Dari sinilah, ketersesatan bermula. Sungguh melelakhkan, ketika harus mencari rumah, yang sama bentuknya. Meskipun ada alamatnya, ia berkelok-kelok. Tak berurut, atau entah aku yang tak mengurutkan. Berulangkali, aku memasuki gang yang sama, jalan yang sama dan alamat yang sama. Tapi, alamat rumah anak majikanku belum kutemu. Sampai aku bertanya, kepada seorang yang kebetulan ada di depan rumah. Karena tak membawa hape, tanpa segan dan malu (sebenernya, nekat) aku meminjam hape orang tersebut. Bersyukur sekali, ketika dengan baik hati orang itu meminjamkan. Dan, ternyata, alamat yang aku catat, salah! Masih bersambung....
Dalam facebook, aku sudah beberapa kali mengganti nama. Awal sekali, aku menggunakan nama asli. Ketika itu, belum banyak aku menemukan sahabat-sahabat nyata di dunia maya. Kemudian, karena lebih banyak teman-teman blog aku mengubah memakai nama blog saja. Dan, beberapa waktu lalu, aku juga sempat meletakan nama asli, Eli Anazkia. Ada beberapa sahabat bloger yang terkejut dan bertanya. Betulkah itu nama asliku. Dan terakhir, ada yang kompalin katanya, nama Eli identik dengan mbak Elly newsoul. Makanya, aku hapus lagi nama asliku. (gak pake ngambek yah...??? ;)) :D)


Pernah mendengar, kalau ada tujuh rupa, yang serupa fisik dengan kita. Entah kesahihannya. Tapi, dulu aku dan teman-teman sering membahasnya. Meskipun, berakhir dengan gelak ketawa. Gimana enggak, konon tujuh serupa itu, beragam akhlak dan profesi katanya. Terbulir juga tanya, "Ada enggak yah, yang serupa dengan aku tapi, dia gila?" Juga celetukan yang lain, "Ada enggak yah, yang serupa dengan aku tapi, dia pengemis?" Atau, ada enggak yah, yang serupa aku tapi, dia artis...???" Wah, pokoknya, ramai kalau sudah membahas tujuh serupa, dalam dunia.
Beberapa teman-temanku yang kadang melangkah jauh, setiap kali bertemu dengan orang yang "serupa" dengaku, selalu mengabarkan. Ada seorang sahabat yang kuliah di Jogja. Dia pernah membawa cerita juga oleh-oleh sehelai gambar seorang wanita yang katanya, serupa dengan aku. Sekillas, ia memang mirip apalagi dengan tahi lalat di bawah hidung. Tapi, aku tetap mengelak. Kemudian, datang juga cerita baru. Ujarnya, sang Dosennya juga ada yang serupa. Mirip, dari tutur kata, gaya bicara juga amarahnya. Aku hanya geleng-geleng kepala. Yang lebih lucu, ada seorang yang salah menegur orang lain. Dianggapnya itu aku, padahal, bukan. Tapi, kemiripan itu hanya dalam rupa wajah. Entah kebetulannya cerita tujuh serupa. Aku menaggapinya, biasa-biasa saja. Beberapa hari lalu, tatkala aku membaca sebuah novel fiksi, meskipun ia diambil dari kisah nyata "Galaksi Kinanthi" Aku merasa terungkit kepada masa lalu. Ada keserupaan cerita, tentang cerita seorang gadis desa. Hanya berbeda nasib (lho, katanya serupa...???) Sepertinya, serupa pada jalan cerita, bukan pada nasibnya. Diawal-awal bab sang penulis, Tasaro GK, telah berhasil mengacak-acak emosi aku. Tersenyum, meringis, berkerut kening, meyakinkan arti bahasa jawa yang ditulisnya. Tak cuma itu, bahkan, aku dibuatnya menangis. Menangis ketika Kinanthi, meronta