Serpihan-Serpihan Kasih
Oleh, Ana
Perasaanku campur aduk jadi satu, marah, geram, kesal juga kecewa dengan apa yang berlaku barusan. Kata-kata Azlin beberapa saat tadi betul-betul menohok hati dan jiwaku. Aku berjalan dengan rasa marah, tersimpan rasa dendam juga kebingungan. Apa yang ku jumpa serasa aku ingin murka dengannya, apa yang ku temu di jalan ku sepak dan ku tendang melampiaskan perasaan.
Tidak peduli dengan segala cemoohan orang. Justeru amarah itu semakin meledak ketika aku mendengar segala caci maki yang ku dengar.
Rasanya, ingin saja ku ayunkan bogem kecil ini ke muka-muka mereka. Biar mereka bisa lihat, kalau aku ini ada dan tidak suka di berlakukan semena-mena.
Sungguh malang nasibku. Lagi-lagi, aku menyalahkan nasib. Dan juga Ibuku, yah Ibuku. Ibukulah penyebab utama semua ini. Penyebab aku tidak di akui Negara, penyebab aku selalu di caci, penyebab aku tidak sekolah juga penyebab aku di jauhi oleh Azlina dan di hina oleh orang tuanya yang kaya raya.
Aku kembali mempercepat langkah untuk segera sampai ke rumah. Aku tidak lagi memperhatikan sekitarku, tak peduli lagi dengan apa yang ku jumpa tak juga menghiraukan orang yang menyapa. Aku ingin cepat sampai ke rumah dan melampiaskan amarahku pada ibu.
***
Bu Sirah terburu-buru keluar dari rumah Banglo Datuk Khalid Ridho. Entah mimpi apa semalam, hari ini dia begitu merasa menjadi hari yang terburuk dalam hidupnya. Meskipun hari-hari yang di laluinya selalu buruk tapi, entah kenapa penghinaan kali ini benar-benar merontokan semangat hidupnya.
“Kau jangan bermimpi nak berbesan dengan aku!. Kamu hanya pembantu di sini. Mulai hari ini, keluarga aku tak membutuhkan khidmat awak lagi!.”
Terang dan jelas kalimat-kalimat yang terkeluar dari mulut datuk Khalid. Sementara, Datin Rahimah hanya diam seribu bahasa. Keitka bu Sirah menyalaminya, di bawanya kedalam pelukannya. Terisak-isak dia memeluk bu Sirah. Airmata bu Sirah semakin tak tertahankan, jiwanya kembali bergoncang. Ingin sekali ia menghajar anak semata wayangnya.
Mengingat semua itu, bu Sirah begitu tertekan. Irama kesedihan mengalunkan lagu-lagu pilu yang menggetarkan seluruh tubuh tuanya juga mengalirkan air mata. Kali ini, bu Sirah sudah tidak bisa lagi bersabar dengan anak semata wayangnya. Anak yang banyak memberikan cobaan juga selalu membawa kesengsaraan. Kesengsaraan selama hidupnya yang di tanggung sendiri. Kini, setelah besar pun anaknya selalu memberikan masalah.
Pikirannya melayang, entah apalagi yang harus di lakukannya nanti setelah tak bekerja lagi di rumah datuk Khalid Ridho. Datin Rahimah Karim yang lemah lembut orangnya pun kali ini tidak menyebelahinya. Sepertinya, keluarga besar Datuk Ridho sudah bersekongkol ingin menghalaunya dari rumah banglo itu pada hari ini.
Sementara, kelebat Azlina yang menjadi punca masalah tidak kelihatan sama sekali. Entah kemana perginya anak dara datuk Khalid. Sejak pagi lagi, bu Sirah tidak bertemu dengannya. Mengingat semua kejadian hari ini, Bu Sirah kembali menangis, dan menangis. Hatinya sungguh teriris dan terguris. Hendak menyesali nasib tapi, inilah hakikat hidupnya. Mungkin, sudah di tentukan oleh yang Maha Kuasa di atas sana.
