Catatan Anazkia

Karena hanya tulisan yang bisa saya tinggalkan

  • beranda
  • Kisah
    • Serial
    • Cerpen
    • Celoteh
    • Reportase
    • Perjalanan
      • Gaya Travel
      • Trip Gratisan
      • Piknik Buku
  • Pojok Anaz
  • Murai
  • Sosok
  • komunitas
    • Volunteer
    • KBO
    • Semestarian
    • Blogger Hibah Buku
Alhamdulilah, dengan segala kekurangannya Konfrens klub buku online pertama telah terwujud. Terimakasih kepada, mbak fanda, Shinta, Khoiron, Inul, Paringin_coey, Prof Ijo juga mas Trimatra yang telah mendukung dan ikutan konfrens. Meskipun tiba-tiba Prof dan mas Trimatra menghilang (kayaknya mati lampu deh...) Dan untuk resum konfrens, silakan buka blognya mbak Fanda. Lengkap tercatat di sana, tanpa edit :). Makasih buat mbak Fanda yang sudah susah2 memposting. Mungkin, masih banyak yang tertanya-tanya, apa sih klub buku online?. Klub Buku Online, sebuah kumpulan para pencinta buku. Dimana kita menetapkan satu judul buku yang sama tiap bulannya untuk di baca dan kemudian di bahas bersama-sama. Ide ini tidak orisinil untuk beberapa negara, misalnya, Jepang dan Amerika. Hanya saja, untuk yang online, memang jarang sekali kemungkinannya. menjadi tantangan besar, ketika terkadang kita tidak memiliki hobi yang sama dalam satu buku. Di sinilah, kepekaan dan kepedulian di tuntut. Semoga untuk bulan depan, acaranya semakin berjalan lancar.
Resume telah di buat oleh mbak Fanda. Dan saya, kebagian mereview bukunya. Sungguh cobaan, sejujurnya, saya tidak pernah mereview buku. Mbak, saya pending dulu yah...??? Karena, saya harus baca lagi bukunya. Syukur-syukur tidak sampai 25 jam :D ngarep banget nih... Dan untuk bulan kedua, mbak Fanda, lagi-lagi menjatuhkan penanggung jawab kepada saya. (Waktu bulan pertama, saya minta sendiri dan menawarkan diri hehehe... gak tahu malu) Padahal, khan bisa di tuker tuh... Tak mengapa, semoga ia bisa menjadi sarana bagi saya untuk terus belajar. Penanggung jawab bertugas menentukan buku dan jadwal konfrensi. Meskipun penanggung jawab, saya tidak otoriter untuk menetapkan sebuah buku. Biasanya, saya akan memposting beberapa judul buku. Seperti bulan pertama, saya menawarkan empat judul buku lihat di sini. Dan The Girl Of Riyadhlah yag di pilih oelh teman-teman. Kenapa memilih buku itu?, alesan beberapa sahabat, karena ada e-booknya. Almaklumlah, tidak semua kita berada di Indonesia. terutama, jeng Sri. Mungkin akan susah mencari buku-buku terbitan kampung halaman sendiri. Dan untuk bulan ke dua, ada dua penawaran buku dari mbak fanda dan jengSri, bukunya ialah, Laskar pelangi (Andrea Hirata) dan Kembang Jepun (Emy Sylado) sungguh penawaran yang sangat berat. Kedua-duanya bagus menurut saya. Karya para sastrawan. Kembali kepada teman-teman. Adakah ide lain, selain dua judul ini? (kalau ada yang lain, cepet-cepet kasih info yah? mau nitip soalnya, minggu depan ada yang mo ke Kuala Lumpur) jadi, gak usah di posin deh... :) mau yang gartisan sampenya...
Halah, ternyata, sungguh keren ketika di sandingkan. Gimana kalau kita baca dua buku untuk bulan kedua? maruks.com. tapi yang di bahas satu aja :). Nah, kalau aye malah ada beberapa piliha nih.. silakan, di pilih.. di pilih.. di pilih...
Duh, segala yang di lakukan dengan tergesa-gesa ianya tidak menjadi apa. Bahkan sia-sia. Ketika posting konfrensi KBO, aku buru-buru berkejaran dengan pekerjaan lain. Maka itulah hasilnya yang kemarin siang. Kacau balau, mohon maaf teman-teman. Banyak sekali keslahan dan kerancuan di sana. Menentukan jadwal, tapi tidak ada waktu. Astagfirullah... Ralat untuk semuanya, konfrensi di adakan pada tanggal 27 Juni 2009 jam 20-22WIB. Dan untuk idnya, karena sesuatu dan lain hal, saya tukar dengan id sekarlangit01@yahoo.com. Yang sudah add idku, nanti aku add semula. Adapun sesiapa yang hendak mengikutinya, di persilakan. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau membaca bukunya :), biar nyambung githu :). Tidak membaca juga tidak mengapa, jadi penonton dan pembaca yang baik :)
Sampai saat ini, berapa banyak orang yang konfrensi belum di ketahui. Jeng Sri, tidak bisa mengikutinya. Beliau terbang ke London (jadi pengen ikut...). Mohon maaf semuanya, ini permulaan buatku jadi, mohon kiranya untuk saling berbagi dan mengomentari. Mana yang layak dan tidak layak. Dan bagaimana baiknya. Alah mangantuak aden... Sudah dulu yah.. mo tidur, biar cepet bangun Mo nyiapin makanan tuk esok waktu konfrensi hehehe...
Tanpa sadar, waktu bergulir dengan sangat cepatnya. Pejam celik, pejam celik esok sudah tanggal 28 Juni. Artinya, besok confrence pertama kalinya untuk Klub Buku Online. Begitu cepatnya waktu bergulir. Serasa makin tua jadinya, ko gak nyambung yah...??? :) Kembali ke confrence, aku tidak tahu pasti berapa banyak yang akan ikut. Sampai saat ini, yang ku tahu ada beberapa nama yaitu, aku, Jeng Sri, mbak Irma, Mbak Quini, Mbak Fanda, Shinta dan Henny. Selebihnya, belum ada info lagi. Bukunya tidak lupa khan? The Girl Of Riyadh, karya Raja Alsaneea, penerbit Ufuk Press publishing. Buat yang mau ikutan confrence juga di persilakan, selagi memenuhi syarat-syarat dan peraturannya (jiah, sok amat yaks si ana...???)
Untuk sementara, susunan keanggotaan KBO adalah sebagai berikut. Klub Buku Online pertama, penanggung jawab, Anazkia(karena yang mengusulkan yah harus bertanggung jawab, bukannya haus jabatan hehehe...) Moderator untuk confrence pertama, mbak Fanda. Dan anggotanya adalah, Jeng Sri, Mbak Quini, Mbak Irma, Shinta dan Henny (Coey Paringin dan mas Trimatra lum konfirmasi). Kalau ada yang sudah membaca bukunya dan aku tak tahu orangnya, silakan segera konfirmasi, Supaya segera add yahoo messengerku. Untuk tata cara confrence ada beberapa yang harus di ingat, bahwa, ini adalah diskusi sebuah buku. Bagaimana menggambarkan kekurangan dan kelebihan sebuah buku. dari segi penulisan, gaya bahasa, karakter tokoh dan lainnya. Tidak resmi sangat biar gak ada kekakuan. Seperti biasa kita ngobrol, hanya ini membahas sebuah buku. Dan tugas moderator seperti biasa, untuk memberikan jalan tengah kepada para diskusiwan (wekekeke... ngaco.com). kepada semuanya, di mohon untu katif memberikan pertanyaan dan juga jawaban. Untuk penanya, supaya tidak lupa mengacungkan tangannya (eh, tapi gak kelihatan yah...??? hehehe) karena memalui YM yah kita hanya bisa memberikan tanda tanya (?), setelah moderator menyilakan, silakan lontarkan pertanyaan teman2. Kemudian, untuk yang menjawabnya pun harus kembali mengacungkan tangan (lagi2 gak kelihatan) jadi, teman-teman, silakan memberikan tanda seru (!) untuk menjawab pertanyaan. Untuk pertama kali, mungkin agak kaku. Wong aku sendiri juga belum ada pengalaman. Kecuali, ikut sekolah menulis online dulu, lebih kurang caranya seperti ini. Hanya saja, yang banyak berbicara dan memberikan jawaban adalah sang mentor. Nah kalau di Klub Buku Online, semua berhak memberikan jawaban dan menjawab soalan. tentunya, setelah moderator mengijinkan. faham gak sama penjelasan aku...??? kalau gak...?? duh... kesian deh aye... :) Btw, nyantai-nyantai aja untuk confrence esok. Anggaplah kita chating biasa Okeh prend! :) maksa.com. Untuk temen-temen tang belum add idku, inilah id ymku, silakan add, anazkia@yahoo.com. Semoga esok berjalan lancar. Insya Allah... Oh ya, jangan lupa, sekalian tolong kasih ide untuk KBO buku, untuk bulan ke dua. Mbak Fanda dah usul, aku setuju2 aja. Gimana dengan teman-teman...??? Ini dulu kali yah infonya...?? Kepada para suporter, pak Iwan, Mbak reni dan mbak Elly, mohon doanya. :) Penggalangan dana tuh apa yah...??? Hmmm... aku ragu untuk mengatakannya. Tapi, sungguh aku rasa terkilan ketika aku begitu lambat mengupdate berita ini. Aku, alumni kelas menulis Rumah Dunia (meskipun ketika di sana, tak satupun tugas yang aku buat apapun dan satupun!) Tapi, aku tetap mengaku bahwa di sana aku di ajar mengenal dunia kata dan dunia baca yang lebih luas maknanya.Banyak baca, banyak tahu. Banyak tahu, jangan sok tahu. Itulah yang selalu kutanam dalam benakku. Rumah Dunia kini membutuhkan tangan-tangan orang yang peduli. Untuk lengkapnya, silakan klik disini. Niat untuk menyumbang, memang sudah ada, meskipun hanya beberapa meter saja. tapi, alangkah indahnya ketika aku dan temen-temen KBO patungan untuk menyumbang dan di atas namakan Klub Buku Online. kalau ada yang hendak menyumbangkan perorangan pun dengan senang hati. Silakan menghubungi Rumah Dunia. karena sesiapa yang menyumbang untuk pembebasan tanah di Rumah Dunia akan tertulis namanya di sana. Indah, ketika aku membayangkan, kita yang tak pernah bertemu, bersapa, bertutur kata tapi, tercantum nama untuk saham akhirat. Ah, inikah mimpi...??? Aku takberharap banyak. Mungkin, ketika kita menyumbangkan Rp. 50.000/orang 5 orang sudah mendapatkan 1M. Harga 1M tanah adalah Rp. 250.00. Aku gak maksa lho... Dah dulu kali yah... aye gi nyuci baju sambil gosok (lah ko ini bisa ngenet...???) aye tinggalin hehehe...
Jika jari jemari ini tak mampu lagi menulis Jika tangan ini tak sanggup lagi merangakai cerita demi cerita Yakinlah, Bahwa hati ini masih menulis kata Merangkai cerita dalam untaian doa Di saat aku merasa menjadi serunai fakir Tiba-tiba, sahabat datang bergulir Sehingga sang fakir merasa dirinya sangat tajir Karena ramainya sahabat yang peduli juga tajir berbagi Noraks abis hehehe... Aku di kerjain Ferdi, sekalian majang award. dari berbagai sahabat
PR 1 What is your current obsession? = nabung buat pergi Umroh What is your weirdest obsession? = be a teacher What are you wearing today? = Baju lengan panjang, ama rok baju kurung, kontras gak nyambung hehehe What’s for dinner today? = Nasi goerang kampung, ikan masak lemak chili api dll lah... Why is today special? = Karena hari ini satu rejab dan alhamdulilah ane puasa What would you like to learn to do? = Jurnalistik dan desain grafis (wekekeke... kagak kesampaian) What’s the last thing you bought? = Air tebu (segerrrrr...) What are you listening to right now? = Aye dengerin adik nonek nyanyi... (Huhuhu... gak usah beli MP) What is your favorite weather? = Rinai-rinai hujan dan senja kala What is your most challenging goal right now? = Nulis buku What do you think about the person who tagged you? = Ganteng (wekekeke...) jaim, narsis, baik hati dan tidak sombong tapi, aye kagak suka dia ngomong loe gue. Heheheh... If you could have a house totally paid for, fully furnished anywhere in the world, where would you like it to be? = Kampung halaman, Pemalang. pengen bikin perpus What would you like to have in your hands right now? = Duits untuk beli BB (matre mode on) What would you like to get rid of? = Yahudi If you could go anywhere in the world for the next hour, where would you go? = Mekah dan kota-kota di Indonesia Which language do you want to learn? = Arab, English,dll What do you look for in a friend? = Persahabatnnya dan sebanyak mana ia punya buku (gaks nyambung) Who do you want to meet in person? = Orang yang ingin aye ketemu tapi, aye kagak mau menemuinya What’s your favorite type of music? = pop, classic, nasyid. n yang enak aja di halwa telinga What’s the favorite piece of clothing in your own closet? = Baju kurung warna ungu (wekekeke... warna janda) Any favorite models? = Apa-apa aje... If you had £100 now what would you spend it on? = Ada deh, mau tau ajah... Favorite designer? = Kagak ade, aye jarang jahit baju Fashion pet peeve? = Embuh... Do you admire anyone’s style? = no one Describe your personal style = Biasa aja tuh, gak neko-neko PR 2 1. Punya handphone? = Ada dapet minjem 2. Merk + tipe handphone? = Vertu 3. Warna/gambar theme yang lagi dipakai sekarang? = Hitam 4. Wallpaper? = Hitam 5. Warna casing? = Silver+pink 6. Aplikasi/folder yang pertama keliatan begitu tekan tombol 'menu'? = messege 7. Bahasa yang digunakan di handphone? = Inggris 8. Kapasitas baterai saat ini? = Full 9. Pakai slot memory? Jenis? = Pakai, kagak tau, kagak buka 10. Total kapasitas slot memori? Sisa kapasitas yang belum terpakai saat ini? = 505K/319 11. Choice: Banyak terisi untuk apa memorinya?(A) Foto (B) Video (C) Musik (D) Lain-lain? = Tak satupun 12. Ada fitur koneksi Bluetooth? = ada 13. Nama Bluetooth kamu saat ini? = Gak pernah di pake (gaptek mode on) hehehe... 14. Aplikasi yang paling sering kamu gunakan? = semees aje... 15. Sisa pulsamu saat ini? = Tekan *122# hasilnya, hanya ada RM1,8 wis kere.com 16. Provider seluler yang kamu pake? = Maxis 17. Nomer handphone? = +6012350... PR 3 : FOUR NAMES THAT FRIENDS CALL YOU: = Eli, Ana, Anaz, Yuli FOUR MOST IMPORTANT DATES IN YOUR LIFE: = 13 Agustus, 11 desember, Mei, semua hari bermakna untuk aye FOUR THINGS YOU'VE DONE IN THE LAST 30 MINUTES: = Makan, minum, Nyuci piring, shalat dll FOUR WAYS TO BE HAPPY: = senyum, bersedekah, jalan-jalan buat beli buku, kelaut, lihat senja FOUR PEOPLE YOU MISS FROM YOUR PAST: = Alm babe aye, emak aye, nenek aye, budhe aye FOUR GIFTS YOU WOULD LIKE TO RECEIVE : = Buku, tiket umroh gratis, baju lebaran, sendal jepit FOUR OF YOUR FAVORITE HOBBIES (CURRENTLY): = Baca, kalau rajin, nulis kalau ada deatline, ikutan kursus jurnalistik kalau ada duit, Ikutan nulis skenario kalau ada yang ngajak hehehe... FOUR PLACES YOU WANT TO GO FOR VACATION: = mekah, negara asia tengah, Eropa dan kota2 Indonesia... FOUR FAVORITE DRINKS: = air putih, air tebu, air milo, air teh FOUR THINGS ALWAYS FOUND IN YOUR BAG: = Buku, pena, hape, permen FOUR FAVORITE COLORS: = biru, hitam, putih, ungu TOP FOUR HANGOUTS: = Kamar aye, laut atuh, warnet kalau di kampung, toko buku TOP FOUR YOU LOVE SO MUCH: = Punya buku yang banyak, punya kamera yang keren, dlllah... TOP FOUR ASIAN ACTORS: = gak tahu... FOUR "THINGS" SPECIAL TO YOU: = Buku, laptop, hape, bacpack FOUR FAVOURITE "UNUSUAL" SONGS: = gak tahu FOUR EVENTS YOU WILL NEVER FORGET: = Apa yah...??? FOUR THINGS YOU OFTEN DID WHEN YOU WERE A KID: = Manjat pohon, menyusuri sungai, nyari kayu, mancing tapi, gak pernah dapet ikan TOP FIVE WHO YOU WANT TO ANSWER THIS SURVEY: = Duh pengennya sih Shinta, mbak Fanda, Arief hadeye, Mbak Reni, sama Dwina kalau gak mau gak apa-apa, makannya aye kagak link TOP FOUR REASONS WHY YOU ANSWERED THIS SURVEY: = Terpaksa, dengan berat hati, menjaga persahabatan, belajar amanah (jiah, noraks) Inilah beberapa award yang kudapat dari Arief Hadeye, Ferdi, mbak Reni, Black_id dan mbak Fanda. Makasih banyak.
Aku laksana seumpama Serunai fakir yang tiada nada Aku ibarat bagai Serunai fakir yang tidak berbunyi Sahabat, tahukah penyakit orang miskin yang paling miskin...??? Selalunya, orang miskin akan selalu minder. Orang miskin mudah sekali tersinggungan. Atau malah, tukang ngambekan. Bisa yah bisa gak...??? Dan aku, sering mengalami penyakit miskinku. Sama sekali gak nyambung khan...?? Pengen curhat aja sebenernya...
Satu yang bilang, mulanya aku biasa aja. Beberapa yang berkata, aku mulai memikirkannya. Banyak yang berucap, aku jadi tertekan karenanya. Ah, julukan ngambek, senditiv, sensi atau apapun aku kadang sering mendapatkannya. Aku kebal karenanya karena aku memang merasakannya. Sejak kecil, aku selalu mendapat gelaran2 tersebut. Dah dewasa, susah merubahnya. Apapun, dua hari terakhir, aku begitu mudahnya ngambek, aku begitu senangnya merajuk tanpa ku rubah untuk memujuk. Jum'at malam, aku sedikit kecewa dengan seorang sahabat. Sekedar bertanya, untuk ku dapat infonya dia tak memberikannya. Sedikit rajukku, tak ku pujuk untuk redaku. Maka, terendaplah ia... Sabtu sore, lebih mengesalkan. Kini tak lagi aku merajuk bahkan ia menjadi amarah di seliti dendam. Duh Gusti, kenapa aku begitu emosi. Sederhana, dari sebuah obrolan, ia malah menjadi rentetan kemarahan. Aku kesal sama dia... sedikit obrolannya... Sebutlah nama penulis ini Bejo. Duh, maaf mba Elly :) Aku: Assalamu'alaikum.. sibuk gak mbak mo tanya novel. Bejo simpan gak beberapa novel lama2 yang ada di situ? (Di luar negeri, nun jauh di sana... bukan Indonesia tentunya) Bejo: Ada. Yang novel dulu itu (di sebutlah judul novelnya) Aku: Lainnya? Bejo: Beli donk mbak masa minta (duh Gusti... saya langsung emosi. Aku tanya novelnya... ko malah kesitu). Aku: Beli gak masalah. Waduh Jo, mbak nanya lho, bukan minta. Wah, jadi tersinggung nih. Mba masih bisa beli ko. Ok lah gpp. Assalamu'alaikum Bejo: Alaikum salam. Kalau ada kenapa mbak? (tiba2 dia nanya balik, aku yang meredam emosi malah tambah naik tensinya) Aku: Tahu gak Jo, buat pembaca arti novel dari penulisnya kadang lebih berarti. Apalagi kalau dengan tanda tangannya. Gak usahlah (aku mulai ngambek plus marah, emosi) Bejo: Ya dah nanti aku tanda tangan. Aku: Anyway saya masih bisa beli sendiri (emosi itu benar2 wujud, aku jarang ngomong saya atau mengakukan diri dengan dia. Kecuali gi marah) Bejo: Tapi khan aku mahasiswa. Bukan kerja aja. (Nah lho... mulai ngelantur, masing2 emosi) Aku: Saya tahu. Bejo: Butuh duit juga. Aku: Demi Allah saya gak mau minta. Dah ah, kadang mba merasa Bejo tuh sombong. Gak butuh pembaca kayak saya... Robi... betapa kecewa dan kesalnya perasaanku saat itu. Entah kenapa aku begitu marah dan senewen. Akhir kalimatku sebuah penyakit lamaku. Penyakit minder... Sahabat... patutkah aku marah dengan penulis tersebut. Melihat karirnya tak sepantasnya dia berkata seperti itu. Apalagi, melihat genre kepenulisannya. Mau saja aku menyebutkan namanya, dan novelnya yang sedang meroket. (aku jadi keinget ama mbak Fanny yang baik hati mo ngirimin majalah2 yang berisi cerpen2nya. Tapi, aku tak akan sebodoh itu. Siapa tahu, nanti aku jadi penulis juga wekekeke... Setelahnya, aku bener-bener di rudung duka dan kecewa. Aku jadi malas ke rumah sodara ibu majikanku. Padahal, ahad ada sedikit hajatan di sana. dan aku di minta membantunya. Maka, merengutlah aku kepada ibu. "Bu, Ana malaslah nak pegi..." Tapi, majikanku bilang, "pergilah, tolong sikit-sikit." Mukaku, berlipat-lipat. Meskipun begitu, aku berniat pergi juga. Setelah magrib ibu dah siap dan kekamarku aku, masih membaca Kalam. Aku ingat, ibu akan menungguku. Rupanya, di tinggalnya aku. Duh Gusti... ancur lebur perasaanku. Dah sore2 tadi merajuk gara-gara Bejo, ini tambah lagi. Maka, kembali aku ngambek. Nekat, aku mau saja pergi sendiri. Semua dah siap dalam tas, sebelum keluar, rupanya Nini mau keluar juga. AKhirnya, nebenglah aku dan di hantar sampai ke rumahnya mak cik. Dan aku, kembali merajuk dengan ibu. Malamnya... terfikir-fikir, terkenang-kenang. Betapa mudahnya aku ngambek... Jadi terngiang-ngiang... Aku laksana seumpama Serunai fakir yang begitu fakir Hingga tak lagi mampu untuk berfikir Aku ibarat bagai Jasad tak bernama Raga tak bernyawa Aku laksana seumpama Serunai fakir... Tanpa nada tiada melodi
Rabu, minggu lalu. Aku di kejutkan dengan sebuah mobil pengiriman barang. tatkala kurir turun dan menanyakan nama si penerima, aku sungguh terkejut luar biasa. namaku di carinya, padahal, suer deh! sepucuk suratpun tak pernah datang menyinggahiku selama berada di rantau orang (eh, pernah ndink, surat dari PPLN KBRI, buat ikutan pemilu)Buru-buru aku bertanya, dari mana asal muasal pengirimnya. Terkejut beruk sewaktu sang kurir berkata bahwa barang itu dari Singapura.