hendak dijual orangtuanya ke kota juga, saat adegan Ajuj menangis melepas kepergian Kinanthi, dari balik kaca jendela mobil. berpaut erat, rapat kedua tangan keduanya yang dibatasi pada jendela kaca. Awal-awal cerita, aku masih mampu menyembunyikan air mata. Maklum, aku masih dalam perjalanan, dalam gebong kereta api. Disela-sela kesibukan penumpang, aku menyempatkan diri untuk membacanya. Tidak peduli, mau berdiri atau duduk. Novel itu betul-betul menyedot perhatianku. Ketika satu demi satu stasiun terlewati, aku masih setia membaca dan menekuni kata demi kata yang ditulis oleh Tasaro GK. Ada gerimis kesedihan dalam hati, rinai air mata jatuh juga dikedua pipi. Meskipun tak sama persis alur ceritanya, ada beberapa hal yang membuatku menangis. Aku mengingat Om Christ, orang yang telah menyekolahkan aku. Aku tak mau lagi menoleh kiri kanan, kebetulan, gerbong kereta di satsiun selanjutnya tidak banyak orang. Aku biarkan saja air mata mengalir. Sesekali mengesatnya. Tapi, berlanjut kecerita selanjutnya, tak lagi aku mengesatnya. Kubiar air mata terjatuh. Kelebat om Christ tak mau beranjak dibenak. Aku memangisi kedua orang lelaki. Tasaro GK, yang telah mengingatkan aku tentang Om Christ. Juga, Om Christ yang karenanya lah, aku diajari berpikir. Wallahu'alam. Ya Allah, sejahterakanlah hidup mereka...
Yang mudah dicari, itu bukan sahabat. begitulah ujar seorang pakar motivasi. Entah betul, entah tidak. Tapi, kalau direnungkan, benar juga. Kita dengan mudahnya berkenalan, menyapa dan bertegur sapa dengan siapa saja yang kita temui dimana saja. Pun di dunia maya. Dari mulai yahoo messenger, friendster, hi5, tagged, blog facebook ataupun situs jejaring lainnya. Dengan mudahnya kita bertemu dan menyapa siapa saja. Tapi, apa semudah itu kita dekat dan rapat kepada mereka semua...???
Ah, tentunya tidak. Ada yang hanya sekilas saja kemudian, berlalu tanpa berita. Dalam menjelajahi (cie...) dunia maya, aku lebih suka nongkrong diblog. Dari blog, aku lebih banyak tahu aktivitas dan harian pemiliknya. Meskipun terkadang tanpa ditulis jelas tapi, ada ketikanya bias kata memberi makna. Pada rupa dan cara, bagaimana empunya blog bercerita. terkadang, rasa kehilangan juga ketika salah seorang sahabat blogger terdekat lama tidak posting ceritanya. Tertanya, tentang keadaannya juga khabarnya. Apakah ia, baik-baik saja? Seperti ketika waktu lalu, aku tidak blogwalking. Dan, saat aku blogwalking aku menunjungi blognya Henny Yaricaprestya. Aneh, blognya sama sekali gak bisa dibuka. Bahkan, tidak ditemukan. Beberapa kali, aku mengkliknya. tetap nihil! Akhirnya, aku menuju ke facebooknya. Bertanyakan khabar beritanya. Tiada terbalas. beberapa hari kemudian, aku melihat mbak Renny pun mengunjungi facebooknya Henny. Dan, masih ada beberapa teman-temannya lagi. Aku pun lebih dari sekali ke wall facebooknya. Henny, aku tercari-cari khabar beritanya. Andaian buruk bermain dikepalaku. Kenapa kalau hendak mengundurkan diri ia tak berpamitan secuilpun kepada sahabat bloger lainnya. Blognya, tak hanya ditutup. Tapi, tak ditemukan.