Bu Sirah menyeka air matanya, entah kenapa, sejak akhir-akhir ini air matanya begitu murah mengalir begitu mudah tergulir. Ia kembali terisak. Tiba-tiba, rasa marah kepada Naim anaknya berkurang. Bu Sirah terus berjalan. Ia merasakan rumah yang biasanya dekat terasa begitu jauh. Tiba-tiba beban hidupnya terasa begitu berat. Seberat lengkah-langkah usianya yang menuju ke senja.
***
Sesampai di rumah, bu Sirah sungguh terkejut dengan keadaan rumah yang sangat berantakan. Dapur yang berserak piring kotor dan kuali tak tercuci, juga gelas yang di letakan tidak beraturan. Pening kepala bu Sirah melihatnya. Sementara, di ruang tamu anaknya tengah tidur di atas kursi denga menyalakan musik yang sungguh memekakan telinga. Sementara TV terbuka begitu saja…
Hati yang gundah dan perasaan yang sedih, tidak bisa tidak, memaksa juga Bu Sirah melampiaskan segala emosi dan amarahnya. Rasanya, ingin di bunuh saja anak yang ada di depannya. Tanpa permisi dia mencabut segala kabel dari saklarnya.
“Kenapa Ibu matikan?.” Naim bingkas bangun.
“Apa kau buat ha?!. Tak ada kerja lain apa?!.” Bu Sirah berkacak pinggang menghadap Naim. Rupa-rupanya anaknya tidur-tidur ayam saja.
“Halah, ibu ni. Semua yang aku kerjakan di mata ibu selalu salah!.” Naim kembali mencolokan kabel ke saklar, menyalakan tip memasang lagu dan memutar volume lebih kuat dari yang tadi. Bu Sirah semakin marah. Anaknya betul-betul tidak menghargainya sebagai orang tua.
“Apa yang kau buat dengan Azlina?!. Datuk Khalid marah besar. Di halaunya ibu dari rumah itu.”
“Baguslah Bu, setelah ini Ibu gak usah kerja cape-cape bolehlah jaga Naim.” Cuek saja Naim menjawab pertanyaan ibunya.
“Eh Naim, kau tu sadar dikit kenapa?. Dari mana kita nak makan kalau tidak kerja di rumah datuk Khalid!.” Naik angin di buatnya. Anaknya, betul-betul tidak mempunyai perasaan. “Kamu, kalau ngomong sama orang tua sopan dikit kenapa?.” Bu Sirah semakin geram melihat gerak-gerik anaknya yang sama sekali tidak mengeindahkan ia bicara. Seolah-olah berbicara dengan tunggul kayu.
“Wak Kassim bilang, Allah kan ada, ibu gak usah khawatir…” Ringan saja kata-kata Naim.
“Memang Allah ada. Tapi, kalau kita tidak usaha, dari mana hendak mendapatkan uang? Kalau kamu kerjanya hanya tidur-tidur saja dan keluyuran tak tentu hala.”
“Sapa yang buat Naim gak bisa apa-apa?. Ibu juga khan?”
Kesabaran bu Sirah betul-betul di ambang batas. Kemarahannya bercampur baur menjadi satu. Antara marah, sedih dan juga merasa bersalah. Kenapa anaknya tiba-tiba mengungkit kesalahannya?.
“Plak!.” Tanpa fikir panjang, bu Sirah mendekati Naim dan melayangkan satu tamparan. Naim terkedu, tidak menyangka ibunya akan menamparnya hari ini. Sungguh, semarah-marahnya ibu, baru kali ini ia melayangkan tangannya di badannya.
Tiba-tiba suasana menjadi hening.
Bu Sirah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang telah di lakukannya. Ia tergugu dengan kelakuannya sendiri. Tanpa berkata apa-apa, Naim langsung beranjak keluar dari rumah. Sementara bu Sirah hanya menangis.
***
Aku berjalan tidak tentu arah. Aku bingung dengan apa yang berlaku. Tuduhan datuk Khalid dan keluarganya yang menyangka aku menjalin kasih dengan anaknya Azlina sungguh menyiksa hatiku. Memang aku akrab dengan Azlina tapi, hanya sebatas teman tak lebih dari itu.
Ibunya pun menuduhkan hal yang sama. Tak ada hasrat lagi untuk menerangkan semuanya. Ibunya sudah terlanjur murka. Ibu yang selama ini mengasihinya, kini seolah-olah memusuhinya.
