Merenung Sampai Mati

Pingsan aku! Ketika ku tanya, alasannya sederhana saja. "Di sini gak ada buku bahasa Indonesia mbak." Hmmm... Bisa ku terima. Maka, saat ia susah-susah hendak mengirimkan sebuah buku berbahasa Indonesia, yang hanya full foto copian saja aku mengiyakannya. Meskipun setelah sampai bukunya, aku tidakk begitu semangat untuk membacanya. Maklum, fotokopian. Agak susah di bawa-bawa. Di baca sambil tidur pun, repot membacanya (alesan!). Tapi, sekali dua kali membaca bukunya, aku lama-lama menyukainya. Bab demi bab ku nikmati, kalimat demi kalimat ku hayati. Hingga sampai lembar terakhir, buku itu, lusuh tak bermaya. Kesian....
Prie GS, budayawan asal kota Semarang ini siapa yang tidak mengenalinya. Tapi, selama ini aku hanya bisa membaca karya-karya fiksinya saja. Membaca essaynya, sebuah tulisan dengan gaya penilaian hidup satu demi satu, di rumuskan dari hal-hal kecil sampai hal yang paling kecil sekalipun. Yang terkadang, bahkan sering aku sendiri tidak pernah memikirkannya.
Di mulai dengan gambaran pesawat jatuh. Banyak pesawat jatuh belakangan ini. Akan tetapi, banyak benarkah? Tidak, tidak banyak. Kata "banyak" hanya berasal dari persepsi manusia yang keliru, yang menganggap pesawat harus selalu tidak bisa jatuh. Padahal, menurutnya siapa yang berani bermain di ketinggian harus siap jatuh. Jadi, kodrat pesawat adalah "jatuh" sebagaimana hidup harus mengenal kematian (halaman1).
Ah, sungguh sentilan yang sangat mengena. Selama ini, aku menganggap biasa-biasa saja ketika aku mendarat dengan selamat setelah menaiki pesawat. Betapa seharusnya aku bersyukur masih selamat. Sungguh kuasa Allah... Membaca lembar demi lembar buku ini, membuatku tersadar bahwa, banyak sekali hal yang kadang aku anggap spele ketika di renungkan ia menjadi hal yang berarti dan harus di syukuri. Dalam bab, "Ketika Manusia Menjadi massa" Siapapun kita, pejabat, wartawan, mahasiswa, sopir omprengan, ketika telah berkumpul dan menjadi massa akan tergoda oleh jebakan yang sama : kekuasaan. Dan, godaan kekuasaan selalu saja sama wajahnya:keangkuhan. Ketika manusia memassa, yang muncul tak cuma niat memperjuangkan tujuan, tetapi juga kejengkelan dan dendam.
Oleh karena itu, sifat massa sangat sensitif dan sangat berbau kemarahan. Massa dengan kekuasaan memiliki ragam bahasa. Bahasa paling lunak adalah persuasi, kemudian meningkat menjadi agitasi, dan kalau perlu bisa berubah menjadi kekerasan dan anarki (hal 174). "Bangsaku Selalu Terburu-buru" pada halaman 219. Bagaimana bangsa ini akan menjadi baik jika untuk mematuhi kebaikan yang sederhana saja masih demikian susah. Jembatan penyebrangan sudah tersedia, tetapi masih saja banyak orang nekat menyebrang di bawahnya. Pagar penyekat jalan sudah sedemikian rupa, tetapi orang-orang itu masih saja nekat main lompat. Inilah gambaran watak yang mebuat bangsa ini menjadi terkenal:watak nerabas! Mereka sunguh bukan orang-orang primitif.
Bukan orang-orang desa yang selama ini di asumsikan sebagai orang bodoh dan susah di atur. Mereka adalah orang-orang kota yang apapun status sosial mereka, mulai senang membaca dan nonton televisi. jadi, ini bukan soal pendidikan, soal kepintaran, soal kepintaran, dan kebodohan. Akan tetapi, soal mental dan kelakuan. Aku lebih tergelitik saat membaca bab "Khotbah Di Sekitar Kita" gambaran yang sangat rill, betapa banyaknya khotbah di adakan. tapi, kejahatan masih di mana-mana, penindasan kepada siapa saja. Pembukaan yang cukup unik ketika sebuah soalan di ajukan.