Mohon maaf teman, beberapa hari ini tak dapat ku bertandang ke rumah sahabat, tidak bisa juga aku menyapa sahabat. Kemalasan itu berlanjut, kalau beberapa hari yang lalu hanya malas posting kini, membuka blog pun tidak bahkan, sempat dua hari aku tak berkeliaran di dunia maya juga tak membuka internet. Sungguh ajaib! Tahukah sahabat apa yang telah merasukiku...??? Ah, rasanya sulit untuk di jawab. Tapi, aku bena-benar merasakannya. Cinta. Yah, cinta. Dua hari kemarin aku di lamun cinta. Cinta dalam dunia kata. Sulit ku ceritakan perasaan itu. Semua bermula ketika seminggu yang lalu aku mendapat bingkisan dari negeri tercinta Indonesia. Sebuah bingkisan dari seorang sahabat.
Tapi, posting kali ini aku tak mau menceritakan kisah seruku selama dua hari. Aku juga tak mau menceritakannya kali ini. Biarlah ia menjadi part two untuk postingan berikutnya. Aku mau bercerita tentang beberapa ward dari berbagai sahabat. Yang sudah lama ku pendam dan tersimpan. Award sebagai bentuk persahabatan. Pertama, adalah award dari mbak Fanda. Award yang keren ini, aku tahu berasal dari mbak Elly. Mbak Fanda, seorang pecinta buku. Awal sekali aku mengenali tulisannya tatkala ia merencanakan beberapa kertas kerja yang sudah tak terpakai lagi. Aku tahu, dari awal membaca tulisannya ia seorang pecinta buku. jadi, tak heran, saat itu, aku berharap mbak Fanda mau jadi sahabatku (ngarep.com)
Award ke dua, kudapatkan dari seorang santri di jawa Timur. Seorang sahabat yang sudah 3 kali memebrikan award kepadaku. Sungguh tak di nyana, dialah orang yang pertama kali memberikan aku award. Dan dialah, komentator terbanyak dalam blogku. makasih yah kang santri Dan awrad terakhir, ku dapatlan dari mbak Reni, seorang ibu rumah tangga juga wanita karir yang tak pernah berhenti belajar dan juga menulis sisi-sisi lain kehidupan. Aku bangga mengenalinya dan aku lebih merasa bangga ketika beliau mau menjalin persahabatn denganku. Begitu indah tatkala jalinan silaturahmi berbuah budi dan pekerti. Mengajari arti hidup, bahwa jarak, waktu dan tempat tak menghalang untuk tali ukhuwah. Begitu besar nikmat Allah ketika memberikan akal kepada manusia untuk menciptakan teknologi. Kembali kepada pemberian award. Rupanya, pemberian hadiah di dunia maya juga tak hanya berbentuk award. Akan halnya, kado yang di berikan oleh salah seorang sahabatku yang telah membuatku di lamun cinta, selam dua hari juga menjadikanku meninggalkan dunia maya selama dua hari. Agaknya, hadiah apakah yang di beri oleh seorang sahabat bloger kepadaku...??? To be continue to par two... :)
Aku menguap panjang, menggeliat meluruskan badan. Perasaan itu benar-benar ada dan wujud. Rasa itu benar-benar nyata. Tiba-tiba, aku di hinggapi rasa malas dan tak tahu hendak berbuat apa. Kisah Siti hajar membuatku berpanjang tanya, apa gerangan yang sebenenarnya melanda hukum-hukum tenaga kerja?. Befikir keras, membuatku semakin rasa tak waras. Artikel seorang alumni fakultas satera dan sains sosial ku buru dan ku baca. Tapi, aku belum juga mendapatkan kesimpulan yang nyata. Artikel sebanyak 32 halaman, dalam word ku baca sambil mencernanya, ku teliti sambil coba memahami. Sepertinya... Aku belum mampu mengambil kesimpulan. Keadaan Siti Hajar sudah semakin membaik. Sungguh wanita yang tegar aku rasa, berkat kesabarannya banyak keajaiban di dapatinya. ku buru beritanya di situs KBRI. Sungguh aku yakin bahwa setelah kesulitan. pasti ada kemudahan dan janji ALlah itu, pasti betul adanya. Tapi, adakah harus terantuk dulu baru tengadah...??? Sampai kapan kisah Siti Hajar, Nirmala Bonat dan lainnya akan menjadi sandiwara kehidupan. Tapi ini bukan skenario Tuhan, ini ulah tangan-tangan yang tak bisa di pertanggungjawabkan.
Kepedulian KBRI dan pemerintah pusat membuatku sedikit merasa tenang. Presiden yang tak segan-segan menelfon Siti Hajar membuktikan bahwa Siti Hajar tidak sendirian menghadapi dukanya. Masih banyak air mata yang telinang melihat nasibnya. Juga tak sedikit doa yang teruntai untuk di beri kesabaran untuknya. Ribuan doa dan simpati membuahkan rizki yang tak terperi-peri. Sungguh Allah memberikan kemudahan setelah kesusahan. Sumbangan dari berbagai pihak untuknya terus mengalir. Alhamdulilah ya Allah... Tuntutan gaji selama 34 bulan juga sedang di upayakan dan sebisa mungkin menyeret pelaku ke meja hijau dan di hukumi yang setimpal. Setiap kali melihat beritanya, ada kisi-kisi kesedihan tersimpan. Ada riak-riak duka terpendam. Akankah ini menjadi yang terakhir...??? Aku yakin, di ceruk meruk seluruh Malaysia dari sekitar 294.115 orang (data 2006) masih ada yang teraniaya baik fisik maupun mental. Keteledoran PJTKI mengirim pembantu muslim ke mayoritas orang-orang China juga patut di pertanyakan. Menurut artikel yang ku baca, dari sekian banyak tenaga kerja 70 persennya adalah bekerja dengan orang China. Bukan tidak mungkin, cerita seperti ini akan kembali terulang. Kembali kepada potret TKW, tidak semuanya di aniaya majiakan tak sedikit pula yang menganiaya diri sendiri dengan berlaku tidk terpuji. Wallahu'alam (Insya Allah akan ku tulis dalam posting lain) rakaman detik gambar ini ku ambil dari situs KBRI. Siti Hajar saat di telfon pak Presidan, sebelahnya ketika di temukan dengan kakaknya yang bawah sekali tatkala duta besar awal-awal sekali berkunjung menemuinya.
Senin lalu, setelah aku posting cerpen rupanya, mbak Fanny benar-benar bertandang ke rumah ku. Lebih ajaib lagi tatkala esok harinya mbak Fanny mengupas beberapa temen-temen bloger yang memiliki talent ke arah kepenulisan. Tak pelak, namaku pun di sebutnya. Ingin rasanya malam itu ku review balik tulisannya. Sekedar menunda menunggu waktu luang, ku redakan niat untuk mempostingnya. Dan berniat malam hari akan ku posting. Malam beranjak, rupanya beberapa kerjaan menyita waktuku. Sampailah niatku untuk membeli coklat sebagai hadiah sahabat pun belum tertunai. Mengandalkan sisa-sisa tenaga yang ada, malam itu aku pergi juga ke warung terdekat untuk membelinya. Selesai membeli coklat, mataku menyapu beberapa surat khabar yang berbaris rapi di bagian depan. Ada beberapa yang menarik perhatianku, sekilas aku melihat berita Manohara. Sering hatiku terusik cemburu tatkala beritanya beredar di berbagai media. Cemburu karena beritanya mengalahkan isu dari segala isu yang perlu. Beranjak ke sebelahnya, lemah lunglai aku melihat halaman depan surat khabar metro hari Selasa. Tak berfikir panjang, aku langsung menyambarnya dan membayar untuk segera ku bawa pulang. Dalam perjalanan, meskipun aku belum membaca penuh cerita itu tangisku sudah setia menunggu. Air mataku pun sudah jatuh satu persatu. Beruntung ketika gelap, tiadalah sesiapa yang melihatku sekarat dalam duka. Duka karena kecewa, duka dalam luka. Allah, cobaan apalagi yang Engkau berikan kepada hamba-Mu...??? Sungguh pilu, piluku benar-benar tak berlagu. Berangkai pertanyaan ku buat tapi ia buntu sesaat tak terjawab. Semakin ku percepat langkah ingin segera sampai ke rumah. Membereskan segala yang ada juga mengisi perut yang sejak siang lagi tak terisi apa (kebiasaan buruk sering gak makan, bukan gak ada tapi, emang dah biasa).
Buru-buru ku siapkan pekerjaan rumah. Ingin segera masuk bilik, menyelesaikan kewajibanku kepada-Nya setelah itu, baru membuka surat khabar yang ku beli. Ya Allah... betul-betul menyedihkan. Judulnya cukup panjang, "Di dera majikan hampir setiap hari 3 tahun dalam neraka." Robbi, aku sungguh terluka melihat gambarnya. Seorang wanita dengan memar di seluruh tubuh, dengan lecur di seluruh muka. Allah, dugaan apakah ini. Adakah ini nasib kawan-kawan seprofesiku...??? Sungguh klise, ketika jawabannya adalah, "Ya" dia adalah seorang pembantu yang teraniaya. Ingin sekali ku posting segera cerita itu. tapi, keberanianku tiba-tiba membeku dan Tangan ku pun serasa kelu. Satu demi satu, ketika butir-butir duka mengalir tanpa ku pinta kembali tanya menggelayut seluruh raga. Duhai Allah, adakah sama nasib sang pembantu dengan Manohara...??? Aku kembali di selubungi pilu. Kisah seorang janda berusia 33 tahun, sungguh tragis nasibnya. 3 tahun bekerja di negara orang tapi, hanya duka dan dera yang di dapatinya. Siti Hajar namanya, hampir setiap hari mengalami penderitaan di dera majikannya. Dia di berlakukan bagai abdi, setiap hari juga dia hanya di beri makan nasi kosong. Lebih memualkan, jika Siti Hajar ingin menjamah lauk, dia hanya di beri daging babi oleh majikannya. Meskipun majikan tahu bahwa dia beragama Islam. Metro, selasa 9 Juni 2009. Sungguh aku tertanya-tanya, kenapa begitu lamanya ia di dera? Jawaban, prasangka dan tetek bengeknya berkecamuk di kepalaku. Ah, andaikan ada wadah khusus untuk pembantu rumah tangga di Malaysia, tentunya, tidak akan ada kisah lara ini. Kalaulah agen lebih berhati-hati meletakan pembantu kerja di tempatnya pastilah tiada cerita seperti ini. Tapi, semua sudah terjadi, sang Siti hajar lainnya pun belum di ketahui nasib semuanya. Meskipun aku yakin, tak semua teraniaya. (buktinya, aku masih bisa menulis ini) Siti Hajar berhasil meloloskan diri pada jam 1 dini hari pagi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana susahnya Ia melarikan diri. Tinggal di sebuah Kondominium, Mount Kiara Damansara yang lumayan jauh dari Kedutaan KBRI di Kuala Lumpur. Beruntung, tatkala ia menemukan sopir taksi yang baik budinya. Sang penyelamat menghantarkannya ke KBRI. Padahal, Siti Hajar tak memiliki uang sesenpun. Semakin terguris hatiku, kemana hak gajinya selama ini...??? Rupanya, sang majikan selain menderanya juga tak membayar gajianya. Ah, andaikan antara agen, mau memantaunya dengan baik. Aku tak akan mengeluh di sini. Senin pagi, Siti hajar berhasil melepaskan diri dari cengkraman sang durjana, membawa diri dan mencari pembelaan diri di KBRI. Dan sang durjana pun sudah di bekuk petugas kepolisian untuk di tahan di minat keterangannya. nasib Siti Hajar lebih tragis berbamding Nirmala Bonat. Bukan bermaksud raisal, sepertinya, kebanyakan pembantu yang di dera karena bekerja dengan seorang non Melayu. Padahal, dalam akta perjanjian pengambilan pembantu, sudah nyata-nyata tertulis bahwa majikan pun harus menghormati kepercayaan agama pembantunya. Kutulis tajuk "Indonesia Setengah Tiang" karena aku merasa begitu duka dengan nasibnya. Juga, aku berfikir panjang sebelum menuliskan ini. takut terjadi kontroversi. Robi, ku tulis ini dengan jemari kecilku bahwa aku bukan mengadu domba sesiapa tapi, aku hanya berbagi dengan apa yang aku lihat. Wallahu'alam
Tatkala Mbak Fanny bertanya, "sudah dikirim blm cerpennya?" Saya terpaksa nyengir kuda, mengharap kata apa yang khan ku ucap kepada mbak Fanny...??? Hmmm... Mbak Fanny, saya ko yah gak ada keberanian untuk ngirim cerpen di majalah, nggak pede dotcom. Nah, hari ini, saya posting lagi sebuah cerpen. Sama juga seperti yang dulu, cerpen yang sudah ada dalam file document hanya saya tambah dan kurang sedikit. Ide ceritanya, masih sama seputar tenaga kerja. Kali ini, saya lebih menyoroti para TKI khususnya wanita yang rela menikah dengan orang tempatan meskipun tidak di daftarkan. Hal ini, juga terjadi sebaliknya di antara dua belah pihak, banyak juga para wanita tempatan yang menikah dengan orang-orang Indonesia dan nasibnya, tak jauh beda sengsaranya. Inilah ketika dua pertembungan kebudayaan di temukan. Ilmu, Iman dan amal sangatlah di tekankan dan seharusnya sudah menjadi pegangan dan bekal hidup di negara orang. (cie... cie...) Ana sok amat yaks...??? OK deh Sifu, tolong bantai cerpen saya. Teman-teman, mohon kritik dan sarannya.