Sampai akhirnya, aku beranikan diri juga untuk menulis inbox di facebooknya kawan dekat Henny. Masih nihil, tiada balasan. Andaian buruk terus bergelayut. Dan, beberapa hari lalu, Henny mengirim pesan di inbox facebook. Alhamdulilah... betapa gembiranya aku. Meskipun dari tulisannya ia sangat terburu-buru. Tapi, sekurang-kurangnya aku sudah mengetahui khabar terbarunya. Henny sedang ada urusan. Dan, karena urusan itulah dia menghilangkan diri secara tiba-tiba dan tak lagi beredar didunia maya. Ujarnya, Insya Allah ketika urusannya sudah selesai semua Henny akan kembali tapi, entah kapan urusan itu akan selesai. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan untuknya. Insya Allah... Dan Henny, mengirimkan salam untuk sahabat bloger semua. Serta, memohon maaf karena pergi tanpa permisi. Dalam postingan ini, aku juga sekalian memajang award dari Yoliz, Mbak Fanda dan Mbak Reni.
,
Desa Karangsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang yang terletak di bawah kaki bukit Gunung Slamet adalah tempatku di lahirkan. Sebuah desa yang cukup terpencil. Dengan fasilitas yang tak begitu memadai ketika itu, menjadikan aku selalu bermimpi, untuk pergi ke kota besar, bekerja meskipun pekerjaan itu, hanya sebagai pembantu rumah tangga. Sepertinya tak pernah bermimpi untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Meskipun, pernah ketika SD (Sekolah Dasar) dulu Aku menuliskan cita-citaku menjadi seorang Guru. Tapi, cita-cita itu hanya tulisan begitu saja. Tak sedikitpun, mimpi itu memacu semangat belajarku. Juga usahaku untuk menggapainya.
Keluargaku pun, biasa-biasa saja. Bahkan, boleh dibilang miskin. Terlahir dari lingkungan yang biasa-biasa saja, menjadikanku tidak begitu mementingkan cita-cita. Toh, keturunan dari keluargaku tak ada satupun yang mengenyam pendidikan tinggi. Hanya seorang kakaku, yang saat itu masih duduk di bangku SMP. Sedangkan, kaka-kaka sepupuku yang lain, tak lebih dari SD. Sementara, kedua orang tuaku, merantau ke Selat Sunda. Dan aku, tinggal dengan Kaka, Nenek juga saudara-saudara yang lainnya. Impian untuk ke kota, semakin lama semakin kuat. Ditambah dengan keadaan ekonomi keluarga yang tidak menentu. Apalagi, setiap kali melihat tetangga-tetangga yang mudik ke kampung halaman saat lebaran tiba. Aku semakin dibuai mimpi untuk menuju kota. Melihat oleh-oleh yang dibawa juga mendengar cerita-ceritanya tentang kota. Aku selalu terkesima, mendengar cerita kota, dengan segala kesibukan juga fasilitas yang dimiliki oleh sebuah kota. Cerita tentang lampu, tentang TV berwarna, tentang kulkas juga keenakan makanannya. Ah, aku semakin merindukan kota. Rasanya, saat itu juga, aku ingin menuju ke kota. Dan, Jakarta, adalah kota yang ingin sekali kutuju. Tatkala selesai waktu belajar di SD, mimpiku untuk meneruskan sekolah, betul-betul terhenti. Aku tidak meneruskan sekolah. Meskipun sebetulnya orang tuaku keberatan tapi, aku lebih memilih tidak sekolah. Mendengar janji Budeku hendak membawaku ke Banten (Jabar Ketika itu). Betapa gembiranya aku saat itu. Hampir malam-malamnya, aku tidak bisa tidur lena karenanya. Meskipun aku tak bertahan lama di sana dan harus kembali lagi ke desa. Aku tidak jera, impianku masih sama yaitu, ke kota Jakarta. Sekembalinya dari Banten, aku mulai mengadu nasib di desa, dengan menjadi kuli di sawah-sawah orang kaya. Hasilnya yang tidak seberapa, tetap saja membuatku bangga karena bisa membantu perekonomian keluarga. Menjemur diri menjadi kuli di tengah bentang sawah-sawah, menjadi pekerjaan