"Kita tidak tahu persis, apakah kita jenis masyarakat pengkhotbah, pendengar khotbah, atau sekedar penyelenggara khotbah?" Jadi kefikiran pertanyaanku beberapa hari yang lalu. Betapa di setiap khotbah, selalu terselit kalimat Ittakullah (bertakwalah kepada Allah) dan kalimat, yaa ayyuhaladzina aamanuu (Hai orang-orang yang beriman). Tapi, terkadang khotbah di dengar sambil lalu saja tidak sedikit pendengarnya tidur begitu saja. (Jadi, kalau aku tarawih deket rumah setelah rakaat ke 4, ada tadzkirah lumayan panjang, seringnya aku atau terkadang orang di sebelah kanan kiriku, juga depan belakangku pada tertidur). Renung-renungkan... Di kutip dari, Judul: Merenung Sampai Mati Penulis: Prie GS Penerbit: Tiga Serangkai Solo Harga: Gak tahu, dapet di kasih (foto kopian lagi)
Ah, sungguh sentilan yang sangat mengena. Selama ini, aku menganggap biasa-biasa saja ketika aku mendarat dengan selamat setelah menaiki pesawat. Betapa seharusnya aku bersyukur masih selamat. Sungguh kuasa Allah... Membaca lembar demi lembar buku ini, membuatku tersadar bahwa, banyak sekali hal yang kadang aku anggap spele ketika di renungkan ia menjadi hal yang berarti dan harus di syukuri. Dalam bab, "Ketika Manusia Menjadi massa" Siapapun kita, pejabat, wartawan, mahasiswa, sopir omprengan, ketika telah berkumpul dan menjadi massa akan tergoda oleh jebakan yang sama : kekuasaan. Dan, godaan kekuasaan selalu saja sama wajahnya:keangkuhan. Ketika manusia memassa, yang muncul tak cuma niat memperjuangkan tujuan, tetapi juga kejengkelan dan dendam.
Oleh karena itu, sifat massa sangat sensitif dan sangat berbau kemarahan. Massa dengan kekuasaan memiliki ragam bahasa. Bahasa paling lunak adalah persuasi, kemudian meningkat menjadi agitasi, dan kalau perlu bisa berubah menjadi kekerasan dan anarki (hal 174). "Bangsaku Selalu Terburu-buru" pada halaman 219. Bagaimana bangsa ini akan menjadi baik jika untuk mematuhi kebaikan yang sederhana saja masih demikian susah. Jembatan penyebrangan sudah tersedia, tetapi masih saja banyak orang nekat menyebrang di bawahnya. Pagar penyekat jalan sudah sedemikian rupa, tetapi orang-orang itu masih saja nekat main lompat. Inilah gambaran watak yang mebuat bangsa ini menjadi terkenal:watak nerabas! Mereka sunguh bukan orang-orang primitif.
Bukan orang-orang desa yang selama ini di asumsikan sebagai orang bodoh dan susah di atur. Mereka adalah orang-orang kota yang apapun status sosial mereka, mulai senang membaca dan nonton televisi. jadi, ini bukan soal pendidikan, soal kepintaran, soal kepintaran, dan kebodohan. Akan tetapi, soal mental dan kelakuan. Aku lebih tergelitik saat membaca bab "Khotbah Di Sekitar Kita" gambaran yang sangat rill, betapa banyaknya khotbah di adakan. tapi, kejahatan masih di mana-mana, penindasan kepada siapa saja. Pembukaan yang cukup unik ketika sebuah soalan di ajukan.
"Kita tidak tahu persis, apakah kita jenis masyarakat pengkhotbah, pendengar khotbah, atau sekedar penyelenggara khotbah?" Jadi kefikiran pertanyaanku beberapa hari yang lalu. Betapa di setiap khotbah, selalu terselit kalimat Ittakullah (bertakwalah kepada Allah) dan kalimat, yaa ayyuhaladzina aamanuu (Hai orang-orang yang beriman). Tapi, terkadang khotbah di dengar sambil lalu saja tidak sedikit pendengarnya tidur begitu saja. (Jadi, kalau aku tarawih deket rumah setelah rakaat ke 4, ada tadzkirah lumayan panjang, seringnya aku atau terkadang orang di sebelah kanan kiriku, juga depan belakangku pada tertidur). Renung-renungkan... Di kutip dari, Judul: Merenung Sampai Mati Penulis: Prie GS Penerbit: Tiga Serangkai Solo Harga: Gak tahu, dapet di kasih (foto kopian lagi)
"Cerita ini ku tulis dalam rangka belajar membaca untuk menulis dan menulis untuk membaca. Mohon maaf, lama tidak muncul (sok sibuk)"
46 komentar
Horee...akhirnya Ana muncul juga. Ternyata tak bisa lama-lama meninggalkan dunia blogging ya?
BalasHapusUlasan yg bagus dari sebuah buku yg pasti juga bagus. Memang, otak kita seringkali terprogram utk bertindak tanpa berpikir.
Ulasan ttg kebobrokan mental bangsa ini juga sangat tepat. Sering aku berpikir, kalau kita ingin maju dan memperbaiki diri, harus mulai darimana ya? Bagaimana mengubah mental jika hal itu sdh mendarah daging?