Serpihan-Serpihan Kasih Oleh, Ana

Perasaanku campur aduk jadi satu, marah, geram, kesal juga kecewa dengan apa yang berlaku barusan. Kata-kata Azlin beberapa saat tadi betul-betul menohok hati dan jiwaku. Aku berjalan dengan rasa marah, tersimpan rasa dendam juga kebingungan. Apa yang ku jumpa serasa aku ingin murka dengannya, apa yang ku temu di jalan ku sepak dan ku tendang melampiaskan perasaan. Tidak peduli dengan segala cemoohan orang. Justeru amarah itu semakin meledak ketika aku mendengar segala caci maki yang ku dengar.

Rasanya, ingin saja ku ayunkan bogem kecil ini ke muka-muka mereka. Biar mereka bisa lihat, kalau aku ini ada dan tidak suka di berlakukan semena-mena. Sungguh malang nasibku. Lagi-lagi, aku menyalahkan nasib. Dan juga Ibuku, yah Ibuku. Ibukulah penyebab utama semua ini. Penyebab aku tidak di akui Negara, penyebab aku selalu di caci, penyebab aku tidak sekolah juga penyebab aku di jauhi oleh Azlina dan di hina oleh orang tuanya yang kaya raya.

Aku kembali mempercepat langkah untuk segera sampai ke rumah. Aku tidak lagi memperhatikan sekitarku, tak peduli lagi dengan apa yang ku jumpa tak juga menghiraukan orang yang menyapa. Aku ingin cepat sampai ke rumah dan melampiaskan amarahku pada ibu.

***

Bu Sirah terburu-buru keluar dari rumah Banglo Datuk Khalid Ridho. Entah mimpi apa semalam, hari ini dia begitu merasa menjadi hari yang terburuk dalam hidupnya. Meskipun hari-hari yang di laluinya selalu buruk tapi, entah kenapa penghinaan kali ini benar-benar merontokan semangat hidupnya.

“Kau jangan bermimpi nak berbesan dengan aku!. Kamu hanya pembantu di sini. Mulai hari ini, keluarga aku tak membutuhkan khidmat awak lagi!.”

Terang dan jelas kalimat-kalimat yang terkeluar dari mulut datuk Khalid. Sementara, Datin Rahimah hanya diam seribu bahasa. Keitka bu Sirah menyalaminya, di bawanya kedalam pelukannya. Terisak-isak dia memeluk bu Sirah. Airmata bu Sirah semakin tak tertahankan, jiwanya kembali bergoncang. Ingin sekali ia menghajar anak semata wayangnya. Mengingat semua itu, bu Sirah begitu tertekan. Irama kesedihan mengalunkan lagu-lagu pilu yang menggetarkan seluruh tubuh tuanya juga mengalirkan air mata. Kali ini, bu Sirah sudah tidak bisa lagi bersabar dengan anak semata wayangnya. Anak yang banyak memberikan cobaan juga selalu membawa kesengsaraan. Kesengsaraan selama hidupnya yang di tanggung sendiri. Kini, setelah besar pun anaknya selalu memberikan masalah.

Pikirannya melayang, entah apalagi yang harus di lakukannya nanti setelah tak bekerja lagi di rumah datuk Khalid Ridho. Datin Rahimah Karim yang lemah lembut orangnya pun kali ini tidak menyebelahinya. Sepertinya, keluarga besar Datuk Ridho sudah bersekongkol ingin menghalaunya dari rumah banglo itu pada hari ini. Sementara, kelebat Azlina yang menjadi punca masalah tidak kelihatan sama sekali. Entah kemana perginya anak dara datuk Khalid. Sejak pagi lagi, bu Sirah tidak bertemu dengannya. Mengingat semua kejadian hari ini, Bu Sirah kembali menangis, dan menangis. Hatinya sungguh teriris dan terguris. Hendak menyesali nasib tapi, inilah hakikat hidupnya. Mungkin, sudah di tentukan oleh yang Maha Kuasa di atas sana. Bu Sirah menyeka air matanya, entah kenapa, sejak akhir-akhir ini air matanya begitu murah mengalir begitu mudah tergulir. Ia kembali terisak. Tiba-tiba, rasa marah kepada Naim anaknya berkurang. Bu Sirah terus berjalan. Ia merasakan rumah yang biasanya dekat terasa begitu jauh. Tiba-tiba beban hidupnya terasa begitu berat. Seberat lengkah-langkah usianya yang menuju ke senja.

***

Sesampai di rumah, bu Sirah sungguh terkejut dengan keadaan rumah yang sangat berantakan. Dapur yang berserak piring kotor dan kuali tak tercuci, juga gelas yang di letakan tidak beraturan. Pening kepala bu Sirah melihatnya. Sementara, di ruang tamu anaknya tengah tidur di atas kursi denga menyalakan musik yang sungguh memekakan telinga. Sementara TV terbuka begitu saja… Hati yang gundah dan perasaan yang sedih, tidak bisa tidak, memaksa juga Bu Sirah melampiaskan segala emosi dan amarahnya. Rasanya, ingin di bunuh saja anak yang ada di depannya. Tanpa permisi dia mencabut segala kabel dari saklarnya.

“Kenapa Ibu matikan?.” Naim bingkas bangun.

“Apa kau buat ha?!. Tak ada kerja lain apa?!.” Bu Sirah berkacak pinggang menghadap Naim. Rupa-rupanya anaknya tidur-tidur ayam saja.

“Halah, ibu ni. Semua yang aku kerjakan di mata ibu selalu salah!.” Naim kembali mencolokan kabel ke saklar, menyalakan tip memasang lagu dan memutar volume lebih kuat dari yang tadi. Bu Sirah semakin marah. Anaknya betul-betul tidak menghargainya sebagai orang tua.

“Apa yang kau buat dengan Azlina?!. Datuk Khalid marah besar. Di halaunya ibu dari rumah itu.”

“Baguslah Bu, setelah ini Ibu gak usah kerja cape-cape bolehlah jaga Naim.” Cuek saja Naim menjawab pertanyaan ibunya.

“Eh Naim, kau tu sadar dikit kenapa?. Dari mana kita nak makan kalau tidak kerja di rumah datuk Khalid!.” Naik angin di buatnya. Anaknya, betul-betul tidak mempunyai perasaan. “Kamu, kalau ngomong sama orang tua sopan dikit kenapa?.” Bu Sirah semakin geram melihat gerak-gerik anaknya yang sama sekali tidak mengeindahkan ia bicara. Seolah-olah berbicara dengan tunggul kayu.

“Wak Kassim bilang, Allah kan ada, ibu gak usah khawatir…” Ringan saja kata-kata Naim.

“Memang Allah ada. Tapi, kalau kita tidak usaha, dari mana hendak mendapatkan uang? Kalau kamu kerjanya hanya tidur-tidur saja dan keluyuran tak tentu hala.”

“Sapa yang buat Naim gak bisa apa-apa?. Ibu juga khan?” Kesabaran bu Sirah betul-betul di ambang batas. Kemarahannya bercampur baur menjadi satu. Antara marah, sedih dan juga merasa bersalah. Kenapa anaknya tiba-tiba mengungkit kesalahannya?.

“Plak!.” Tanpa fikir panjang, bu Sirah mendekati Naim dan melayangkan satu tamparan. Naim terkedu, tidak menyangka ibunya akan menamparnya hari ini. Sungguh, semarah-marahnya ibu, baru kali ini ia melayangkan tangannya di badannya. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Bu Sirah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang telah di lakukannya. Ia tergugu dengan kelakuannya sendiri. Tanpa berkata apa-apa, Naim langsung beranjak keluar dari rumah. Sementara bu Sirah hanya menangis.

***

Aku berjalan tidak tentu arah. Aku bingung dengan apa yang berlaku. Tuduhan datuk Khalid dan keluarganya yang menyangka aku menjalin kasih dengan anaknya Azlina sungguh menyiksa hatiku. Memang aku akrab dengan Azlina tapi, hanya sebatas teman tak lebih dari itu. Ibunya pun menuduhkan hal yang sama. Tak ada hasrat lagi untuk menerangkan semuanya. Ibunya sudah terlanjur murka. Ibu yang selama ini mengasihinya, kini seolah-olah memusuhinya. Tujuh belas tahun usiaku kini. Selama itulah aku tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah.

Kalau pun dulu pernah belajar, aku hanya sampai kelas dua SD saja. Pihak sekolah mengeluarkanku. Konon, aku anak status yang tidak jelas. Tidak memiliki surat lahir juga status kewarganegaraanku yang tidak jelas. Apakah aku anak Indonesia, atau Malaysia. Tidak terasa, langkah-langkah kakiku sampai di rumah wak Kassim. Wak yang sudah dia anggapnya seperti ayah sendiri. Sosok ayahnya sendiri, aku tak pernah sekalipun bertemu dengannya. Sering juga aku menanyakan perihal ayahnya kepada sang ibu tapi, ibu hanya diam dan membatu. Sejak saat itu, aku enggan untuk bertanya lagi.

“Naim, kau kenapa?.”

“Naim berantem lagi dengan ibu wak.”

“Kenapa lagi?. Kau tak kesian dengan ibu?.”

“Apa yang mau di kasihani wak. Semua yang aku buat, semua salah di depan ibu.” Aku mengeluh panjang di rumah wak Kassim. Berharap, semua masalah yang ku tanggung akan berkurang.

“Istighfar Naim. Betapa besar cinta ibu untuk kau.” Wak Kassim duduk di depan Naim yang sedang memilin kertas yang tergeletak di atas meja.

“Tapi sekarang ibu lain Wak, sedikit saja Naim buat salah, tak segan-segan dia memarahi Naim.

“Sabarlah Naim…” Wak Kassim mengeluh panjang. Teringat kedatangan Sirah beberapa hari lepas. Dia merasa tertekan, begitu takut akan kehilangan Naim. Statusnya sebagai pendatang asing tanpa izin bukan tidak mungkin sewaktu-waktu ia akan tertangkap ketika ada razia. Juga keberadaannya dengan Naim tanpa status yang jelas. Secara biologis, Naim memang anak Sirah tapi, secara hukum Negara, Naim adalah anak Harpah isteri pertama dari Zaini suami Sirah.

