Fiuh... Lama gak up date, rasanya, ada yang kaku dalam jemari dan otakku. Aku benar-benar beku untuk merangkai kata menulis kalimat. Kuhitung-hitung, ku kira-kira apa gerangan hendak aku bercerita. Sepertinya, semua ide yang ada menguap sudah. Hendak menuliskan cerita lalu saja, yang sudah lewat beberapa minggu.
Sore itu, aku tergesa-gesa menuju halte bus. Berharap tidak lambat sampai tujuan. Nyatanya, aku sudah terlambat. Tak henti-henti aku melirik jarum jam di layar hape, angka tiga sudah melebihi masanya. Aku semakin gelisah (jiah... ko kayak mo bikin cerpen sih...???) rubah haluan ah...
Sore itu, aku minta izin keluar dengan majikanku. Izin ku dapat, tanpa aku harus berdebat. Aku mengikuti sebuah seminar, yang sungguh-sungguh aku "tersesat" di dalamnya. Sebelum pergi, aku selalu melihat apa saja yang harus ada dalam tas dan, passport adalah yang utama. Maklum, tinggal di negara orang, salah sedikit bisa di tangkap, khan berabe. Aku Alhamdulilah beruntung, majikanku menyerahkan passport sejak dua tahun lalu, sebelum pemerintah Indonesia dan kerajaan Malaysia meributkannya. Seperti halnya cuti yang di permasalahkan, majikanku pun sudah memberikannya jauh-jauh hari. Ah, andaikan semua majikan seperti majikanku.
Menaiki taksi aku menuju UIAM (Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia). Dari logat bicara sang sopir, aku mengenali ia dari Negeri Kelantan. betul jawabannya ketika aku menanyakan kepadanya. Beberapa dialog terlontar, sekali dua kalimat bertukar. Ia menanyakan keberadaanku. Ku jawab saja, bahwa aku orang Indonesia. Tiada keanehan, tiada nada permusuhan, sang sopir bertanya, Apakah aku lahir di Malaysia? ku jawab tidak, aku baru empat tahun tinggal di Malaysia. Pak sopir mengangguk mahfum.
Memasuki UIA, aku tepat di berhentikan di depan gedung utama, ketika aku masuk kedalamnya, harus menaiki beberapa tangga. Kebetulan, aku sudah beberapa kali kesana. Sebelumnya, aku sudah menghubungi panitia, di mana keberadaan acara. Rupanya, ia ada di fakultas ekonomi. tak sulit buatku karena, beberapa kali sebelumnya aku juga pernah pergi kesana. hanya kelasnya saja yang beda. Meskipun sudah beberapa kali datang, aku harus kembali menghubungi panitia, untuk menjemputku.
Kalau biasanya aku datang ke UIA saat hari libur saja, kali ini, aku datang saat hari biasa. Di mana, para mahasiswanya masih banyak yang bertebaran di seluruh kampus. Banyak sekali ku temu wajah-wajah berbeda rupa dan warna, dari yang putih, sampai hitam, dari yang tinggi, sampai yang paling kecil. Ramadhan memberikan suasana lain di kampus itu. beberapa poster dan ajakan untuk berbuat amal shalih bertebaran. Dan yang paling menarik menurutku adalah spanduk bertuliskan "No Dating" tepat di sebelah masjid utama UIA.
Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang ibu, ia menyapaku dan aku bertukar tanya. Ternyata, ia seorang dosen di UII (Universitas Islam Indonesia) di Jogja. Ia tengah menyelesaikan S3 nya di Malaysia. Ia bertanya, apakah aku sedang mengambil master? Aku tersenyum simpul, ku jawab saja aku bekerja. Terlintas jawaban di benakku, sepertinya, aku harus melebelkan PhD (Pembantu Harus Di rumah) jadi gak di tanya2, kuliah apa enggak. Ku harap pertanyaan mereka adalah do'a, karena sudah beberapa kali yang menanyakan, "Lagi ambil master yah" (TK aja aye kagak lulus).