Sebuah essay dari mas Prie GS, kalau tidak salah saya pernah baca bukunya,....
BalasHapusSebuah wacana yang menampar kemanusiaan di dalam diri.
Melalui buku ini, Prie mengajarkan kita untuk lebih mencintai bangsa sendiri, ibu pertiwi kita, Indonesia kita.
Kayaknya pas banget buat yang perlahan kehilangan jiwa nasionalis-patriotis atau siapapun yang sedang berkelana mencari yang namanya jati diri-padahal jati diri itu letaknya sangat dekat di hati kita.
Tulisan yg menarik.
BalasHapusReview nya jg keren.
sip, deh...
Cocok dgn kondisi bangsa yg bermental 'ayam kampung'...berani cuap2 pdhal no action yg berarti.
Siip, akhirnya Anazkia muncul lagi. Merenung sampai mati ya, judul khas Prie GS. Kapan-kapan saya cari ah bukunya. Yah...dalam pikiran saya, merenung (kontemplasi) adalah pekerjaan sepanjang hayat. Sebagaimana pepatah bijak para orang tua kita, pikir itu pelita hati. Dan supaya pemikiran jadi matang biasanya dilalui dengan perenungan.
BalasHapusAss...
BalasHapusthanks resensinya Mbak, semoga suatu saat nanti come across ketika ada bookfair lagi (jogja sering banget)...
Wass...
review buku mbak anaz. kayaknya buku yang bagus nih. eh, lebaran di mana mbak? apa nggak balik ke Indonesia??
BalasHapusSepertinya buku yang sangat menarik tuh...
BalasHapusjadi penasaran ....mau nyari dulu akh..
nice sharing
Halo Mbak Ana...
BalasHapusKembali ke blogosphere denga review keren neh...
Menarik bukunya mbak.... coba ntar tak cari ke gramedia...
wah,, keren bukunya... aku juga suka heran tuh mbak... jelas2 ada jembatan penyebrangan yg lebih aman,, tp yah kok masih nekat aja nyebrang di jalanan...
BalasHapussentilan tentang itu bener-bener mengena... top!!
hi mbak pha kabar? bagus ya buku nya
BalasHapusMantabb dah naz reviewnya....
BalasHapusassalamualaikum,
BalasHapuswah..sy belum pernah baca buku tersebut mbak an,
mau nyari ah..tertarik banget nih
wassalam
apa kabar mba ?
BalasHapusakhirnya mba ana posting juga nih,bagus bgt ulasannya mba... ^_^
judulny juga bgs y mba...mengelitik untuk dibaca,merenung sampai mati.
judulnya saja sudah menarik.
kapan kita ketawa bareng2 lg mba ? hehe...
Sepertinya itu buku yang bagus mbak... Mencoba menceritakan kondisi Indonesia dengan sudut pandang yang berbeda ya?
BalasHapusMakasih udah sharing mbak...
Tetap semangat utk menulis ya... jangan hiatus lagi !!
Buku yang menarik.. :)
BalasHapusmuantaaabb.... leh pinjem ga ya??? :)
BalasHapusPrie GS itu dulu murid Begawan Blog http://marsudiyanto.info/ lho
BalasHapusMelihat gurunya yg ajaib begitu...tak heran salah satu muridnya ada yg jadi seniman kondang :D
Horee saya belum baca bukunya, terima kasih reviewnya.
BalasHapusBenar mas Prie GS memang muridnya pak Mars, pada saat pelajaran matematika suka nggambar kartun.
Anaa...kami datang bawa award buatmu. Diambil yah!
BalasHapusSALAM,
BalasHapusTerima kasih kerana sudi berkunjung ke blog SigapSiaga dan menjadi penjenguk. Semoga Sdr terus sihat supaya dapat kita sama-sama berkongsi idea dan pengetahuan.
Selamat berpuasa.
kalau aku yg baca esainya, halaman pertama tertarik,halaman kedua buku ditutup, ga suka baca esai sih.hiii
BalasHapusMakanya kalau mau tidur ndengerin ceramah atau khotbah.... langsung deh tidur
BalasHapusTapi sekarang banyak kok penceramah yang sudah menggunakan berbagai metode dalam penyampainnya sehingga tidak mboseni
kalau data saya nggak punya, coba di google
wah sptnya buku yg agak serius ya naz soalnya judulnya aja merenung smp mati heheh...
BalasHapusttg kebobrokan pemerintah?? hhfff....keknya udh biasa itu mah...bny kok di blog n dikoran jg hihihi...
review lagi nih ya.
BalasHapusmampir siang anaz......sukses selalu ya...
BalasHapuskayaknyabagus nih bukunya... kalo pinjem boleh ga?
BalasHapusbukunya bagus banget mbak... apalagi ulasannya... salam kasih ya mbak...