rutinku seawal usia 13 tahun. Terkadang, malu juga kalau harus bertemu dengan teman-teman SD. Apalagi, kalau bertemu teman sebangku. Yang ketika sekolah dulu, selalu bersaing prestasi setiap hari. Semua rasa malu kutepis. Aku harus membiasakan diri dengan keadaan baru. Dan, mimpi ke kota besar Jakarta tetap menduduki peringkat pertama di kepalaku. Ternyata betul, Ia Budeku dengan kedua majikannya. Seingatku, Budeku belum lama kerja di Tangerang. Kenapa meski pulang. Akhirnya, aku baru paham. Kalau ternyata, kepulangan Budeku adalah untuk menjemputku. Menemaninya bekerja di Tangerang, dalam rumah yang sama. Tak terbayangkan betapa gembiranya aku saat itu. Segala mimpi sepertinya sudah menjadi nyata di depan mata. Aku akan segera ke Jakarta. AKu tersenyum lebar, bahagiaku ketika itu betul-betul tak tergambar. Aku tak melihat sekelilingku, tidak juga mempedulikan perasaan Nenek, Kaka dan Budeku yang lainnya. pikiranku hanya satu, ke Jakarta, aku sungguh gembira!. Sungguh begitu cepat. Esoknya, setelah melalui malam yang cukup panjang, aku berangkat juga ke jakarta. Meskipun, harus ke Tegal dulu menuju tempat majikan Budeku, yang kelak juga menjadi majikanku. Di Tegal, aku dan Budeku menginap satu malam di rumah salah seorang anaknya. Dan hari berikutnya, aku baru menuju Tangerang bersama-sama dengan Budeku dan majikanku. Menaiki mobil Panther, meluncur deras menembus kesesakan kota. Rasanya, itulah pertama kali aku menaiki mobil pribadi. Hati kecilku bersenandung, mimpi ke kota hendak menjadi nyata. Meskipun saat berpamitan dengan sahabat mainku, ia menyela, katanya Tangerang bukanlah Jakarta. Tapi, aku cuek saja yang penting, aku hendak ke kota. Dan kini, aku sedang menujunya. Akhirnya, sampailah aku di tempat tujuan. Sebuah perumahan, yang cukup mewah menurutku. "Villa Melati Mas" Dan sampai sekarang, aku masih mengingat jelas alamat juga nomor telpone majikanku yang pertama kali. Di situlah, aku mulai mengenali kehidupan kota dan menghirup udaranya. Di situ juga, aku mengenali TV berwarna, kulkas, kompor gas juga, listrik tentunya. Seperti katak yang baru keluar dari tempurung, aku betul-betul mengalami keterkejutan budaya yang nyata. Aku merasa, desaku begitu tertinggal saat itu. Di rumah itu juga, untuk pertama kalinya aku belajar menyapu dan mengepel lantai. Sangat jauh berbeda dengan keadaan di kampungku. Dimana aku hanya menyapu lantai yang masih tanah. Sementara di kota, aku harus menyapu dan mengepel lantai keramik. Tidak begitu lama aku bekerja di rumah tersebut. Hanya enam bulan. Tidak lama setelah itu, aku justeru berpindah ke Banten, hidup berkumpul bersama dengan orang tuaku, (juga) adik-adikku. Alhamdulilah, akhirnya, Allah memberi kesempatan juga aku tinggal serumah dengan kedua orang tuaku. Meskipun tak lama setelah itu, aku kembali bekerja di Pamulang. Lagi-lagi, hanya sebagai pembantu. Di situ juga, aku mulai berani pergi sendirian PP dari Cilegon, ke Pamulang. Di Pamulang, majikanku beragam kristen. Meskipun begitu, ia baik denganku. Bahkan, aku disuruhnya meneruskan sekolah. Gembira sekali ketika itu. Sayangnya, keinginan itu tidak menjadi nyata. Aku harus kembali ke Cilegon. Di Cilegon, aku tidak memiliki kegiatan apa-apa. Sehari-hari, hanya duduk diam di rumah. Sampai suatu ketika, ada tetanggaku yang baru pindah dari Jawa. Dan dia, juga sekolah di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Hatiku tergerak untuk mengikuti jejaknya. Aku mengutarakan niatku pada kedua orang tua dan kakaku yang saat itu juga sudah berada di