“Wak, kenapa Ibu selalu merahasiakan keberadaan ayah Naim?.” Senyap Wak Kassim diam mematung. Akhirnya, pertanyaan itu datang juga. Inilah yang paling di takutkan haruskah membuka rahasia atau terus membiarkan Naim diam dalam ketidaktahuannya.

“Wak, jawablah. Naim rasa, wak lah yang paling banyak tahu tentang Ibu.”

“Kenapa kau tak tanyakan pada ibumu…???.” Wak Kassim membuka celah untuk mengelak.

“Kalau ibu mau menjawabnya, saya tidak akan tanya ke wak!.” Suara Naim meninggi. Sungguh terkejut wak Kassim, emosi anak muda ini benar-benar tidak stabil. Wak Kassim kembali membatu, bisu. “Wak, tolonglah!. Naim sudah menganggap Wak seperti orang tua sendiri. Tegakah wak melihat Naim terkatung-katung dalam kebingungan. Usia Naim pun sudah semakin meningkat dewasa. Cepat atau lambat, Naim harus tahu juga masa lalu Naim. Suara Naim lembut, memelas. Wak Kassim serba salah. Bayangan Sirah kembali berkelebat ketika dengan berurai air mata Sirah menjelaskan Harpah ingin menuntut hak anak ke atasnya, untuk mendapatkan waris dari suaminya.

“Beberapa tahun dahulu, ibumu menikah dengan orang Malaysia sini.” Wak Kassim mulai membuka cerita. Mereka menikah di Medan, secara hukum Indonesia orang tua kalian sah sebagai suami isteri dan di akui pihak Negara sana. Tapi malangnya, ayahmu tidak mendaftarkannya di kerajaan Malaysia. Ketika itu, ibumu masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sedang ayahmu, seorang sopir taksi saat baru mengenali ibumu.” Menghela nafas sejenak. “Sebelum menikah dengan ibumu, di sini, ayahmu sudah memiliki seorang isteri. Konon ceritanya, dia sudah menikah selama sepuluh tahun dan tidak di karuniai anak. Maka, ibumu mau menikah dengannya. Tak di sangka, ketika ibumu melahirkan kamu , rahasia itu terbongkar ternyata, ayahmu baru setahun menikah. Karena pernikahan orangtuamu tidak di daftarkan di Malaysia, secara hukum ibu kamu bukanlah isteri Zaini. Jadi, saat kamu lahir kamu di atas namakan anak Harpah, bukan anak Sirah.” Wak Kassim berhenti sejenak. Memperhatikan eskpresi Naim, sungguh tidak terbaca riak muka Naim. Tegang, diam tak berkata apa-apa.

“Naim?.” Lirih suara wak Kassim memanggil. Naim tetap bergeming.

“Naim?.” Kembali wak Kassim memanggilnya. Di sentuhnya pundak bocah remaja itu. Naim tersentak.

“Iya Wak. “

“Apa kau baik-baik saja?.”

“Ya wak, Naim baik-baik saja. Sekarang, kemana pergi ayah Naim? Kalau begitu, Naim anak Malaysia wak? Kenapa ibu tega tak menyekolahkan Naim.”

“Naim, jangan salahkan ibumu. Sejak ayahmu tidak memperdulikan kalian dan segala dokumen ada di tangan Harpah, ibumu tidak bisa berbuat banyak. Dia hidup membesarkanmu seorang diri.” Wak Kassim kembali diam, melihat perubahan muka Naim. Sayu, tidak seperti tadi yang penuh ketegangan dan emosi yang terpendam.

“Semenjak itu, ibumu beralih dari satu tempat ke tempat lainnya. Menghindari razia pendatang asing juga mengelak dari di ketahui oleh ayahmu dan isterinya Harpah. Sampai sekarang, ayahmu tidak mendaftarkan status pernikahannya dengan ibumu.”

 Aku sungguh terkejut dengan penjelasan wak Kassim. Begitu tiba-tiba dan penuh dengan kejadian yang aku sama sekali tidak menyangka. Pengorbanan ibu, juga kesengsaraan yang di deritanya. Penyesalan dan kesedihan bercampur jadi satu. Kenapa selama ini aku begitu menutup diri untuk tidak mamahami dan menyelami hati ibu.

“Dan kabar terbaru yang wak dengar, Harpah, sedang mencarimu. Beberapa hari yang lalu, ibumu bercerita dengan wak.”

“Untuk apa dia mencariku wak?.” Wak terdiam.

“Wak, kenapa mak cik Harpah mencariku?.” Naim mengejutkan wak Kassim yang tiba-tiba terdiam. Perasaannya kini semakin gelisah. Rasa pelik pula, menyebut mak cik kepada orang yang sama sekali tidak di kenalinya.

“Dia menginginkan kamu. Dia hendak menuntutmu dari tangan Sirah.”
“Kenapa wak?!. Kenapa mak cik Harpah hendak menuntut Naim?. Bukankah Naim bukan anaknya?!.” Naim tergugu, pilu takut menghadapi segala masalah yang akan menimpa juga ibunya. Terbayang tadi ketika dia marah-marah dan bertekak lidah dengan ibunya. “Ibu, ampuni aku…” Naim berujar lirih.

“Ayah kamu sudah meninggal.” Wak Kassim berkata perlahan. Naim mendengar jelas kata-kata wak Kassim, meskipun perlahan aku masih mendengarnya dengan jelas. Cobaan apalagi, setelah aku mendengar retentan cerita yang begitu mengejutkan, kenapa aku lebih di kejutkan dengan kematian ayahku?. Seorang ayah yang tak pernah ku jumpa sosoknya apatah lagi mengenalinya?. Ya Allah, musibah apalagi ini?. Aku merasa begitu bodoh, lemah dan cengeng. Mau saja aku menangis sejadi-jadinya di depan wak. Tapi, aku malu. Ku simpan saja duka dalam dada, kusimpan air mata dalam derita.

“Ibu, ampuni aku ibu… Aku tahu kenapa kau akhir-akhir ini sering sekali menangis dan memerahaiku. Aku sudah kehilangan ayah ibu.”

“Naim, sabarlah nak…” Seperti faham dengan keadaanku, wak Kassim mendekat dan menepuk-nepuk pindakku.

“Wak, Naim permisi dulu. Naim hendak meminta maaf kepada ibu.” Aku bangun dari tempat duduk, menyalami wak Kassim. Ternyata, air mata itu tidak mampu ku bendung lagi, aku menangis, menangis di pelukan wak Kassim. Ah, sungguh menyedihkan melihat keadaanku. Seorang lelaki, menangisi kepergian ayahnya yang tak pernah sekalipun di temuinya.

“Naim, berhati-hatilah. Jaga ibumu dengan baik. Bukan tidak mungkin, Harpah akan mencarimu sampai dapat. Sebelum pulang, kau sembayang asharlah dulu.” Kata-kata wak Kassim semakin membuatku takut dan bingung. Aku menjadi takut untuk kehilangan ibuku. Perempuan hebat, bertahun-tahun terlunta-lunta di Negara orang juga di sia-siakan suami yang juga ayahku sendiri. Aku betul-betul keliru antara ibu kandungku dan ibu dalam surat kelahiranku.

 Selepas shalat ashar, aku menuju ke rumah. Selama perjalanan, aku sudah menyusun beberapa ayat dan kalimat untuk ku sampaikan kepada ibu. Aku berharap ibu akan memaafkanku. Sebelum sampai ke rumah, aku singgah di kedai makan terdekat. Aku ingin membeli nasi bungkus kesukaan ibu, sedikit ulam, sambal dan ayam goreng. Rasanya lucu ketika aku meminta maaf kepada ibu hanya dengan sebungkus nasi. Tapi, ini bukan tujuanku, aku tahu ibu belum makan sejak tengah hari tadi. Sejak di halau dari rumah Datuk Khalid. Ah, mengingatnya, hatiku di buai pilu. Padahal, aku dengan Azlina hanya berkawan saja.

“Hei, Naim, kau pegi mane?. Kat rumah ramai orang tuh. Baliklah cepat!.” Tiba-tiba Pak cik Hassan tergopoh-gopoh mengejarku.

“Kenapa pak cik…???.”

“Kau baliklah cepat. Polisi pun banyak di rumah.” Banyak orang, polisi, ibuku semuanya bermain di benakku. Aku berlari-lari untuk segera sampai di rumah. Apa agaknya yang terjadi di rumahku…???. Betul saja, dari kejauhan aku melihat beberapa orang berkerumun di beranda rumah. Juga ada mobil polisi dan orang-orang berseragam. Nanar mataku memandang ke sekeliling, nasi bungkus yang ku bawa menjadi begitu berat.

“Ibu… Ibu…” meracau suaraku mencari ibu. Tiba-tiba sepasukan polisi mencegat langkahku. Sementara, aku lihat ibu sudah di borgol di paksanya memasuki mobil petugas. “Tidak, ini tidak mungkin!. Ibuuu…!!!” Aku berteriak, ingin saja aku berlari tapi, cengkraman tangan-tangan polisi itu menghalangi nitaku. Aku lihat ibu berurai air mata, meronta-ronta ingin berlari ke arahku.

“Ibu…”

“Pak, saya mohon, ijinkan saya bertemu ibu saya.” Aku memelas. Perihatin melihat keadaanku para polisi melepaskan tubuhku. Segera saja aku berlari menuju ke tempat ibu.

“Bu, kenapa bu?. Ampuni Naim ibu… Kenapa ibu di tangkap?.” Pertanyaan bodoh itu terkeluar juga dari mulutku. Aku tahu penangkapan ibu karena pendatang asing tanpa ijin tapi, kenapa aku tidak di bawanya sama?.

“Nak, mungkin, sampai di sini tugas ibu menjagamu. Naim pergilah dengan perempuan itu.” Ibu menunjuk seorang wanita yang berdiri tercegat di depan pintu rumah.