Tujuh belas tahun usiaku kini. Selama itulah aku tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah.
Kalau pun dulu pernah belajar, aku hanya sampai kelas dua SD saja. Pihak sekolah mengeluarkanku. Konon, aku anak status yang tidak jelas. Tidak memiliki surat lahir juga status kewarganegaraanku yang tidak jelas. Apakah aku anak Indonesia, atau Malaysia.
Tidak terasa, langkah-langkah kakiku sampai di rumah wak Kassim. Wak yang sudah dia anggapnya seperti ayah sendiri. Sosok ayahnya sendiri, aku tak pernah sekalipun bertemu dengannya. Sering juga aku menanyakan perihal ayahnya kepada sang ibu tapi, ibu hanya diam dan membatu. Sejak saat itu, aku enggan untuk bertanya lagi.
“Naim, kau kenapa?.”
“Naim berantem lagi dengan ibu wak.”
“Kenapa lagi?. Kau tak kesian dengan ibu?.”
“Apa yang mau di kasihani wak. Semua yang aku buat, semua salah di depan ibu.” Aku mengeluh panjang di rumah wak Kassim. Berharap, semua masalah yang ku tanggung akan berkurang.
“Istighfar Naim. Betapa besar cinta ibu untuk kau.” Wak Kassim duduk di depan Naim yang sedang memilin kertas yang tergeletak di atas meja.
“Tapi sekarang ibu lain Wak, sedikit saja Naim buat salah, tak segan-segan dia memarahi Naim.
“Sabarlah Naim…” Wak Kassim mengeluh panjang. Teringat kedatangan Sirah beberapa hari lepas. Dia merasa tertekan, begitu takut akan kehilangan Naim. Statusnya sebagai pendatang asing tanpa izin bukan tidak mungkin sewaktu-waktu ia akan tertangkap ketika ada razia. Juga keberadaannya dengan Naim tanpa status yang jelas. Secara biologis, Naim memang anak Sirah tapi, secara hukum Negara, Naim adalah anak Harpah isteri pertama dari Zaini suami Sirah.
“Wak, kenapa Ibu selalu merahasiakan keberadaan ayah Naim?.”
Senyap
Wak Kassim diam mematung. Akhirnya, pertanyaan itu datang juga. Inilah yang paling di takutkan haruskah membuka rahasia atau terus membiarkan Naim diam dalam ketidaktahuannya.
“Wak, jawablah. Naim rasa, wak lah yang paling banyak tahu tentang Ibu.”
“Kenapa kau tak tanyakan pada ibumu…???.” Wak Kassim membuka celah untuk mengelak.
“Kalau ibu mau menjawabnya, saya tidak akan tanya ke wak!.” Suara Naim meninggi. Sungguh terkejut wak Kassim, emosi anak muda ini benar-benar tidak stabil.
Wak Kassim kembali membatu, bisu.
“Wak, tolonglah!. Naim sudah menganggap Wak seperti orang tua sendiri. Tegakah wak melihat Naim terkatung-katung dalam kebingungan. Usia Naim pun sudah semakin meningkat dewasa. Cepat atau lambat, Naim harus tahu juga masa lalu Naim. Suara Naim lembut, memelas.
Wak Kassim serba salah. Bayangan Sirah kembali berkelebat ketika dengan berurai air mata Sirah menjelaskan Harpah ingin menuntut hak anak ke atasnya, untuk mendapatkan waris dari suaminya.
“Beberapa tahun dahulu, ibumu menikah dengan orang Malaysia sini.” Wak Kassim mulai membuka cerita. Mereka menikah di Medan, secara hukum Indonesia orang tua kalian sah sebagai suami isteri dan di akui pihak Negara sana. Tapi malangnya, ayahmu tidak mendaftarkannya di kerajaan Malaysia. Ketika itu, ibumu masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sedang ayahmu, seorang sopir taksi saat baru mengenali ibumu.” Menghela nafas sejenak.