BalasHapusBagus Sekali Bukunya....
BalasHapusMau Cari ahhh.
@ Tisti Rasbani :
Gak setuju Deh....
Banyak dari kita Kaum KAKI LIMA lebih dan Sangat berani berbuat.
Kadang dengan NYAWA-pun kami siap lakukan.
Untuk hiduppun kami selalu lakukan itu walau kadang Melawan HUKUM ( katanya ).
Untuk CUAP-CUAP,
Entah di BLOG,
Entah di Jalan,
Entah dimanapun itu adalah Ungkapan batin.
Agar Lega hati ini,
dan Paling tidak Sadar mereka yang tak TAHU DIRI.
Kayaknya Pas kalimat Mbak Tisti dialamatkan kepada PARA PENGUASA.
BUKAN pada BANGSA INI.
@wah, mbak ini suka baca buku ya???
BalasHapusKalau saya sih suka baca e-book*soalnya gratisan.
Ngejawab pertanyaan mbak nih,:
Saya belum kuliah, tetapi masih nyantri dipondok pesantren. 6 bulan lagi Insya Allah saya akan lulus dari sana setelah belajar disana 7 tahun, saya akan lulus.
Jadi, sekarang saya masih bingung memutuskan mana yang akan saya pilih.
entah kenapa saya sekarang memikirkan masa depan sendiri....
Kunjungan pertama.....
BalasHapusRenungan....
kita memang harus merunug,tanpa disadari bnyk kesempatan yg kita lewatkan!
Selalu saja kuduk ini merinding setiap membaca tentang kematian. Kita gak tau kapan kita akan dipanggil, entah itu hari ini, entah itu esok, entah itu nanti hanya Alloh yg tau. dan yg pasti saat itu pasti akan datang. Ya Alloh.... panjangkanlah usiaku agar aku sempat memohon ampun atas dosa-dosaku, amin
BalasHapusSangat inspiratif dan salam untuk Prie GS.
BalasHapusThanks sudah berkunjung ke Tempat pakde, ini kunjungan balik nya... semoga berkenan ya... keep blogging & tetap semangat ngeblog!
dari judulnya saja udah serem..eeh setelah dibaca beda banget sama judulnya yaa meski radak-radak ngeri ceeh karena mengingatkan aku pada kejadian-kejadian yang menimpa bangsa ini :((
BalasHapusMalam Anaz...maab baru mampir...:)
BalasHapusreviewnya gud mbak...^_^
BalasHapusMaaf baru bisa mengunjungimu lagi, Naz....
BalasHapus@ Arie:
Makasih mas, sdh di ingatkan...
penguasa yg mas maksud juga bagian dr bangsa ini kan??..
Mas, kebenaran tak akan pernah lahir dari tindakan emosional. Maaf bukan mau sok menggurui; tp yg saya tahu, kebenaran akan datang dari kearifan.
Silahkan bercuap2 di manapun krn ini adalah negara (yg sdg belajar) berdemokrasi.
Sukur2 dgn bercuap2 itu bisa 'mengalahkan' penguasa dan menjadikan negara ini lebih baik dan lebih baik lagi....
buku yang sangat menarik tuh...
BalasHapusPagi mbak Anazz...
BalasHapusKayaknya aku belom baca nih buku....
BalasHapusPadahal di rumah temen ada....
kayaknya menarik nih...
siang mba....
BalasHapusbagi saya, membaca utk menulis itu agak repot (atau mungkin krn belum biasa kali ya??)
karena kita harus betul2 paham isi buku tersebut (bedah buku), sebelum akhirnya kita tulis ulang rangkuman isinya.
good move mba... tetap semangat ya...
Siang mbak....berkunjung....^_^
BalasHapusSiang Naz...:)
BalasHapusAnaaa, aku datang ... hehe ...
BalasHapusManusia memang harus selalu diingatkan tentang dirinya sendiri lewat cerita-cerita orang lain, sebab sebenarnya cerita itu bisa jadi gambaran diri kita. Buku itu sepertinya mengisahkan orang lain, realita sekitar kita, namun sejatinya kita adalah bagian darinya. Mari bercermin ...
Trims, Ana, sudah berbagi.
Udah Abis berapa Kilo Gulanya Nduk ?
BalasHapusTamunya banyak bener.....
>>Mbak Tisti,
Betul tuh Mbak.
Insya Allah mau belajar Arif, agar Cuap-cuapun lebih Bijak yang di Cuap-cuapin.
ow... dikau jadi proofreader ya? good good
BalasHapusSelamat sore. Apa kabar?.
BalasHapusPersonal blog, kadang anti sama spammer yang hanya menyebar link. Lebih mengutamakan pertemanan antarpersonal. Komentar kembali dimoderasi masih banyak obat-obatan yang nyepam :D :P