“Apapun, Naim bertanyalah dengan wak Kassim.” Suara ibu tersengal-sengal menahan tangis dan isakan. Aku menghambur ke pelukan ibu, menangis sejadi-jadinya. Kekhawatiran ku tadi, kerisauanku tadi terjawab sudah. Kata-kata wak Kassim terus berngiang-ngiang di telingaku. “Naim, berhati-hatilah. Jaga ibumu dengan baik. Bukan tidak mungkin, Harpah akan mencarimu sampai dapat.”
Sudah lama kupendam rasa Sudah lama kusimpan asa Terlalu lama kurasa Terlalu lama ia sia-sia Malam ini, ku buka lagi Malam ini, ku cari lagi Malam ini, ku obrak abrik segala document dengan bantuan seorang cikgu. Untuk sekedar merubah beberapa award yang aku dapatkan. Untuk ku bagi kepada teman-teman ku, sahabatku baik yang baru atau yang lama. Award ini, asli bukan karya ku. Hanya sedikit perubahan saja. Semoga temen-temen mau menerimanya. Dan dengan suka cita mengambilnya. Inilah hasil kerja keras seorang cikgu dengan murid (meskipun murid lebih banyak melihat :D)
Keliahatnnya, temen-temen dah pada punya semua khan...??? tapi, gak salah banget kalau temen-temen mau mengambilnya lagi. Mohon maaf kalau aku tidak me-link yang sudah memberikan. (Sudah lama jadi lupa deh) Yang bikin aku nyesel (setengah nangis nih) aku gak ada award dari mbak Elly, itu lho yang jembatan ampera. Padahal, keren tuh award. Mau nyuri, ko yah gak pantes hehehehe... Mohon maaf kalau tidak berkenan. Award ini, ku persembahkan untuk semua sahabat dan teman baruku di dunia bloger tanpa terkecuali. Pak Ari, Pak Setiawan, Mbak Elly, mbak Reni, Jeng Sri, Mbak Fanda, mbak Irma, Coey_Paringin, Sintha, Mbak Annie, Mbak Quini, Mas Yudhie, Ajeng, Inul, Mas Trimatra, Dwina, Dunia Polar, Black_id, Riosisemut, Mantan Copet, Rangga, Mbak Fanny, mbak Penny, Hamster, manusiahero, Faiz, Jonk, Agoez3, Tukang Komen, Nur rahmat, Alang, Si Kumbang, Attaya, Kir31, Si Melyn, Itik Bali, Natazya, Buwel, Sendal Jepit, Bang Fiko, Henny, Anak Nelayan, Etha, Ferdy, Maoris Maulana, Mas Suryadi, IjoPunkJutee, Cahyadi, Anggaarie, Laila, Alfi, Ajie, Dinoe, Aakdidik, Aminrois, omakiblog, Arief hadi, Bang Ais Boleh ambil semuanya. Kalau gak berkenan, salah satu juga boleh ko. Cuma, apa aku harus link mereka semua...??? (Kalau nawar gimana...???) soale, berat nih tugasnya. Dah sakit kepala di ajarin ngedit tuh award. Pkoknya, kalau yang protes pengen di link, protes aja. Yang gak protes yah aku gak link. :) jahat gak yah...??? Pengen banget memberikan award untuk temen-temen. Inilah kali pertama aku bagi-bagi award hasil recycle. Semoga berkenan. Besok, aku baru menyambangi korban yang tertimpa award. Mau tidur dulu...
Menjawab pertanyaan beberapa komen di cerpen keduaku, aku menjawab pasti bahwa, peran "AKU" dalam cerpen Sebuah Pengharapan bukanlah diriku. Ia hanya imajinasiku berlatar belakang kisah seorang wanita yang aku temui hampir setahun dulu. Tentunya di bumbui dengan berbagai hal. Dimana seorang "Rinah" dalam dunia nyatanya adalah pulang dengan menaiki pesawat. Sedang cerita menaiki boat adalah kisah sahabatku yang lain. Dulu, ketika pertama kali bertemu dengan pelaku "AKU" aku sempat mempostingnya dalam blog. Tapi, dulu blogku bener-bener bersifat pribadi dan aku belum mengenal istilah blogwalking atau apapun (Ternyata, baru dua bulan aktif ngeblog). Di bawah ini, ku copas cerita ku awal mula bertemu dengan pelaku "AKU" dalam tokoh cerpen. Tulisan dengan judul "PEREMPUAN, PELAKU DAN KORBAN"
Minggu pertama aku mulai aktif ikut pengajian. Alhamdulilah, bersyukur pada Allah karena telah memudahkan aku jalan untuk menemukan dan mencari ilmu. Tentunya, tidak lupa juga aku ucapkan terimakasih pada Bu Syarifah dan Bu Tria. Bu Syarifah yang nyariin tempatnya dan Bu Trialah tebengan aku (Ya elah... ketahuan banget yah gue nich? Miss nebeng hehehe..) Tidak begitu susah mencari tempatnya, soalnya aku tinggal turun di stasiun Setiwangsa, dari situ ada Bu Tria dan khodimnya yang dah nungguin, ama Teh Imas sekali ndink. Sampai di rumah Bu Wati pukul empat. Berbarengan kita sampai ada juga seorang akhwat yang menggendong anak, menenteng sebuah bag kertas, memakai baju kurung warna biru, kerudungnya warna kelabu (sandalnya aku lupa dech). Sebaik saja pintu di buka, anak-anak bu Wati sibuk menyapu ruang tamu (Bu Wati cerita, kalo abis pada makan). Terus, kita salam-salaman dech trus cipika-cipiki (apaan tuh..??? cium pipi kanan, cium pipi kiri) Belum masuk waktu Ashar jadi, kita ngobrol-ngobrol dulu. Maklum, baru pada kenal gitu (kalo mereka sih dah pada kenal, aku aja kali yang baru soalnya, acara itu dah di mulai dari minggu kemarin n minggu kemarin aku gak bisa dateng). Mulanya agak canggung, biasalah... namanya orang baru. Yang menjadi tumpuan tentunya mba yang bawa anak, banyak di tanyain, umur anaknya berapa bulan (biasa khan...??) Dalam diam-diam, tiba-tiba mbak itu nyeletuk ”Suamiku lari sama perempuan lain” Ujarnya. Kontan, aku sungguh terkejut dengan kata-katanya. Dalam hati, ”ko belum kenal dah cerita hal pribadi” Teh Imas pun langsung menyela, ”Ko ngomong gitu? Gak baik ka” ”Orang iya, bapaknya gila” Jawabnya lagi sambil menengok anaknya. Waktu itu, anaknya tertidur lena. Dia cerita, kalau anaknya suka tidur bahkan, tak jarang saat di mandikan pun dia tertidur padahal, mandinya air dingin, hebat banget tuh anak, umur belum mencecah dua bulan tapi, dah mandi air dingin. . Spontan kami tertawa. Tanpa kami minta, akhirnya mbak itu menceritakan masalah pribadinya. Cerita, yang bisa di ambil hikmahnya cerita, yang aku rasa banyak manfaatnya. Untuk pelajaran sebagai perempuan, sebagai seorang isteri juga pelajaran bagi hamba Allah. Waktu dia bercerita, sesekali aku memandang wajahnya dengan teliti. Kalau di lihat-lihat, mungkin umurnya tidak jauh beda dengan aku atau bahkan lebih muda. Tapi, sungguh cobaan yang di laluinya sangat berat menurutku. Dia bercerita tanpa mengalirkan setitik pun air mata (mungkin dah kering dalam sujud-sujud panjangnya). Hanya, tatapannya begitu kosong, wajahnya pun nampak begitu pucat. Sebelum menikah, mba ini bekerja di sebuah kilang di daerah Nilai Negeri Sembilan. Dia menikah secara siri, di lakukan di Malaysia tanpa mendaftarkan status perkawinan secara resmi(kalau dah gini, susah mau nuntut suaminya). Setelah mbak ini hamil, dia langsung di buang kerja (karena dalam syarat-syarat pekerja kilang di larang untuk hamil) sebenernya, aku gak jelas antara dia di buang kerja, atau melarikan diri. Nyatanya, dia gak punya passport, mbak itu cerita passportnya di tahan Polisi tapi, aku rasa passport itu bukan di tahan ama Polisi mungkin ama agent nya. Mustahil kalau di tahan Polisi mungkin, mbak itu sudah duduk di penjara. Dan status dia sekarang adalah pendatang tanpa izin. Suaminya meninggalkan mbak itu, setelah satu minggu dia melahirkan anak pertamanya (tidak bertanggung jawab banget kan? Mosok isteri baru ngelahirin di tinggal gitu aja, orang kayak gini, bukan tidak mungkin akan berbuat hal yang sama kepada para wanita-wanita lainnya. Entah-entah, anak dia di kampung dah berderet!). Kalau dah gini, aku jadi mikir terkadang, perempuan itu, pelaku dan korban perbuatan lelaki tidak bertanggung jawab. Gimana enggak, yang jadi korban itu perempuan dan antara sebab lelaki itu meninggalkan isterinya adalah perempuan juga. Aku gak bisa ngebayangin perempuan yang tega menyakiti perempuan lainnya. Bertepuk sebelah tangan, tentunya tidak akan berbunyi. Tapi, aku salut ama mbak itu. Waktu dia mendengarkan tarbiyah, sesekali di menyusukan anaknya, dalam dia terbata-bata membaca ayat suci Al-Quran sesekali dia menepuk-nepuk anaknya supaya tidak menangis. Perasaanku sungguh terguris menyaksikan hal itu dalam diam, aku menyembunyikan air mataku menangisi kehebatannya, menangisi kenapa sebelum menikah dia tidak berfikir panjang, menangisi kalaulah hal itu terjadi denganku, apakah aku akan sanggup...??? (aku yakin, Allah tidak akan menurunkan cobaan ke atas hamba-Nya yang tidak mampu). Kalau di lihat dari cerita hidupnya, aku yakin mbak ini sudah begitu banyak merasakan asam garam kehidupan, Sudah pernah kerja di Hongkong dan Singapura. Selamat berjuang mbak, jadikanlah Allah sebagai penolong mu. Inilah wajah para tenaga kerja kita, khususnya para TKW. Mungkin, ini satu di antara berpuluh-puluh ribu kasus seperti ini. Bahkan, mungkin lebih banyak lagi kasus di luar sana yang lebih parah lagi. Terkadang, bukan saja di tipu oleh para agent atau kilangnya. Nyatanya, yang menipu kadang adalah orang terdekat kita sungguh suami yang kejam! Bumi Allah, 20 April 2008/14 Rabiulakhir 1429H Diposting oleh Anazkia 6/15/2008
Memenuhi janji dan menagih janji kepada mbak Fanny, ku posting cerita ini yang sudah sekian bulan manis terpendam dalam my document. Ide ceritanya, dari seorang TKW yang beberapa kali ku temu dalam sebuah kajian. Pengorbanan wanita, yang begitu hebatnya menurutku. Wanita yang belum begitu dewasa tapi sudah banyak mengenyam nasib derita dan sengsara. Menggambarkan, betapa menyedihkannya fenomena para TKW kita di luar negeri. Dan inilah PR besar kepada wakil rakyat kelak, semoga mereka tidak hanya mengumbar janji atau mimpi-mimpi tak berarti. Hiruk pikuk kesibukan dan masalah TKI dan TKW di luar negeri, tidak sepenuhnya seratus persen masalah dengan majikan atau agen. Tapi, tak sedikit yang bermasalah dengan warga atau orang Indonesia sendiri. Seorang wanita yang sudah melanglang buana ke Singapura dan Hongkong sampai nasibnya tercampak ke Malaysia dan menderita karena cinta. Khabar terakhir ku dengan, wanita ini sudah kembali menikah, sayangnya... Ia harus kembali mengais rizki nun jauh di negeri beton sana. Adakah di negara kita memang sudak tidak ada lagi lapangan kerja...????