Cilegon. Meskipun sudah telat selama 2 tahun, Alhamdulilah, aku masih diterima juga di sekolah tersebut. Dan, umur 15 tahun, aku baru menduduki kelas satu. Berbeda dengan teman-teman seangkatanku yang masih berusia 12-13 tahun saat itu. Sungguh kuasa Allah, aku tak menyangka kalau masih bisa sekolah. Meskipun bukan pada sekolah yang mewah. Begitulah, hari-hariku dipenuhi dengan kegiatan baru. Tak lagi berkutat dengan aktivitas harian rumah tangga. Kini berubah, menjadi aktivitas, menulis dan membaca. Betapa bersyukurnya aku ketika itu. Allah telah membuka jalan, untuk aku membuka pikiran. Bagaimana mimpi-mimpi itu harus selalu kukejar. Dari situlah, mimpi-mimpiku bermula. Dan kini, ketika aku membuat kopi, aku selalu mengingat kejadian berpuluh-puluh tahun dahulu. Bahwa, mimpiku, berawal dari atas pohon kopi.
Dalam tetralogi Laskar Pelangi, ada beberapa tokoh-tokoh tambahan yang terbuang. Dalam Laskar Pelangi, ada seorang manusia terbuang bernama Bodenga. Dalam Edensor, ada juga lelaki tua yang ditemui di kota kecil Craniova, Rumania. Seorang lelaki asal Banyumas, yang terdampar disana dan terbuang tanpa diakui negara. Sedih bergelayut, tatkala membaca lembar cerita ini. Juga, dalam Maryamah Karpov, Andrea Hirata juga menceritakan tentang lelaki terbuang. Weh namanya. terpencil, kehidupannya. Ia hidup sendiri, disebuah perahu. Tanpa ada sesiapa, yang mempedulikannya. Bahkan, sampai ia meninggal pun, tak ada yang mengetahui. Tragis!
Dalam kehidupan sehari-hari, sejatinya kita selalu ditemukan dengan kehidupan seperti itu. Dibuang terbuang, atas dasar pemikiran yang sudah terbentuk. Baik buruk, atas dasar persepsi terbanyak. Bukan karena apa dan mengapa tapi, karena sudah banyak yang melakukannya. Hanya analogi. Andai kita seorang kepala desa, kemudian datang dua orang memberi khabar. Salah seorang, memberi tahu bahwa, si Ahmad yang kaya raya, telah kehilangan uangnya sebanyak Rp.100.000.000. Sedangkan berita satunya, mengabarkan bahwa, Si Mamat telah kehilangan uang sebesar Rp.10.000. Agaknya, kemana kita akan pergi dulu? dan, kemana juga warga akan berduyun-duyun dan membicarakan kasus itu? Tentunya, kita akan menuju rumah Ahmad Dulu. Bagaimana tidak, Ahmad yang kaya raya, kehilangan uang yang begitu banyaknya. Sedangkan Mamat, hanya Rp.10.000 saja. Psikologi manusia, sudah terbentuk seperti itu. Sebagai manusia normal, kita akan bertindak dan berfikir mengikuti logika. Jarang sekali hendak menilai dengan mengikuti otak keratifnya. Seorang yang kreatif, mungkin akan pergi ke rumah Mamat, kalau Rp.10.000 hilang, sampai melapor kepada kepala desa. Mungkin saja, uangnya sangat berharga. Orang kreatif, akan berfikir secara lateral. Kalau semua orang pergi ke rumah Ahmad, siap juga yang akan pergi ke rumah Mamat? Tentu saja lebih banyak yang ke rumah Ahmad, Maklum, yang hilang Rp.100.000.000 jumlah yang sangat besar. Ia berita hangat, tetapi kalau terlalu ramai orang mengerumuni suatu hal, Ia sudah tidak menjadi terlalu pelik. Tidak ada eksklusifnya, smeua orang bicara hal yang sama, semua orang ada fakta yang sama. Siapa juara dalam soal ini? Tidak ada sesiapa yang menjadi juara kecuali orang yang pergi ke rumah Mamat. Dia pulang dengan membawa satu berita, yang tidak diketahui oleh orang lain. Dia lebih juara dan juga hebat. Meskipun jumlah kehilangan uang tidak besar, berita mengenainya akan menjadi besar dan si pembawa berita akan terkenal karena, hanya dialah yang ada fakta mengenainya. Sekarang, kita semua perlu berfikir lain sedikit daripada orang