Masuk ke ruangan, aku sungguh kebingungan. Aku telat, ruangan sudah penuh. Bu Dosen tadi duduk di bangku paling depan, bersebelahan dengan seorang lelaki. Aku menuju ke belekang, masih ada sisa kursi kosong, nasibnya sama, sebelahnya, seorang lelaki. Aku duduk saja. Diam, tanpa kata. Sebelah kiriku, seorang anak perempuan kecil, sedang khusu membaca buku english. Sungguh aku di buai cemburu, betapa bersyukurnya kamu bisa memahami bahasa itu. Sedang aku setua ini, tak mampu mengeja alpabetnya.
Kali ini, aku betul-betul merasa tersesat dalam jama'ah. Biasanya, aku sering mengikuti jama'ah-jama'ah fiksiah dalam seminar. tapi, kali ini sungguh di luar dugaan. Aku mengikuti jama'ah penulis ilmiah. Hmmm... suasana baru yang cukup kaku. Tapi ini sungguh pengalaman seru. Ada empat pembicara di situ. Semua hebat, semua bijak aku terkesima di buatnya. Prof.Dr Mulyadhi Kartanegara, alumnus Chicago University USA sedang membentang "Kiat-Kiat Menulis Buku" Aku tahu, ini di tujukan untuk para mahasiswa yang sedang mengadakan tesis, skripsi atau entah apa namanya. Tapi, ia mencuri perhatianku. Siapa tahu, aku juga bisa menulis buku dengan judul "Menjadi Pembantu, Di Tanah Melayu" Sebagai oleh-oleh untuk Emakku, karena aku tak mampu menghadiahkan rumah untuknya. (Wekekeke... hanya mimpi...)
Batas jeda yang di cipta, di gunakan untuk bertanya. Seorang lelaki mengacung jari, mengenalkan diri. ternyata, ia mahasiswa Malaysia, Aku rasa, dialah satu-satunya di situ. Bertanya, dengan soalan yang cukup rumit menurutku. Bahasanya full melayu tapi, ia tetap percaya diri. Masa terlerai untuk berganti kepada pembicara selanjutnya juga untuk rehat sejenak shalat ashar. Sendiri, aku betul-betul sendiri. Ada beberapa yang tadi ku kenal tapi, ia sudah pulang sepertinya.
Masuk kembali ke ruang seminar, mengikuti sesi selanjutnya. Kali ini, aku tak lagi duduk di belakang. Agak ke depan, di sebelah kananku, seorang perempuan. Bertanya basa-basi, tidak sengaja, aku keceplosan ngomong bahasa melayu. Di anggapnya aku orang melayu, Aku menukas cepat, berkata, bahwa aku orang Indonesia dan kembali full Indonesian language. Aku pun bertanya tentangnya, rupanya, ia orang Malayisa. Aku betul-betul terkejut kali ini. Baru kali ini aku dengar orang malaysia bisa berbicara bahasa Indonesia dengan fasihnya (baru denger aja kale...)
Lantas ia menceritakan serba sedikit tentangnya. Ujarnya, Ibunya berasal dari Mandailing tapi, sudah menjadi warga negara Malaysia. Dan sang ayah, adalah keturunan orang Minang Indonesia. Dan Dia, selama ini belajar dan menetap di Gontor sebuah pesantren di Jawa Timur. Tidak heran, saat ia fasih berbicara bahasa Indonesia. Aku mengangguk-angguk, berfikir. Pak Alwi yang sedang memberikan tema "Menulis Popular" betul-betul tak populer di telingaku. Aku mengingat beberapa bulan lalu, ketika mengikuti sebuah pengajian di sini juga, seorang ustadz berkata, konon 40% dari penduduk Malaysia adalah keturunan Indonesia. Wallahu'alam.