“Sebelum menikah dengan ibumu, di sini, ayahmu sudah memiliki seorang isteri. Konon ceritanya, dia sudah menikah selama sepuluh tahun dan tidak di karuniai anak. Maka, ibumu mau menikah dengannya. Tak di sangka, ketika ibumu melahirkan kamu , rahasia itu terbongkar ternyata, ayahmu baru setahun menikah. Karena pernikahan orangtuamu tidak di daftarkan di Malaysia, secara hukum ibu kamu bukanlah isteri Zaini. Jadi, saat kamu lahir kamu di atas namakan anak Harpah, bukan anak Sirah.” Wak Kassim berhenti sejenak. Memperhatikan eskpresi Naim, sungguh tidak terbaca riak muka Naim. Tegang, diam tak berkata apa-apa.
“Naim?.” Lirih suara wak Kassim memanggil. Naim tetap bergeming.
“Naim?.” Kembali wak Kassim memanggilnya. Di sentuhnya pundak bocah remaja itu. Naim tersentak.
“Iya Wak. “
“Apa kau baik-baik saja?.”
“Ya wak, Naim baik-baik saja. Sekarang, kemana pergi ayah Naim? Kalau begitu, Naim anak Malaysia wak? Kenapa ibu tega tak menyekolahkan Naim.”
“Naim, jangan salahkan ibumu. Sejak ayahmu tidak memperdulikan kalian dan segala dokumen ada di tangan Harpah, ibumu tidak bisa berbuat banyak. Dia hidup membesarkanmu seorang diri.” Wak Kassim kembali diam, melihat perubahan muka Naim. Sayu, tidak seperti tadi yang penuh ketegangan dan emosi yang terpendam.
“Semenjak itu, ibumu beralih dari satu tempat ke tempat lainnya. Menghindari razia pendatang asing juga mengelak dari di ketahui oleh ayahmu dan isterinya Harpah. Sampai sekarang, ayahmu tidak mendaftarkan status pernikahannya dengan ibumu.”
Aku sungguh terkejut dengan penjelasan wak Kassim. Begitu tiba-tiba dan penuh dengan kejadian yang aku sama sekali tidak menyangka. Pengorbanan ibu, juga kesengsaraan yang di deritanya. Penyesalan dan kesedihan bercampur jadi satu. Kenapa selama ini aku begitu menutup diri untuk tidak mamahami dan menyelami hati ibu.
“Dan kabar terbaru yang wak dengar, Harpah, sedang mencarimu. Beberapa hari yang lalu, ibumu bercerita dengan wak.”
“Untuk apa dia mencariku wak?.”
Wak terdiam.
“Wak, kenapa mak cik Harpah mencariku?.” Naim mengejutkan wak Kassim yang tiba-tiba terdiam. Perasaannya kini semakin gelisah. Rasa pelik pula, menyebut mak cik kepada orang yang sama sekali tidak di kenalinya.
“Dia menginginkan kamu. Dia hendak menuntutmu dari tangan Sirah.”
“Kenapa wak?!. Kenapa mak cik Harpah hendak menuntut Naim?. Bukankah Naim bukan anaknya?!.” Naim tergugu, pilu takut menghadapi segala masalah yang akan menimpa juga ibunya. Terbayang tadi ketika dia marah-marah dan bertekak lidah dengan ibunya. “Ibu, ampuni aku…” Naim berujar lirih.
“Ayah kamu sudah meninggal.” Wak Kassim berkata perlahan.
Naim mendengar jelas kata-kata wak Kassim, meskipun perlahan aku masih mendengarnya dengan jelas. Cobaan apalagi, setelah aku mendengar retentan cerita yang begitu mengejutkan, kenapa aku lebih di kejutkan dengan kematian ayahku?. Seorang ayah yang tak pernah ku jumpa sosoknya apatah lagi mengenalinya?. Ya Allah, musibah apalagi ini?.
Aku merasa begitu bodoh, lemah dan cengeng. Mau saja aku menangis sejadi-jadinya di depan wak. Tapi, aku malu. Ku simpan saja duka dalam dada, kusimpan air mata dalam derita.
“Ibu, ampuni aku ibu… Aku tahu kenapa kau akhir-akhir ini sering sekali menangis dan memerahaiku. Aku sudah kehilangan ayah ibu.”
“Naim, sabarlah nak…” Seperti faham dengan keadaanku, wak Kassim mendekat dan menepuk-nepuk pindakku.