kebanyakan berfikir. Apabila kita melihat dan berfikir secara lateral kita akan menjadi luar biasa daripada, yang biasa. Para saintis adalah orang yang berfikir lain daripada orang lain berfikir. Melihat matahari mereka berfikri, bagaimana boleh membawa matahari kedalam rumah. Maka, terciptalah lampu elektrik. Melihat burung, mereka berfikir bagaimana caranya untuk terbang. Maka, terciptalah pesawat terbang. Psikologi manusia biasanya sama. Tentang kisah Ahmad dan Mamat tadi. Bukankah Rp.10.000 tiada nilainya berbanding Rp.100.000.000. Tapi, apa jadinya kalau uang yang Rp.10.000 itu, dimilki oleh seorang anak yatim yang tiada memiliki uang sepeserpun Tentunya, ia sangat berharga dan lebih berharga dari uang Rp.100.000.000. melihat, betapa sesuatu yang berada disebalik sesuatu. biasanya berbeda daripada apa yang biasa. Mengutip dari buku yang telah dibaca, dengan perubahan seperlunya.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Teman-teman

Sering Dibaca

  • Minyak Gamat Bukan Hanya untuk Obat Luka
  • Diary Blogger Indonesia
  • RM. 100 Dari Denaihati
  • Betapa Inginnya Mengumrohkan Ibu Saya
  • Beli Sprei Bisa Umroh?

Harta Karun

  • ►  2022 (5)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2021 (8)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2020 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2019 (41)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (63)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (23)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2015 (137)
    • ►  Desember (25)
    • ►  November (20)
    • ►  Oktober (34)
    • ►  September (19)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (52)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2013 (40)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (12)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2012 (74)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (14)
  • ►  2011 (87)
    • ►  Desember (10)
    • ►  November (8)
    • ►  Oktober (18)
    • ►  September (13)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (8)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2010 (141)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (12)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (17)
    • ►  Februari (18)
    • ►  Januari (23)
  • ▼  2009 (124)
    • ▼  Desember (11)
      • Sebuah Prolog, Tentang Perjalanan
      • Posting ke 300 Berkelana Aku, ke Tanah Sumatra
      • Selamat Tahun Baru Islam 1431 H
      • Menjawab Soalan Rangga
      • Indahnya Tersesat Part 2
      • Indahnya Tersesat
      • Kurir Cinta
      • Dua Lelaki, yang Membuatku Menangis di Gerbong Ker...
      • Untukmu, Henny
      • Mimpiku, berawal dari Atas Pohon Kopi
      • Berfikir Lateral Dan Kreatif
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (17)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (16)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (12)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2008 (105)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (16)
    • ►  Mei (19)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (22)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2007 (30)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (12)
    • ►  Agustus (2)

Kategori

Ads Blogger Hibah Buku Celoteh Cerpen Featured GayaTravel KBO komunitas Murai Perjalanan Piknik Buku Pojok Anaz Reportase resep reveiw Semestarian Serial Sosok Teman TKW TripGratisan Volunteer

Catatan Anazkia By OddThemes | Turatea.com