Berat hati aku membuka mata. Rasa ngantuk dan lelah menambah aku enggan untuk bangun. Rasanya, ingin saja aku lena dalam tidur sampai ke esok hari. Tapi, tangisan itu kembali mengusiku. Menjerit tanpa permisi, meminta di kasihani. Ku paksakan juga bangun, meskipun dengan kepala terhuyung-huyung menahan pening. Baru beberapa jam aku tertidur, tangisan itu kembali memaksaku untuk membuka mata dan berjaga. Aku mengangkat tubuh bocah kecil itu. Inilah jalan terbaik ketika aku harus selalu menenangkannya. Rasanya, sudah kering ASI yang ada di tubuh ku tapi, sepertinya dia belum merasa kenyang. Ku letakan anakku, untuk membuat susu formula. Baru beberapa langkah, lengkingan tangisnya menaikan seluruh emosi ku. Kesal dan geram setiap kali menghadapi keadaan seperti ini. Terburu-buru aku membuat susu. Aku meletakannya di atas riba, menggendongnya sambil aku bersandar di birai tempat tidur. Melihat mata kecil itu, hatiku sungguh sayu mata tanpa dosa. Hanya karena keegoisan orang dewasa, ia sudah menjadi korban penderaan seorang ibu. Kadang, aku merasa bukan ibu yang baik, selalu memarahinya. Padahal, ia baru berumur dua minggu, yah dua minggu. Bayi itu masih merah, tali pusatnya pun belum terlepas. Air mata itu kembali mengalir, menangisi nasib anaku juga nasib hidupku. Dalam keadaan seperti ini, aku begitu merasa membutuhkan Sang Maha Pengasih. Meskipun aku tahu, aku tidak begitu mendekati-Nya ketika aku merasa bahagia. Perasaan malu menjalari seluruh tubuh ketika benar-benar merasa begitu miskin saat ini. Miskin dengan segalanya. Sepertinya, aku sudah mengadaikan hidupku dengan sia-sia. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk sebuah kebaikan. Ku letakan Arif di atas tempat tidur. Aku kembali memejamkan mata, berharap dapat tidur untuk menghabiskan waktu malam yang hanya tinggal beberapa jam saja. Ku lirik jam, sudah pukul empat pagi. Begitu sunyi, hanya pusingan jarum jam yang menemaniku di separuh akhir malam. Ka Ros belum pulang, sepertinya di kembali lembur. Hari sabtu malam, biasanya kedai makan tempat ka Ros bekerja ramai pengunjung. Tak jarang, ka Ros pulang setelah adzan subuh berkumandang. Mengingat ka Ros, sepertinya ia adalah penolong yang Allah berikan khusus untukku. Tanpanya, mungkin aku terlunta-lunta di Negara orang. Tanpa bantuannya juga mungkin aku sudah meringkuk di penjara. Dia juga yang mengajariku lari dan bersembunyi ketika pasukan RELA (ikatan relawan rakyat Malaysia) mengejar pendatang asing tanpa izin, alias ilegal. Berkat bantuannya juga, aku di kenalkan dengan Bu Syarifah, seorang warga Indonesia yang mengikuti suaminya belajar di sini. Dan dari situ, kemudahan dan bantuan selalu menyertaiku. Mungkin, ini rizki anak ku. Ah, benar memang, terkadang, Allah menurunkan cobaan beserta pertolongannya. Teringat kata-kata bu Syarifah, katanya, Allah tidak mungkin menurunkan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Sedikit pun mata ini tidak mau terpejam. Sudah pukul empat tiga puluh, ka Ros tak muncul-muncul juga. Ku lirik Arif, dia begitu lena. Aku kembali memejamkan mata, memaksa untuk tidur. *** “Rinah, bagun!. Ini, ka Ros bawa sarapan untuk kamu.” Suara ka Ros mengejutkan lena ku setelah semalaman hampir bergadang. “Nanti lah ka, masih ngantuk.” Sedikit pun aku tak berganjak dari tempat tidur. “Cepatlah! Sudah siang, tuh anakmu pun sudah mandi.” Suara ka Ros nyaring sambil mengoyang-goyangkan badanku. Aku menggeliat malas. Mendengar saja Arif sudah mandi, terpaksa aku bangun. Aku malu dengan ka Ros, tak hanya kali ini ia memandikan Arif tapi, sudah beberapa kali. Karena kemalasanku, pernah sekali aku memandikannya dengan air sejuk tak ayal ini membuat ka Ros berang dan tak henti-hentinya memarahi aku. Ka Ros, orang Madura asli. Kalau ngomong, nadanya seperti orang marah-marah. Dulu, pertama kali aku mengenalnya, aku menganggapnya orang yang sombong. Tapi, di sebalik segala kekerasan suara dan suka mengomelnya tersimpan hati yang bersih, sebersih mukanya yang selalu di simbah air wudhu. Pun lain ketika ia melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an begitu indah. Hilang sudah segala kekerasan dan kecerewetan dari mulutnya. Kadang, aku mikir kenapa ka Ros gak ikutan Tilawah Qur’an antar bangsa. “Rinah!, kenapa malah bengong!. Sudah sana, cepat mandi. Susukan anakmu, dari tadi tak menyusu lagi!.” Aku terkejut dengan teriakannya. Tak mau di teriaki untuk yang ke dua kalinya, aku cepat-cepat keluar dari kamar dan menuju kamar mandi di bawah. Rumah dua tingkat tapi, ukurannya sangat kecil. Ada dua kamar di tingkat atas dan di bawah ada kamar mandi, dapur dan sedikit ruang untuk duduk ketika ada tamu datang. Juga terbentang kasur busa untuk Arif ketika siang hari. “Rinah!. Cepat! Ka Ros dah mau berangkat nih!.” “Iya ka.” Aku cepat-cepat membuka pintu kamar mandi. “Mungkin nanti ka Ros pulang telat lagi. Tadi, bos telfon katanya ada yang order makanan untuk pesta ulang tahun.” Ka Ros dengan cekatan membuat air minum. “Katanya, dah mau pergi ka…?.” “Iya, kaka mo sarapan dulu.” Segera ka Ros mengangkat minuman meletakan di bawah dan menghidangkannya untuk kami. Beberapa kueh dan nasi bungkus tersusun rapi di atas dulang. “Tadi malam pulang jam berapa ka?.” “Kaka pulang jam 1 malam. Tapi, tiba-tiba ada operasi pasukan rela. Kaka terpaksa mencari tempat persembunyian yang aman...” Ka Ros tiba-tiba menggantungkan kata-katanya… Aku terkejut dengan penjelasannya. “Beberapa teman kaka pun ada yang kena. Mereka di giring ke balai polisi. Hati-hati Rinah mungkin, nanti suatu ketika pun kaka atau kamu akan mengalami hal yang sama. Ah, sudahlah, mari kita makan. Kita serahkan semuanya sama Allah.” Ka Ros, mengeluh pasrah. Kemudian sedikit demi sedikit mulai menjamah sarapan pagi. Lidah ku terasa kelu, inilah nasib hidup sebagai pendatang illegal. Tak boleh duduk tenang tidak juga bisa merasa senang. Setiap kali, aku, ka Ros dan pendatang illegal lainnya selalu di buru cemas. Takut di tangkap, takut di giring ke balai polis dan takut di penjarakan. Dalam keadaan kalut seperti ini, aku hanya menggantungkan nasib di tangan-Nya. Semoga Allah, masih melindungiku dan anakku juga ka Ros… “Rinah, cepet habiskan makannya. Nggak usah bengong. Nanti, kalu sunyi, pergi saja ke rumah ka Syarifah.” Ka Ros beranjak ke tempat cucian piring. Membasuh tangannya cepat-cepat. Sepertinya, apa yang di lakukan ka Ros, selalu sepantas kilat. Tak jarang, dia pun sering ngomel kalau melihat aku buat kerja. Katanya, leletlah, lambatlah dan alasan lainnya. “Sudah, kaka berangkat dulu. Kamu hati-hati di rumah. Jangan aniaya anak lagi, ada apa-apa, nanti telfon kaka. Itu makan, cepatlah sikit! Lambat betul!.” Terkadang, bahasa melayunya keluar juga. Aku hanya mengangguk-angguk mendengar kalimat-kalimatnya. “Kaka, terimakasih yah.” Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Iya lah… Kaka berangkat dulu. Assalamu’alaikum. Nih kunci pintu.” “Waalaikumussalam…” Ku jawab salam perlahan. Beranjak menutup pintu grill dan menguncinya. Sedang pintu biasa ku biarkan terbuka. Ku simpan sisa makanan yang tadi tak habis aku jamah. Ku mulai lagi rutinitas seperti biasa. **** Jam sembilan pagi, suasana begitu sunyi. Beginilah keadaan rumah di sekelilingku. Semua orang sudah pun berangkat mencari penghidupan juga anak-anak yang pergi sekolah. Tetanggaku, sebenarnya banyak orang Indonesia dan sebagaian besar dari mereka tinggal di Malaysia secara haram. Tidak heran, terkadang mereka menghilang saat ada operasi dan muncul kemudian setelah penggeledahan itu berakhir. Arif masih tertidur. Memanfaatkan masa, ku gunakan untuk mengemas rumah dan membasuh baju. Siang nanti, aku akan ke rumah bu Syarifah, menunggu informasi dari BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan KBRI. Katanya, Baznas akan memberikan bantuan, juga kabar dari KBRI tentang kepulanganku ke tanah air. Apakah bisa diproses dengan cepat?. Aku kembali teringat kedatanganku mula-mula dulu ke Malaysia. Aku bukan pendatang haram tidak juga illegal, aku memiliki passport, permit kerja juga pekerjaan di sebuah pabrik elektronik di kota Johor. Semua itu berubah, ketika aku mengenali seorang lelaki yang baik budinya, sopan bahasanya dan lembut kata-katanya. Parno namanya. Mengikuti nafsu dan atas nama cinta, aku lari dari Pabrik. Mengikuti mas Parno yang sudah berjanji akan menikahiku. Padahal, aku belum cukup setahun bekerja di Pabrik. Alasan tidak boleh menikah selama bekerja itulah yang membuatku nekat lari dari pabrik. Tentu saja Mas Parno gembira mendengar keputusanku. Tapi, tidak dengan keluargaku mereka semau menentang. Aku tetap bergeming dengan pendirianku. Kalau aku akan menikah secara siri di Malaysia. Di depan seorang kyai, tanpa wali dan hanya ada wali hakim. Semua itu, ku buat tanpa berfikir masak-masak. Tanpa memikirkan akibatnya nanti. Bulan-bulan pertama, semua berjalan lancar. Mas Parno menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab. Aku gembira bukan main, aku berfikir keputusanku menikah sangat tepat. Meskipun aku hanya tinggal di sebuah rumah kongsi yang sangat kecil dan pengap aku begitu menikmatinya. Meskipun aku tidak suka dengan lingkungannya. Rumah kongsi, bukan seperti rumah kebanyakan. Kalau aku menyebutnya rumah burung. Ia berada di atas ruko tingkat paling atas. Setiap kamar berukuran dua kali dua meter tak lebih tak ada jendela begitu pengap. Sepanjang lorong, hampir berisi dua puluhan kamar. Kebanyakan dan hampir semua penghuninya adalah orang Indonesia. Yang bekerja di bangunan dan para isterinya berdagang ala kadarnya. Tak sedikit juga yang tinggal di rumah kongsi pasangan yang bukan suami isteri. Aku sungguh tertekan melihat keadaan ini. Ketika aku hamil, mas Parno begitu gembira. Tak jarang, dia membelikanku macam-macam makanan dan buah-buahan. Katanya, biar bayinya sehat. Aku nurut