“Wak, Naim permisi dulu. Naim hendak meminta maaf kepada ibu.” Aku bangun dari tempat duduk, menyalami wak Kassim. Ternyata, air mata itu tidak mampu ku bendung lagi, aku menangis, menangis di pelukan wak Kassim. Ah, sungguh menyedihkan melihat keadaanku. Seorang lelaki, menangisi kepergian ayahnya yang tak pernah sekalipun di temuinya.
“Naim, berhati-hatilah. Jaga ibumu dengan baik. Bukan tidak mungkin, Harpah akan mencarimu sampai dapat. Sebelum pulang, kau sembayang asharlah dulu.”
Kata-kata wak Kassim semakin membuatku takut dan bingung. Aku menjadi takut untuk kehilangan ibuku. Perempuan hebat, bertahun-tahun terlunta-lunta di Negara orang juga di sia-siakan suami yang juga ayahku sendiri. Aku betul-betul keliru antara ibu kandungku dan ibu dalam surat kelahiranku.
Selepas shalat ashar, aku menuju ke rumah. Selama perjalanan, aku sudah menyusun beberapa ayat dan kalimat untuk ku sampaikan kepada ibu. Aku berharap ibu akan memaafkanku.
Sebelum sampai ke rumah, aku singgah di kedai makan terdekat. Aku ingin membeli nasi bungkus kesukaan ibu, sedikit ulam, sambal dan ayam goreng. Rasanya lucu ketika aku meminta maaf kepada ibu hanya dengan sebungkus nasi. Tapi, ini bukan tujuanku, aku tahu ibu belum makan sejak tengah hari tadi. Sejak di halau dari rumah Datuk Khalid. Ah, mengingatnya, hatiku di buai pilu. Padahal, aku dengan Azlina hanya berkawan saja.
“Hei, Naim, kau pegi mane?. Kat rumah ramai orang tuh. Baliklah cepat!.” Tiba-tiba Pak cik Hassan tergopoh-gopoh mengejarku.
“Kenapa pak cik…???.”
“Kau baliklah cepat. Polisi pun banyak di rumah.”
Banyak orang, polisi, ibuku semuanya bermain di benakku. Aku berlari-lari untuk segera sampai di rumah. Apa agaknya yang terjadi di rumahku…???. Betul saja, dari kejauhan aku melihat beberapa orang berkerumun di beranda rumah. Juga ada mobil polisi dan orang-orang berseragam.
Nanar mataku memandang ke sekeliling, nasi bungkus yang ku bawa menjadi begitu berat.
“Ibu… Ibu…” meracau suaraku mencari ibu. Tiba-tiba sepasukan polisi mencegat langkahku. Sementara, aku lihat ibu sudah di borgol di paksanya memasuki mobil petugas.
“Tidak, ini tidak mungkin!. Ibuuu…!!!” Aku berteriak, ingin saja aku berlari tapi, cengkraman tangan-tangan polisi itu menghalangi nitaku. Aku lihat ibu berurai air mata, meronta-ronta ingin berlari ke arahku.
“Ibu…”
“Pak, saya mohon, ijinkan saya bertemu ibu saya.” Aku memelas. Perihatin melihat keadaanku para polisi melepaskan tubuhku. Segera saja aku berlari menuju ke tempat ibu.
“Bu, kenapa bu?. Ampuni Naim ibu… Kenapa ibu di tangkap?.” Pertanyaan bodoh itu terkeluar juga dari mulutku. Aku tahu penangkapan ibu karena pendatang asing tanpa ijin tapi, kenapa aku tidak di bawanya sama?.
“Nak, mungkin, sampai di sini tugas ibu menjagamu. Naim pergilah dengan perempuan itu.” Ibu menunjuk seorang wanita yang berdiri tercegat di depan pintu rumah.
“Apapun, Naim bertanyalah dengan wak Kassim.” Suara ibu tersengal-sengal menahan tangis dan isakan. Aku menghambur ke pelukan ibu, menangis sejadi-jadinya. Kekhawatiran ku tadi, kerisauanku tadi terjawab sudah. Kata-kata wak Kassim terus berngiang-ngiang di telingaku.
“Naim, berhati-hatilah. Jaga ibumu dengan baik. Bukan tidak mungkin, Harpah akan mencarimu sampai dapat.”