saja. Gajinya sebagai kuli bangunan cukup untuk kami makan dan masih ada sisa untuk kami tabung. Dengan alasan tidak ada passport, mas Parno tidak pernah sekalipun mangajak aku jalan. Konon, takut kena tangkap. Aku manut saja. Memasuki usia enam bulan kehamilan, mas Parno berubah. Dia jadi sering marah-marah dan selalu tidak pulang ke rumah. Aku sungguh tertekan dengan perubahannya. Sampai kabat terakhir ku dengar, mas Parno ada affair dengan seorang perempuan pekerja di sebuah kedai makan. Aku begitu terpukul, semua hari ku berubah menjadi gelap dan linang-linang air mata. Tiada senyum dan tawa, mas Parno bukan lagi suami yang ku kenal dulu. Setiap pulang, hanya kemarahan dan pukulan yang hinggap di badanku. Aku sungguh tersiksa. Lafadz cerai, di ucapkanya berulangkali. Menikah tanpa di daftarkan, tanpa surat nikah menjadikan aku orang yang begitu kelimpungan. Tidak tahu kemana mencari perlindungan. Hendak menuntut nafkah pun tidak boleh. Aku terlunta-lunta. Beruntung, ketika uang tabunan aku yang pegang. Tapi itu tidak bertahan lama, ketika mas Parno tiba-tiba datang dan menggeledah semua isi rumah. Lesap sudah semua isi tabungan. Bersyukur ketika aku menyisihkan di dompet beberapa hari sebelumnya. Aku kembali terpuruk, tiada perlindungan tiada harapan. Kembali menyesali dan menangisi nasib, kalau tidak mengingat bunuh diri adalah perkara yang di benci Allah, mungkin ini sudah ku jadikan penyelesaian. Tapi, bukankah aku pun sudah melakukan perkara yang di benci-Nya. Aku telah bercerai, tepatnya, aku di ceraikan. Oh Allah, adakah aku mampu menghadapi ini semua…? Terakhir kali aku bertemu dengan suamiku ketika ia pulang ke rumah dengan mata memerah dan memakiku. Dia mencari passport yang memang sengaja aku sembunyikan. Inilah yang mampu aku ambil darinya. Aku mencuri passpornya ketika ia datang ke rumah untuk mengambil uang. Ini semakin membuatnya kalap, aku di sepak dan di tarik rambutnya. Benar-benar tidak memiliki rasa kemanusiaan lagi. Tangisanku, tidak sedikitpun meredakan amarahnya. Dengan segala upaya aku mempertahankan passport, tanpa membagi tahunya ia di mana. Aku tidak peduli dengan amarahnya, maki hamunnya juga dengan pukulannya yang bertubi-tubi mengenai tubuhku. Mungkin, dengan cara inilah aku dapat membalas sakit hatiku. Passportnya, sudah ku titipkan di rumah ka Ros. Lelah mengamuk tanpa menemukan apa yang di carinya, lelaki tak bertanggung jawab itu pergi dengan ancaman. Di tariknya leher baju aku, “Kalau kau tak bagi tahu di mana kau sembunyikan passport aku, siap kau nanti!.”. Dia selalu menggunakan bahasa Melayu, seolah telah lupa dengan bahasa ibu. Aku biar saja dia pergi, aku tahu maksud kata-kata “siap kau nanti” Aku tak peduli meskipun dia nanti akan datang lagi memukulku atau bahkan membunuhku. Aku benar-benar tak peduli. Keputusanku sudah bulat, aku hendak lari. Mengilang dari suamiku. Ka Ros orang yang baru beberapa hari aku kenal menjadi pelabuhan tempat aku bersandar kesedihan dan menumpang hidup. Sampai hari ini, aku tidak lagi bertemu dengannya. Khabar terakhir aku dengar dia sudah masuk penjara. Ah, biarlah, mungkin ini balasan Tuhan. Sedikitpun, aku tidak merasa bersalah karena telah menyembunyikan passportnya. **** Aku tersadar dari lamunan panjang saat terdengar suara Arif terjerit-jerit menangis. Juga bersamaan dengan deringan hp. Aku mendekati hp yang ku letakan berdekatan dengan tempat tidur Arif. “Assalamu’alaikum.” Sapanya di talian sana “Waalaikumussalam.” Ku biarkan tangisan Arif “Dik Rinah, nanti tolong ke rumah ya?.” “Iya Bu, tadi saya habis beres-beres.” “Dik, itu Arif nangis…” Bu Syarifah menegurku. “Iya Bu, tadi baru bangun tidur. “Ya udah dik, nanti kalau dah lapang datanglah ke rumah. Assalamu’alaikum.” Ujarnya mengakhiri perbualan. “Makasih banyak bu. Waalaikumussalam…” Ku angkat Arif dan menyusuinya. Perlahan-lahan, dia senyap dan hening. Wajahnya, betul-betul mewarisi bapaknya. Ini yang terkadang membuatku begitu membencinya. Berulangkali perasaan itu ku tepis dan ku singkirkan. Meskipun berangsur-angsur perasaan itu pergi tapi, nyata-nyata ketika Arif menangis aku lebih sering membiarkannya. Ya Allah, ampunilah segala kelemahan dan kesalahanku. **** Penjelasan dari bu Syarifah ku dengarkan dengan hati yang berbuku menumpuk segala persoalan dan pertanyaan. Rasanya, aku sudah benar-benar buntu. BAZNAS memberikan sumbangan yang cukup banyak RM.800. Di sebalik sumbangan itu, ada juga khabar yang cukup membuatku sedih. Sampai saat ini, KBRI belum mampu membuatkan passport untuk aku dan anakku. Berkali-kali juga Bu Syarifah meminta maaf karena tak berhasil menolongku. Aku jadi merasa tidak enak sendiri. “gak apa-apa bu, bukan ibu yang salah.” Aku mencoba mengurangi rasa bersalahnya. “Dik, gimana kalau pulang lewat jalan “belakang” aja?. Bu Syarifah memberikan alternatif. “Masalah biaya, nanti ibu kembali bincangkan dengan teman-teman ibu. Dan BAZNAS, semoga masih bisa membantu. “Tapi saya gak punya uang bu…” Aku menggantung kalimat. Penawaran untuk pulang lewat jalan “belakang” membuatku sedikit takut. Biaya yang besar dan resiko yang di tanggung membuatku ketar-ketir untuk menerima tawaran itu. “Saya juga tidak berani bu...” “Dik, yakinlah Allah akan menolong kita.” “Tapi saya tidak memiliki keberanian bu…” Suaraku kembali pesimis. **** Berbekalkan segala keyakinan dan motivasi bu Syarifah, akhirnya aku mengambil keputusan untuk pulang ke Indonesia melalui jalan belakang dengan penuh rintangan dan tantangan. Tidak di butuhkan passport juga segala tetek bengek lainnya. Ka Ros begitu sedih mendengar keputusanku. Berunlangkali ia mengucup dahi Arif saat aku berpamitan juga bulir-bulir air mata mengiringi kepergianku. Melewati jalan yang berliku, paginya aku berangkat ke Johor untuk menginap di rumah penduduk. Dua hari kemudian aku baru mendapatkan kapal berlabuh di pelabuhan Johor. Sungguh ini adalah pengalaman yang paling berharga dalam hidup. Aku dan beberapa orang di naikan ke sebuah kapal pencari Lumpur. Dimasukan ke dalam dek paling bawah dan selama perjalanan tidak boleh keluar. Mual dan pening tidak terkira ku rasakan. Bersyukur ketika Arif hanya menangis sesekali saja. Melewati OPL laut perbatasan antara Singapura, Malaysia dan Indonesia kita di pindahkan ke kapal boat yang lebih kecil. Aku bergidik ngeri, membayangkan kelajuan kapal ini. Bismillah, dengan kekuatan yang aku miliki dan demi anakku, aku naik juga ke boat. Tak ku hiraukan lagi nyawaku, ku dekap erat Arif di gendongan, berjuta harapan dan lantunan dzikir ku ucap.” Allah, aku masih mau melihat anakku membesar dan tidak sepertiku.”
Aku ingin bermimpi Tanpa tidur, tanpa memejam mata Menunggu LRT, Sabtu 26 April 2008 19:17 Bermimpi, sesiapapun sering mengalaminya baik mimpi ketika tidur atau mimpi-mimpi sebelum tidur yang mengantarkan kita pada sebuah imajinasi dan harapan untuk mewujudkan mimpi. Klub Buku Online, ibarat mimpi dalam hidupku. Terasa sulit ketika ia kuwujudkan sendiri juga terasa sempit saat harus berjalan seorang diri. Peranan dan dukungan teman-teman tentunya sangat aku harapkan.
Melihat antusias beberapa rakan bloger, cukup berdosa rasanya saat aku tak mempu meralisasikan mimpi-mimpi itu. Apatah lagi, untuk membatalkannya. Di sini, aku memohon bantuan teman-teman, di sini aku minta dukungan teman-teman baik yang sudah ku undang ataupun yang baru membaca kisah ini. Menyikapi usulan mbak Fanda "Btw, boleh usul? Gimana klo selera baca kita berbeda? apa ga sebaiknya tiap org mengusulkan buku yg akan dibaca? Soalnya aku ini ga banyak waktu (dan dana) buat baca, jd aku hanya baca buku2 yg aku suka/interest (alias ga semuanya kulahap)". Betul mbak Fanda, tidak semua dari kita menyukai buku yang sama hanya saja tujuan klub buku ini selain membaca adalah membahasnya. Dan dari pengalaman-pengalaman klub buku yang ada dalam pertemuan kita akan memberikan pertanyaan juga jawaban dari para anggota. Soalannya tidak begitu saklek dan berurutan bisa saja di mulai dari karakter tokoh, jalan cerita, ending cerita, seting dan lainnya. Untuk lebih jelasnya, coba temen-temen buka oprah's book club. Di situ ada banyak panduan tentang tips-tips membentuk klub buku dan pertanyaan untuk klub buku. Silakan kalau temen-temen dah buka kita share sama -sama nantinya :). Seperti sudah di ketahui, buku untuk klub buku Online pertama adalah The Girl Of Riyadh. Adapun untuk pertemuan pertama di undur, dari 13 Juni menjadi 27 Juni 2009. Untuk moderator, kalau memang Jeng Sri keberatan saya mencadangkan beberapa kandidat sebagai moderator, 1. Mbak Fanda 2. Jeng Sri 3. Penikmat Buku Dan aku, minta dukungan dari temen-temen bloger semua, khususnya dari mbak Reni, mbak Elly, Trimatra, pak Setiawan, Pak Ari dan beberapa teman-teman yang aku tak mampu sebutkan satu persatu (maaf gak link). Dan undangan khusus selanjutnya untuk sodari Inul, Dwina, Henny silakan bergabung (mohon maaf sekali lagi, gak link). Dan buat temen-temen bloger semua, siapa yang minat dan hobi membaca buku silakan bergabung dengan Klub Buku Online. Tiada genderitas di sini mari kita wujudkan budaya membaca untuk membangun negeri. Satu lagi, mungkin agak susah saat harus menentukan bukunya, di karenakan ada beberapa teman yang berada di luar negeri. Terutama, Jeng Sri yang berada nunjauh di Irlanida sana. Dan sebisa mungkin, untuk penanggung jawab bulan berikutnya, supaya mencari judul buku yang ada e-booknya. Dan mohon bantuan juga kepada teman-teman yang tahu download link buku yang legal tolong infonya. Tentunya, kita juga harus jadi pembaca yang bijak tanpa merugikan penulisnya dengan membajaknya. :) Untuk mbak Fanny, masih adakah waktu untuk mengikuti Klub Buku? :)
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Teman-teman

Sering Dibaca

  • Kontes Blog Bermula
  • Antara Itik Bali dan Miyabi
  • Begitu Banyak Teori Ngeblog Sekarang Ini
  • Marilah, Kita Selingkuh Berjama'ah
  • Up-Date Klub Buku Online 3

Harta Karun

  • ►  2020 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2019 (41)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (63)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (23)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2015 (137)
    • ►  Desember (25)
    • ►  November (20)
    • ►  Oktober (34)
    • ►  September (19)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (52)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2013 (40)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (12)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2012 (74)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Februari (13)
    • ►  Januari (14)
  • ►  2011 (87)
    • ►  Desember (10)
    • ►  November (8)
    • ►  Oktober (18)
    • ►  September (13)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (8)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2010 (141)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (12)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (17)
    • ►  Februari (18)
    • ►  Januari (23)
  • ▼  2009 (124)
    • ►  Desember (11)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (17)
    • ▼  Juni (14)
      • Resume Klub Buku Online
      • Revisi Konfrensi KBO 1
      • Confrence KBO 1, Plus Penggalangan Dana
      • Seruling Tajir
      • Serunai Fakir
      • Kado Persahabatan Part Two
      • Kado Persahabatan Part one
      • Males...??? Betulkah....???
      • Indonesia Setengah Tiang
      • Serpihan-Serpihan Kasih
      • Berbagi Award
      • Bukan Diriku...
      • Sebuah Pengharapan (cerpen)
      • Up-Date Klub Buku Online
    • ►  Mei (16)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (12)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2008 (105)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (16)
    • ►  Mei (19)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (22)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2007 (30)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (12)
    • ►  Agustus (2)

Kategori

Ads Blogger Hibah Buku Celoteh Cerpen Featured GayaTravel KBO komunitas Murai Perjalanan Piknik Buku Pojok Anaz Reportase resep reveiw Semestarian Serial Sosok Teman TKW TripGratisan Volunteer

Catatan Anazkia By OddThemes | Turatea.com